Sikap politik NU bukanlah muncul karena will to power (ambisi kekuasaan) melainkan suatu bagian integral dari tanggung jawab sosialnya. Prinsip tashorruful imam ala ra’iyah manuthun bil mashlahah (kebijakan pemimpin terhadap rakyat adalah untuk menciptakan kemaslahatan umat). Sementara itu di sisi lain kita melihat bahwa banyak kebijakan baik yang dirumuskan oleh parlemen dan yang dilaksanakan oleh pemerintah sangat jauh dari kepentingan rakyat dan kepentingan nasional, semua kebijakan demi kepentingan kalangan elit baik penguasa sendiri maupun kalangan pengusaha.<>
Sebagai tanggung jawab sosial untuk melindungi kesejahteraan rakyat maka ketika melihat kenyataan itu maka NU segerara menentukan sikap bahwa sistem politik dan ketatanegaraan yang cenderung liberal yang mengutamakan persaingana bebas, ketimbang kepedulian sosial dan keutuhan bangsa. Tanpa harus mengurangi kualitas demokrasi, dengan tegas NU mengusulkan agar pemilihan kepala daerah langsung itu dihapuskan, karena hal itu tidak hanya mengakibatkan politik berbiaya tinggi, tetapi juga memancing terjadinya disitegrasi sosial. Lebih penting lagi langkah itu jelas melanggar dasar negara sebagaimana termaktub dalam Pancasila.
Pancasila dalam pasal tiga menyebutkan bahwa sistem demokrasi kita bukan demokrasi langsung melainkan demokrasi perwakilan, sebagaimana dikatakan, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad dalam kebijakan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam demokrasi Pancasila ini pimpinan eksekutif sejak mulai presiden hingga bupati dipilih oleh para wakil rakyat, yang sudah dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Dalam politika kebangsaan dan kenegaraan NU akan selalu ikut terlibat, karena ini bukan soal perebutan kekuasaan, melainkan untuk menyelamatkan bangsa dan negara, inilah yang disebut dengan politik kebangsaan. Apalagi ketikapartai politik yang ada cenderung hanya untuk mengejar kekuasaan, tanpa mempedulikan keutuhan bangsa dan keselamatan negara, apalagi soal harkat bangsa dan kebesaran bangsa. Maka NU lah yangmesti bertanggung jawab mengambil sikap politik kebangsaan ini.
Tidak mungkin bisa menciptakan kesejahteraan sosial di tengah sistem politik kenegaraan yang kapitalistik ini, sebab sistem ini bersifat liberal yang lebih mengutamakan persaingan ketimbang kerjasama. Rasa persaudaraan dan kekeluargaan disirnakan dari sistem ini, sementara sistem itulah yang akan mampu membawa kesejahteraan sosial secara merata. Karena itu sistem politik ketatanegaraan yang telah melanggar asas negara sendiri ini harus diluruskan dikembalikan pada khittahnya yaitu Pancasila dan UUD 1945, karena hanya sistem ini yang mamapu menciptakan kesejahteraan sosial dan menjaga keluhuran bangsa.
Sejauh pelanggaran terhadap dasar negara ini maka tidak mungkin negeri ini utuh,aman dan maju. Kita bisa melihat kenyataan sejarah ketika UUD 1945 diubah secara misterius dengan diterapkannya demiokrasi liberal setelah keluarnya Maklumat X. Negeri ini terjebak dalam pertikaian antar kelompok dan golongan serta ideologi. Lalu ada usaha mengembalikan lagi ke UUD 1945, tetapi sekarang dikembalikan lagi pada sistem liberal seperti tahun 1950-an. Hal itu menyebabkan krisis terus berlangsung tanpa penyelesaian, konfil antar kelompok diperparah dengan korupsi yang tak pernah teratasi. Bahkan isu korupsi sebagai cara untuk menyingkirkan lawannya.Semantara korupsi terus dipertahankan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Tugas besar warga negara adalah menyelamatkan bangsa dari pertikaian dan menyelamatkan negara dari perpecahan serta menyelamatkan aset negara agar tidak terus dikorup para aparatnya. Maka NU menghendaki adanya perubahan sistem politik ketatanegaraan yang ada. Sistem politik harus dikembalikan pada asasa Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, semua peratuturan dan Undang-undang yang bertentangan dengan dua landasan itu harus digugurkan demi untuk menjaga keamanan negara dan martabat bangsa. Dengan alasan sosial dan bangsa itulah NU mengambil sikap politik yang tegas, yang tidak mungkin diambil oleh partai atau ormas yang lain. (Abdul Mun’im)