Risalah Redaksi

Usai Pelantikan Gubernur, Saatnya Bahu-membahu Membangun Jawa Timur

Ahad, 17 Februari 2019 | 13:30 WIB

Usai Pelantikan Gubernur, Saatnya Bahu-membahu Membangun Jawa Timur

Ilustrasi (wikipedia)

Gubernur baru Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa sudah dilantik untuk memimpin provinsi di bagian timur pulau Jawa. Janji-janji yang disampaikan selama kampanye sudah saatnya mulai ditunaikan menjadi kerja nyata yang memberi dampak kepada masyarakat Jatim. Karena memang itulah amanah yang harus dipenuhi sebagai seorang pejabat publik.

Sebagai gubernur, ia memiliki tanggung jawab terhadap seluruh warga Jatim. Ia wajib memberdayakan seluruh warga di sana. Ada sejumlah persoalan mendasar yang masih membutuhkan penanganan di Jatim. Kantong-kantong kemiskinan seperti Madura memerlukan perhatian khusus agar daerah tersebut bisa berkembang setara dengan daerah lain. Madura, merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya mengidentifikasi sebagai warga NU.

Khofifah memiliki modal besar untuk mengembangkan Jawa Timur. Sebelumnya ia pernah menjadi anggota parlemen dan menteri negara pemberdayaan perempuan/kepala BKKBN saat era kepresidenan Gus Dur. Terakhir, sebelum mengikuti kontestasi pemilihan gubernur Jatim, ia menjawab sebagai menteri sosial pada Kabinet Kerja. Banyak orang mengapresiasi kinerjanya sebagai menteri sosial. Keterlibatannya dalam masyarakat tak diragukan lagi, yaitu selama hampir 20 tahun memimpin Muslimat NU. 

Keberhasilan dalam memimpin tidak melulu soal banyaknya sumberdaya yang dimiliki, tetapi lebih pada bagaimana mengelola sumberdaya yang dimiliki secara baik. Para pemimpin daerah yang berhasil, terbukti mampu memaksimalkan potensi yang mereka miliki, melakukan inovasi-inovasi baru atas apa yang selama ini sudah dianggap sebagai kewajaran dan tentu saja menggerakkan aparat pemerintah dan masyarakat agar terlibat dalam pengembangan daerahnya. 

Korupsi merupakan persoalan besar di Jatim. Terdapat 12 kepala daerah di Jatim dalam dua tahun ini yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Jika kita menggunakan pendekatan teori gunung es, maka kemungkinan korupsi yang tidak terungkap lebih besar lagi. Tentu warga Jatim yang paling banyak dirugikan atas korupsi tersebut karena dana-dana yang seharusnya digunakan untuk masyarakat ternyata dinikmati sendiri oleh para koruptor. Ini tentu tidak mudah mengatasinya. Ada banyak hal yang harus diselesaikan sebelum mampu menguranginya. Dan sesungguhnya ini persoalan nasional.

Dengan jumlah warga NU yang lebih besar, bahkan tertinggi dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain, maka Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan terhadap siapa yang terpilih menjadi gubernur. Ada banyak sekali lembaga dan badan usaha yang berafiliasi dengan NU di Jatim, ribuan pesantren dan sekolah NU bertebaran di wilayah tersebut. Aktivitas warga NU juga sangat beragam. Khofifah sendiri sangat paham tentang dinamika di Jawa Timur karena dia tumbuh dan besar di provinsi tersebut dan dia memimpin Muslimat NU yang memiliki massa terbesar di sana. 

Bahkan, keterpilihannya merupakan representasi dari suara warga NU. Baru kali ini semenjak Indonesia merdeka, Jawa Timur yang merupakan kantong NU memiliki gubernur yang merupakan kader NU yang menapaki pengembangan dirinya melalui organisasi di bawah NU. Bahkan untuk pertama kalinya, kontestasi kali ini dua-duanya melibatkan kader NU terbaik. Rivalnya adalah Syaifullah Yusuf, mantan ketua umum GP Ansor. 

Sebuah kontestasi adalah pertarungan dukungan. Masing-masing kandidat membangun tim sukses sampai ke tingkat paling bawah untuk membantu pemenangan dirinya. Dan biasanya, pertarungan yang paling keras adalah di akar rumput sementara elit-elit yang bertarung di level puncaknya berdiplomasi dengan santun. Jangan sampai energi yang ada dihabiskan dengan hal-hal yang seharusnya sudah selesai. 

Kita bisa belajar dari pilkada di tempat lain yang mana antara kelompok-kelompok yang bersaing dalam pilkada masih dirawat, bahkan terasa nuansa permusuhan antara pihak-pihak yang bersaing. Dan ada upaya untuk menjaga hal tersebut untuk kepentingan politik lain atau untuk mempersiapkannya dalam pertarungan politik berikutnya.  

Ketangguhan Khofifah dalam menghadapi tantangan teruji ketika dia selama dua kali gagal dalam kontestasi pemilihan gubernur di Jatim. Toh dia tetap mencoba untuk yang ketiga yang kini memberinya keberhasilan. Tentu mental seperti ini sangat diperlukan dalam membangun sebuah daerah, yang jumlah penduduk dan wilayahnya lebih luas dari sejumah negara. Kompleksitas persoalan yang dihadapi sebagai gubenur tentu lebih tinggi karena harus memimpin kepala daerah, beragam kelompok kepentingan, dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda. Tetapi, itulah tantangan sebagai pemimpin. Keberhasilannya diuji oleh kemampuannya menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. 

Sebagai pemimpin nomor satu di sebuah provinsi dengan jumlah penduduk 39,29 juta tentu tanggung jawabnnya sangat besar. Waktunya akan banyak tersita untuk mengurusi masyarakat. Karena itu, penting memikirkan bagaimana posisinya sebagai ketua umum PP Muslimat NU yang sudah didudukinya selama empat periode. Kini sudah banyak kader-kader yang siap melanjutkan kepemimpinannya. Melanjutkan keberhasilannya memimpin organisasi perempuan Islam terbesar di Indonesia ini, karena keberhasilan pemimpin adalah ketika ia menyiapkan pemimpin selanjutnya untuk melanjutkan visi besar organisasi. 

Kita semua, adalah penerima tongkat estafet dari orang sebelumnya yang harus menyerahkan tongkat tersebut kepada orang berikutnya. Harapannya, selama memimpin, tentu meninggalkan warisan-warisan berharga bagi yang kita pimpin.  (Achmad Mukafi Niam)


Terkait