Seni Budaya

Rudat, Tarian Sambut Prajurit Pulang Perang

Rabu, 22 November 2017 | 22:30 WIB

Apa jadinya bila pencak silat digabung gerakan tarian Saman, beriring hadrah, ditampilkan dalam waktu bersamaan? 

Indah dan ritmis. Itulah yang tersaji saat acara Khitanan Massal NU Care-LAZISNU di Pesantren Darul Hikmah, Kota Mataram, Rabu (22/11).

Adalah Sanggar Sopo Angen yang menampilkan sajian indah dan ritmis melalui seni tari dan musik tradisional khas Lombok, Rudat.

Delapan penari kompak melakukan gerakan menendang, memukul, kuda-kuda dan gerakan silat lainnya. Namun, gerakan tersebut tidaklah cepat-cepat dilakukan seperti pada pertarungan dengan ilmu silat yang sebenarnya, karena mereka harus menyesuaikan musik dari enam orang penabuh yang mengiringi.

Seni tari rudat, demikian nama tarian dan musik yang dipertunjukkan itu.

“Rudat gabungan hadrah, saman, dan silat khas Lombok,” kata pimpinan dan sekaligus pelatih Sanggar Sopo Angen, Johan Pribadi.

Para penari mengenakan kostum khas, yakni baju dan celana warna hitam beraksesoris rimbe-rimbe berwarna keemasan pada bagian luar kaki. Selain itu penari dilengkapi kain selempang bapang. 

Sementara kepala ditutup dengan sorban warna putih dan tarbus (peci) warna merah. Tak lupa kacamata juga dipakaikan untuk menambah kegagahan para penari yang melukiskan sebagai para prajurit.

Di Lombok, seni tari rudat bermula pada zaman masuknya peradaban Islam. Tarian menggambarkan kebahagiaan para prajurit yang menang usai berperang.

“Tarian juga sebagai penyambut pulangnya tentara Islam usai berperang, disambut dengan gegap gempita,” kata Johan lagi.

Tari rudat amat lekat dengan budaya Islam, seperti pemakaian rebana sebagai salah satu alat musiknya. Juga lagu-lagu yang ditampilkan semacam shalawat atau pepujian kepada Nabi. 

“Ada yang bilang rudat ini asal katanya dari raudah yang berarti taman surga,” Johan menambahkan.

Tetapi, kekinian jenis lagu yang ditampilkan tidak sebatas lagu-lagu islami saja. Itu tergantung pementasan dilakukan dalam acara apa. Setelah usai ijab qabul dalam sesi nyongkolan—arak-arakan pengantin tradisional suku Sasak, acara resmi pemerintahan, dan hari besar Islam, adalah momen ditampilkannya tari rudat. 

“Kadang kami membawakan lagu-lagu dangdut lama kayak lagu-lagunya A Rafik dan Rhoma Irama,” tutur Johan yang aktif dalam grupnya sejak 2013. 

Mengenai penabuh dan instrumen yang digunakan, Johan menyebut penabuh jidor 1 orang, tar (rebana) 1-4 orang, seruling satu orang.

“Sekarang karena zaman modern kadang melibatkan pemain keyboard kalau di pentas tertentu,”  ujar pemuda berbadan besar itu.

Satu Hati
Untuk menyiapkan pentas hari itu, Sopo Angen berlatih sehari sebelumnya. Terapi mereka juga melakukan latihan rutin seminggu dua kali, yaitu hari Sabtu dan Ahad.

Menurut Johan tidak semua orang bisa menjadi penari rudat. Meski gerakannya terlihat mudah, biasanya yang bisa menjadi penari rudat adalah orang-orang yang memiliki bakat atau garis keturunan yang juga penari rudat. Untuk Sanggar Sopo Angen sendiri, para penari berasal dari satu desa.

“Penari kami warga sekitar (sanggar). Tidak tahu bagaimana sejarahnya melatih orang dari kampung lain susah. Tarian rudat juga susah dilakukan orang yag belum terlatih,” Johan menjelaskan.

Para penari yang Johan ajak hari itu, bervariasi umurnya. Ada yang masih SD, ada yang sudah duduk di bangku SMA.

“Anggota sanggar ada yang sudah bekerja. Hari ini banyak yunior yang ikut menari,” kata Johan yang belum lama ini menampilkan sanggarnya menyambut tamu dari BKKBN di kantor Provinsi. 

Mengenai nama sanggar, Johan menjelaskan Sopo Angen artinya satu hati.

“One heart. Semangat yang ingin ditampilkan dalam tarian kami adalah satu hati,” kata Johan.

Semangat satu hati itu tergambar juga dari penuturan salah satu penarinya, Ardian. Siswa kelas 3 SMP 1 Labu Api itu bergabung dalam sanggar sejak masuk SMP atau sekitar dua tahun lalu.

“Awalnya ingin mengembangkan kesenian, ya tertarik kalau lihat tari rudat,” ujarnya.

Bagi Ardian kesusahannya adalah pada saat latihan harus menjaga kekompakan.

“Harus kompak dan disiplin,” katanya.

Sejauh ini, Ardian ikut pentas rata-rata tiga kali dalam sebulan.

Ada pula Diandri Martinus yang sudah bergabung selama enam tahun, tepatnya sejak kelas 1 SD.

“Kesusahannya kalau melakukan gerakan pencak,” kata siswa kelas 2 SMP yang bercita-cita menjadi ustad.

Sama dengan Ardian, Diandri juga ingin terus mengembangkan tari rudat. (Kendi Setiawan)


Terkait