Risalah Redaksi

Semua Menipu Semua

Selasa, 6 Juli 2004 | 07:26 WIB

Banyak sudah drama besar yang digelar di pentas nasional dengan aktornya para elite politik nasional. Dalam  drama besar itu bisa disaksikan bagaimana mereka saling berkolusi untuk menjarah kekayaan negara dan mereka saling bersekongkol untuk menjarah harta rakyat. Tetapi di saat yang sama bisa kita saksikan bagaimana mereka saling menerkam dan saling menipu ketika bagian kurang, dan terutama ketika mereka tertangkap basah, berbagai dalih diutarakan, berbagai alasan dikemukakan yang seolah-olah rasional, tetapi satu hal yang menjadi tujuannya yaitu memperkaya diri dengan cara menipu rakyat.

Dalam kasus penjualan aset Pertamina, bagaimana para aktor saling menipu baik kalangan pertamina, kalangan parlemen dan kalangan lembaga bisnis yang ada, demikian halnya menteri yang membawahinya. Tidak kalah serunya sosal penyelundupan gula, persoalan ini berkembang seperti bola pimpong, dilempar sana sini dengan berbagai manipulasi publik, semua menolak bertanggung jawab, padahal jelas semua yang terkait dengan urusan itu harus bertanggung jawab.

<>

Tidak hanya dalam urusan bisnis, tipu daya dijalanakan, tetapi dalam urusan pendidikan tipu muslihat juga digunakan, bagaimana usaha pengadaan buku pelajaran yang sedang dipersoalkan, sampai pada soal ujian akhir nasional (UAN) yang banyak membawa korban. Dengan fasilitas dan kondisi yang berbeda, tetapi dilaksanakan penilaian yang sama, maka bisa dibayangkan sebanyak 25 % siswa di Papua tidak lulus, sementara di Yogyakarta yang karena fasilitasnya baik yang tidak lulus hanya 4 %. Ketika persoalan ini belum selesai lalu muncul upaya manipulasi nilai dengan bahasa  konversi nilai. Tetapi pihak penyelenggara pendidikan tidak turut bertanggung jawab terhadap persoalan ini, protes tidak pernah didengar, tetapi tanggung jawab juga tidak diberikan, semua lepas tangan, semua mengaku tidak tahu.

Masyarakat tahu bahwa mereka saling memfitnah, padahal sebenarnya yang paling ditipu adalah rakyat, rakyat pulalah yang paling dirugikan, sehingga usaha-usaha mereka di bidang ekonomi menjadi hancur, kenaikan harga minyak juga berakibat semakin membumbungnya harga kebutuhan pokok, termasuk beaya pendidikan, sementara lembaga pendidikan sendiri karena menjadi ajang manipulasi, akhirnya tidak bisa memberikan harapan pada masyarakat untuk mencari keadilan. Penyelundupan semacam itu merugikan trilyunan uang negara yang semestinya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Tetapi karena semuanya merupakan drama, maka tidak pernah ada pembuktian melalui pengadilan, siapa sebenarnya yang menipu dan siapa yang ditipu, persoalan diambangkan, kemudian dikaburkan, tidak pernah dituntaskan, lalu kemudian diulangi lagi dalam kasus yang lain. Persoalan ini selalu mewarnai kehidupan kita, sehingga masyarakat muak dibuatnya, lantas memunculkan sikap apatis terhadap statemen pejabat publik, apriori ini terjadi karena mereka selali dimanipulasi, seolah manupulasi tetalh menjadi etos dalam kehidupan.

Walaupun reformasi digerakkan, transparansi didesakkan, tetapi negeri ini semakin banayak melahirkan korupsi, baik oleh pelakuk lama maupun aktaor yang baru, yang tidak kalah manipulatifnya. Tidak hanya memanipulasi harta rakyat dan negara, tetapi tega memanipulasi agama dan keikhlasan orang lain, sebagai komoditi politik. Manipulasi tidak lagi ada batas, persoalan yang paling dalam seperti keikhlasan dan keluguan orang, ini memang kondisi yang sangat buruk, yang darinya kita sulit mendapatkan harapan dari sistem ini.

Dalam kontes kepemimpinan belakangan ini persoalan manipulasi semacam itu juga belum menjadi focus utama, malah beberapa di anatara mereka melakukan kampanye yang bersifat manipulatif, terhadap masa lalu dan kondisi kekinian yang dilakoni, sehingga mengecoh pilihan rakyat. Namun demikian masyarakat tidak boleh putus asa, kejujuran mesti diperjuangkan, memang peluangnya sempit, tetapi peluang itu masih ada. (MDZ)


 


Terkait