Tujuan dan Hikmah Masyarakat Betawi Membaca Ratib Samman
Senin, 14 Desember 2020 | 19:30 WIB
Penelitian naskah Ratib Samman perlu dilanjutkan ke daerah lain di sekitar DKI Jakarta. Tujuannya, menjaga khazanah dan tradisi keagamaan yang dulu pernah berkembang di masyarakat, khususnya Betawi, yang kini telah bergeser ke Kota Depok, Tangerang, Bekasi, dan sebagian Bogor.
Demikian salah satu rekomendasi dari penelitian yang dilakukan A Musthofa Asrori berjudul Tradisi Keagamaan dalam Manuskrip Hikayat Syaikh Muhammad Samman dan Tradisi Manaqib Samman di Masyarakat Betawi. Penelitian dilakukan tahun 2020 dengan dukungan Balai Litbang Agama Jakarta (BLAJ).
Selain itu, peneliti juga merekomendasikan kepada Litbang Kemenag agar bekerjasama dengan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud untuk memperbanyak kitab tersebut agar tradisi keagamaan itu bisa kembali lestari. "Upaya melestarikan tradisi ini salah satunya bisa melalui festival pembacaan Ratib Samman di Taman Ismail Marzuki atau zona kebudayaan lain di Jakarta. Jika dipertimbangkan bahwa penggandaan butuh anggaran besar, bisa ditempuh melalui festival tersebut," tulis peneliti dalam laporannya.
Peneliti mengungkapkan bahwa tradisi pembacaan Manaqib atau Ratib Samman merupakan tradisi keagamaan yang bisa dikatakan hampir punah. Nasib Ratib Samman mungkin mirip seperti Ratib al-Athas dan Ratib al-Haddad, tidak seperti pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat.
Penyebabnya antara lain Ratib ini dianggap kurang ampuh dibanding dengan yang disebut terakhir. Selain itu, juga belum dicetaknya manuskrip naskah kuno Ratib Samman dalam jumlah banyak. Sementara kalangan masyarakat berusia di atas 60-an memiliki harapan agar tradisi pembacaan ratib tersebut dihidupkan kembali. Minimal diperkenalkan kepada kaum muda.
Oleh karena itu, sejumlah narasumber dalam riset ini berharap kepada pemerintah, dalam hal ini Balitbang Kementerian Agama RI untuk memfasilitasi penggandaan manaqib Syaikh Samman tersebut.
Tujuan Manaqiban
Menurut temuan peneliti, penyelenggaraan Manaqiban yang biasa dilakukan oleh masyarakat Betawi ini memiliki paling tidak tiga tujuan utama. Pertama, sebagian besar bermaksud untuk melaksanakan nazar karena Allah. Hal ini menurut UstadzIwan Mahmud berdasarkan dalil dari Al-Qur'an, yakni QS Al-Insan ayat 7 yang artinya "Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana."
Kedua, ada pula dari mereka bermaksud untuk bertawasul kepada Syaikh Samman karena Allah SWT. Bertawasul kepada waliyullah hakikatnya bertawasul dengan amal shalehnya. Hal ini didasarkan pada QS Al-Maidah ayat 35 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan" yang menurut mereka merupakan dalil kebolehan bertawasul.
Tujuan ketiga, lanjut peneliti, untuk ber-tabarruk kepada Syaikh Samman. Mereka berharap mendapatkan rahmat dan barakah dari Allah SWT. Bertabaruk pada dasarnya sama dengan tawasul. Bertabaruk boleh dilakukan kepada para waliyullah, ulama dan orang-orang shaleh, dengan keyakinan bahwa manfaat dan madharatnya berada di tangan Allah semata.
Keutamaan
Ustadz Marhusin, sebut peneliti, yang merupakan salah seorang tokoh pemuka agama Betawi menyatakan bahwa Manaqiban ini mengandung keutamaan khususnya bagi masyarakat di daerahnya, setidaknya tiga hal. Pertama, selain bertujuan untuk memenuhi nadzar, pembacaan Manaqib Samman secara bersama-sama juga dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan (ukhuwah islamiyah).
Kedua, menambah wawasan tentang karamah para wali. Di dalam upacara Manaqiban, guru atau tokoh agama menerangkan berbagai macam hal mengenai kelebihan atau kekeramatan (karamah) yang dimilikinya. Ketiga, menambah kecintaan kepada para ulama’ dan orang shaleh.
Karena itu, nilai-nilai tradisi dalam manuskrip kuno keagamaan seperti Ratib Samman menjadi penting untuk dilapkukan dan dilanjutkan agar tetap lestari. Bagi generasi muda, nilai-nilai tradisi ini sangat dibutuhkan. Selain itu, juga bisa dijadikan alat untuk memakmurkan masjid yang belakangan sepi dari kegiatan-kegiatan keagamaan semacam pembacaan ratib.
Mengacu kepada tradisi tersebut, pengajian kitab atau pembacaan dzikir Ratib Samman di masjid-masjid oleh seorang guru yang hingga kini masih hidup di kalangan masyarakat Betawi menjadi penting. Sebab, selain sebagai tempat peribadatan, masjid juga berfungsi sebagai tempat pengajaran dan penyebaran Islam.
"Melalui proses inilah perkembangan Islam makin kokoh dan diterima semua kalangan. Dengan kata lain, kecenderungan yang kuat mempertahankan tradisi sangat menentukan tersebarnya pemahaman Islam di tengah masyarakat Betawi," tulis peneliti.
Editor: Kendi Setiawan