Kepala BLA Jakarta Nurudin Sulaiman (tengah) berbicara dalam penyusunan policy brief hasil riset Agustus 2020. (Foto: NU Online/Musthofa Asrori)
Tradisi kebudayaan masyarakat Indonesia saling bersinergi dengan agama yang dianutnya, termasuk agama Islam. Hal tersebut tercatat dalam banyak manuskrip keagamaan.
"Tradisi aspek budaya kompatibel dengan nilai keagamaan yang berkembang di masyarakat. Antara tradisi dan aspek keagamaan itu bersinergi," kata Kepala Balai Litbang Agama (BLA) Jakarta Balitbang Diklat Kemenag, Nurudin Sulaiman, saat memberi sambutan pada Seminar Hasil Penelitian Tradisi Keagamaan dan Manuskrip bulan Juli 2020 lalu.
Nurudin menjabarkan, ada sebagian pihak yang merasa budaya itu sesuatu yang terpisah dan jauh dari nilai keagamaan. Padahal, konteks budaya dan agama hubungannya dinamis dan kontinum, tidak dikotomis, atau saling bertentangan.
Karena itu, diperlukan cara dan strategi baru untuk memunculkan konteks agama dan budaya dalam manuskrip di dalam kondisi sosial masyarakat hari ini. "Bahkan, bisa sangat bersinergi dalam konteks pembangunan bidang agama di Indonesia ini," tandasnya.
Tradisi keagamaan dalam manuskrip merupakan satu riset yang penting. Pasalnya, antara tradisi keagamaan yang dikaji melalui manuskrip yang ada, memberikan dampak positif berkaitan kehidupan masyarakat Indonesia.
Riset, kata Nurudin, bisa didorong dengan lebih menekankan pada aspek penjelasannya sehingga dapat lebih bermanfaat. Riset tersebut juga bagian dari bentuk penghargaan yang tinggi terhadap karya-karya para akademisi, tokoh, dan ulama. Hal-hal yang termaktub di dalamnya sangat mungkin bisa dikontekstualisasi atau bisa dihadirkan lagi nilai-nilainya pada era sekarang.
Hasil penelitian ini bisa menjadi rekomendasi dalam rangka menjaga dan mengembangkan tradisi keagamaan agar tetap hidup dan lestari seterusnya. "Untuk bisa direkomendasikan pada konteks merawat, mengembangkan, memanfaatkan, dan mengkontekstualisasikan tradisi keagamaan pada kehidupan saat ini dan akan datang," ujarnya.
Selain itu, beragam program, kegiatan, dan kebijakan pemerintah yang telah dilaksanakan dan diputuskan perlu dievaluasi sebagai bentuk perbaikan. Riset terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat menjadi satu langkah evaluasi tersebut.
Policy Brief sebagai rumusan kebijakan
Saat membuka resmi kegiatan penyusunan Policy Brief Penelitian Tradisi Keagamaan dalam Manuskrip bulan Agustus 2020 lalu, Nurudin mengatakan penelitian yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga negara diarahkan pada rumusan kebijakan yang terbagi menjadi dua.
Pertama, rumusan kebijakan dalam bentuk policy brief. Penelitian ini dilakukan guna mengevaluasi program dan kegiatan yang telah dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga. Hal ini juga berarti bahwa sebelumnya sudah ada regulasinya.
Policy brief menurut Nurudin merupakan alternatif kebijakan. Jika melihat kebijakan sudah tepat, maka perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kalau kegiatan yang sudah ada kurang tepat, maka perlu adanya perbaikan. Sementara jika program yang telah dijalankan tidak tepat, maka perlu dihapuskan.
Di samping itu, policy brief juga harus memunculkan lembaga atau instansi yang menjadi pemangku kebijakannya. Dengan begitu, mereka dapat langsung mengimplementasikannya.
"Poin utama penelitian ketika dibaca bisa diimplementasikan dengan adanya policy brief," papar Nurudin. Pemerintah atau negara melalui lembaga dan kementerian yang disebut dalam policy brief tersebut memiliki otoritas untuk mengeluarkan program atau kebijakannya.
Adapun jenis kedua, naskah akademik, dibuat untuk mendorong lahirnya sebuah regulasi. Telaah strategis yang sifatnya baru akan mendorong regulasi.
Nurudin menegaskan bahwa penelitian juga sangat penting dari persiapannya. Bukan saja dari pengumpulan data dan pembuatan hasil akhirnya. Seringkali kelemahan penelitian terletak pada rumusan masalahnya.
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori