Ketidakpahaman tentang madrasah diniyah tersebut salah satunya tergambar dari pernyataan oleh salah satu petinggi ormas Islam bahwa madrasah diniyah seperti lembaga kursus. Analoginya, jika tokoh ormas Islam yang memiliki banyak lembaga pendidikan saja tidak paham, bagaimana dengan orang-orang yang selama ini belajar Islam sekadarnya, di sekolah saja? Tentu lebih tidak paham lagi. Jika orang-orang yang tidak paham tersebut membuat sebuah kebijakan yang mempengaruhi eksistensi madrasah diniyah tanpa berkonsultasi dengan pemangku kepentingan utamanya, tentu hasilnya akan jauh dari harapan. Dalam era kebebasan berekspresi dan beragamnya saluran untuk mengungkapkan luapan buah pikirannya mulai dari sekadar tulisan di medsos sampai dengan demonstrasi. Inilah yang terjadi saat ini terkait dengan pemberlakuan Permendikbud No 23 tahun 2017 yang akan diganti dengan Perpres yang saat ini masih digodok.
Madrasah diniyah merupakan pendidikan agama yang sebagian besar berlangsung sore hari atau seusai shalat maghrib. Keberadaannya tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Pada pagi hari, anak-anak, terutama usia sekolah dasar belajar di sekolah umum, lalu pada sore harinya, sekitar pukul dua siang, mereka belajar di madrasah diniyah. Berbeda dengan TPQ yang fokus dalam pengajaran membaca Al-Qur’an, madin mengajarkan materi-materi keislaman lebih lengkap mulai dari fikih, akhlak, tauhid, qur’an, hadist, bahkan siswa juga dikenalkan dengan bahasa Arab.
Madin sepenuhnya dikelola oleh komunitas masyarakat setempat. Biasanya yang mengajar adalah para ustadz lulusan pesantren yang memiliki kapasitas ilmu agama yang memadai. Mereka merelakan sebagian waktunya di sore hari, setelah bekerja untuk mencari nafkah bagi keluarganya, untuk mengajar anak-anak dengan komitmen untuk mewariskan nilai-nilai Islam bagi generasi berikutnya. Biaya operasional lainnya seperti listrik, pemeliharaan gedung, dan lainnya ditanggung bersama oleh masyarakat.
Pendidikan yang berlangsung di madin menjadi dasar untuk melanjutkan pendidikan agama di tingkat selanjutnya, yaitu ketika anak-anak sudah menginjak remaja dan mulai masuk ke pesantren. Dengan demikian, mereka tidak memulai pelajar dari tingkat yang paling dasar saat berada di pesantren. Setelah lulus dari pesantren, banyak alumni pesantren yang mengamalkan ilmunya dengan mengajar di madrasah di tempat di mana ia tinggal. Begitulah siklus keberlangsungan madrasah diniyah.
Proses pewarisan nilai yang berlangsung dari generasi ke generasi melalui madin dn pesantren inilah yang membentuk corak Islam Nusantara yang khas Indonesia saat ini. Yang mampu mengakomodasikan kekayaan budaya dengan nilai-nilai dasar Islam. Proses dan hasil seperti ini tampaknya kurang dipahami oleh banyak orang.
Mendikbud Muhadjir Effendy berulangkali menjelaskan aturan baru ini tidak akan mematikan madrasah bahkan Presiden juga menegaskan tidak ada kewajiban untuk memberlakukan sekolah lima hari. Warga NU tidak cukup puas dengan pernyataan tersebut. Dalam komunikasi politik di Indonesia, seringkali pernyataan-pernyataan publik oleh pejabat yang berwenang tidak selalu sejalan dengan pelaksanaan di lapangan, sebagaimana janji kampanye yang banyak tidak ditepati ketika yang bersangkutan terpilih. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, Kemendikbud bisa memaksa sekolah-sekolah di bawah kendalinya untuk menerapkan sekolah lima hari ketika aturan tersebut sudah diundangkan. Pemaksaan bisa dilakukan secara langsung atau tidak langsung ketika tekanan publik sudah mereda. Penciptaan citra bahwa sekolah yang menerapkan kebijakan lima hari merupakan sekolah favorit menjadi salah satu bentuk tidak langsungnya. Bisa juga dengan metode lain yang belum diketahui bentuknya.
Kecurigaan terhadap Mendikbud yang ngotot sekali dalam penerapan sekolah lima hari ini karena berangkat dari catatannya selama dia menjabat. Baru beberapa minggu setelah diangkat menjadi menteri menggantikan Anies Baswedan, ia sudah melontarkan kebijakan FDS yang lalu menuai kontroversi dan akhirnya ditangguhkan karena reaksi keras publik. Lalu, menjelang tahun ajaran baru 2017, dengan tiba-tiba ia mengumumkan pemberlakuan peraturan menteri tentang pemberlakuan sekolah lima hari. Ini yang mengingatkan kembali atas usulan sebelumnya yang ditolak masyarakat. Publik menjadi curiga atas tindakannya yang mengabaikan aspirasi masyarakat tersebut. Formulasi yang ditawarkan juga tidak jelas, hanya berupa pernyataan bahwa FDS tidak akan mematikan madin.
Isu lain yang ditiupkan adalah ada kepentingan politik dari NU untuk menentang pelaksanaan FDS. Dalam sejumlah demonstrasi, memang ada spanduk yang menyatakan “Turunkan Muhadjir”, tetapi hal tersebut lebih sebagai ekpresi ketidaksetujuan atas kebijakan yang diterapkannya. Sejauh keberadaan madrasah diniyah tetap berlangsung, bahkan diperkuat, NU akan mendukung sepenuhnya Mendikbud, siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya.
Jika dahulu madin mandiri secara sepenuhnya dikelola komunitas, kini sudah seharusnya pemerintah memberdayakannya secara memadai. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN seyogyanya juga dikucurkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan diniyah agar lebih memadai. Inilah saatnya untuk melibatkan pemangku kepentingan yang lebih besar agar madin bisa berperan lebih besar dalam pembentukan karakter bangsa, sebagaimana visi presiden saat ini. (Ahmad Mukafi Niam)