"Tiadakah engkau lihat bagaimana Allah menciptakan metafora tentang 'kalimat yang baik' sebagaimana 'pohon yang baik', akarnya kuat (terhunjam) dan cabangnya ke langit (menjulang). Pohon itu menghasilkan buahnya setiap saat, atas izin Tuhannya.
<>
Dan Allah mencipta metafora bagi manusia, supaya mereka ingat selalu. Juga, tentang metafora 'kalimat yang buruk' seperti 'pohon yang buruk', yang tercerabut dari akar bumi, jadilah ia tanpa kekuatan." [Q.S. Ibrahim: 24-26]
Salah satu tema marjinal dalam kajian Islam dewasa ini adalah soal eksistensi dan transformasi budaya lokal. Padahal, kalau kita benar-benar memercayai bahwa untuk membangun keindonesiaan yang kokoh, antara lain, mesti dilakukan dengan mencintai dan mengembangkan sikap kreatif terhadap pluralitas, maka lokalitas merupakan titik pijak yang tidak bisa ditinggalkan.
Jauh lebih penting lagi untuk kita sadari adalah, bahwa ribuan kultur lokal yang hidup di tiap jengkal pulau-pulau pembentuk Indonesia bukanlah semata-mata warna-warni dan tetek bengek yang eksotik. Melainkan juga wilayah belajar dan sekaligus modal sosio-kultural dasar (kebangsaan) kita. Karena, di dalam apa yang kita sebut dengan kultur lokal itu seringkali tersimpan pengalaman, jejak-jejak kreatifitas dan pencapaian-pencapaian tertentu dari para jenius lokal dalam mengembangkan pandangan hidup, tata berpikir dan juga sistem sosial tertentu.
Di dalam kultur lokal, kita selalu dapat belajar (secara kritis) tentang pergulatan menata sistem kepemilikan dan pemanfaatan tanah, distribusi kekayaan, pelestarian lingkungan, pengelolaan cita rasa, penyeimbangan hubungan sosial bahkan bagaimana berdialog terhadap teknik-teknik, pemikiran-pemikiran dan agama-agama lain yang masuk ke dalam wilayahnya. Tentu saja, melalui semua itu, dengan segala kebijakan maupun kezalimannya, keberhasilan maupun kegagalannya, kita dapat belajar membangun hidup kita sendiri di masa depan.
Dalam konteks ini, fakta tentang stigmatisasi dan marginalisasi komunitas “Islam lokal” di hampir seluruh wilayah Nusantara pada sejak paruh akhir tahun 60-an hingga sekarang, menyentuh kesadaran dan keprihatinan kita tentang pengalaman “bunuh diri sosio kultural” yang dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Bagaimana kita, sebagai bangsa, antara sadar dan tidak, telah menghancurkan akar dan modal sosio-kultural kita sendiri, berupa komunitas-komunitas Islam lokal yang merupakan kekayaan bangsa kita dan telah beberapa abad berhasil membangun sistem sosio-kultural yang menjadi penyangga bagi keberlangsungan hidup berbagai komunitas.
Dan celakanya, pada titik inilah, antara lain, terletak akar dari krisis kebangsaan dan keagamaan kita dewasa ini, yang ditandai dengan merebaknya berbagai konflik antaretnik, konflik antaragama, konflik pusat dan daerah, bahkan tuntutan pemisahan dari NKRI. Persoalan yang terjadi di Aceh dan Papua, misalnya, tidak dapat dijelaskan semata-mata sebagai konflik daerah dan pusat di dalam negara Republik Indonesia dalam pengertian ekonomis dan politis, melainkan juga telah menjadi konflik identitas secara sosial dan kultural. Seolah “Sumpah Pemuda” yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia awal abad XX lalu telah memudar "daya sihirnya".
Demikianlah, tidak mengherankan, kalau dalam diskusi-diskusi mutakhir untuk mengatasi krisis multidimensi yang dirasakan seluruh elemen bangsa Indonesia dewasa ini berujung pada satu muara, yaitu tidak adanya filsafat dan sistem sosio-kultural milik kita sendiri yang bisa kita jadikan pijakan untuk mengatasi krisis. Baik di bidang politik, ekonomi, pendidikan, moralitas dan kebudayaan pada umumnya. Dengan kata lain, sebagai bangsa kita mengalami “kebangkrutan” menyeluruh.
*****
Mari kita mengambil cermin. Ada sebuah statemen krusial yang dinisbatkan kepada Sahabat Umar bin Khattab, panglima perang dan Amirul Mukminin yang membawa Islam hingga ke luar Arab, dan juga dikenal sebagai perintis “rasionalisme” dalam pembentukan rancang bangun fiqih Islam, bahwa al-Arab maaddatul Islam. Barangkali karena pretensi untuk menunjukkan watak universal dari Islam, Dr. Taha Husain di dalam kitabnya al-Fitnatul Kubro menafsirkan ucapan Umar tersebut dengan menyebutkan bahwa maksud "maaddah” adalah mashdaru quwwatitil askariyyah, Arab adalah sumber kekuatan militer Islam”.
Namun seperti ditunjukkan oleh Khalil Abdul Karim di dalam kitab al-Judzurut Tarikhiyyah lisy Syari'atil Islamiyyah, tafsiran Taha Husain di atas terlihat hanya melihat satu aspek secara sempit dengan mengabaikan banyak aspek lain yang jauh lebih luas. Islam jelas berhutang banyak hal pada bangsa Arab, tidak hanya karena keterlibatan putra-putra pemberani dari suku-suku bangsa Arab dalam melancarkan ekspedisi-ekspedisi hingga Islam menyebar hingga ke kawasan Persia, Afrika, Eropa dan Asia.
Namun juga dari kenyataan bahwa Sang Pembawa Risalah Islam adalah Nabi berbangsa Arab, Ka'bah yang menjadi kiblat kaum Muslimin berada di Mekkah, sebuah kota Arab, serta kitab suci Al-Qur'an adalah kitab berbahasa Arab.
Bahkan lebih dalam dan luas lagi Khalil Abdul Karim mendedahkan bahwa kultur Arab merupakan sumber dari banyak hukum, kaidah, sistem, kebiasaan dan tradisi yang dibawa dan dilegislasi oleh Islam: baik yang termuat di dalam Al-Qur'an maupun produk dari ijtihad para sahabat dan ulama. Seperti pensucian Ka'bah dan kota Mekkah, manasik haji dan umroh, pengagungan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, pensucian bulan Ramadlan, menghormati nasab, sistem sewa-menyewa, sistem khumus dalam pembagian harta rampasan perang, sistem hudud (hukuman untuk pezina, peminum khamr dan pencuri), sistem khilafah, sistem syuro dan lain sebagainya.
Sehingga, sangat meyakinkan ketika Khalil mempostulatkan bahwa “al-Islam waratsa minal arab as-syai' al-wafir bal al-baligh al-wafrah fi kaaffat al-manahi: at-ta'abbudiyah wa al-ijtima'iyah wa al-iqtishadiyah wa as-siyasah wa al-khuluqiyah wa al-lisaniyyah, Islam telah mewarisi dari bangsa Arab secara melimpah dalam keseluruhan matranya: tata peribadatan, tata sosial, ekonomi, politik, moralitas, bahasa dan seterusnya.
Jadi, menurut Khalil, maaddah dalam statemen Umar bin Khattab di atas berarti al-ashlu wa al-ma'din wa al-qiwam, Arab adalah akar, kandungan dan penyangga Islam.”
Lalu, apakah dengan demikian Islam adalah “agama Arab”? Sebuah “agama lokal”?
Pertanyaan-pertanyaan sejenis ini bisa menjebak kita ke dalam dualisme dan antagonisme antara yang lokal dan yang universal. Dikotomi-antagonistik inilah yang pada akhir dasawarsa 60-an di atas terbukti tidak produktif, bahkan dapat menjadi energi penghancur. Deskripsi dan rekonstruksi historis Khalil Abdul Karim yang memang seringkali sangat provokatif itu, menurut saya, mesti dipahami dari konteks dan proporsi titik berangkatnya, yaitu melawan kabut-kabut ilusi (waham) yang sering ditebarkan oleh para apolog (du'at) Islam, yaitu bahwa Islam digambarkan sebagai sesuatu yang “datang dari langit” dan diturunkan untuk menghancurkan bangunan religio-sosio-kultural yang disebut “jahiliyyah” dan menggantinya dengan tatanan yang baru sama sekali. Dengan kata lain, yang mau dilawan oleh rekonstruksi Khalil adalah suatu sikap a historis dan cara pandang esensialis.
Dalam hal ini, metafora Al-Qur'an tentang “zaman jahiliyyah” dan “zaman kegelapan” seringkali ber(di)ubah menjadi mekanisme di dalam pikiran yang bekerja menghilangkan fakta-fakta tentang adanya sistem religio-sosio-kultural yang hidup dan menentukan di kalangan masyarakat Arab pra kenabian Muhammad SAW, selama masa kenabian, bahkan tetap ber(diper)tahan(kan) hingga masa khulafaurrasyidun. Bahkan diabadikan dalam korpus-korpus fiqih, tafsir, akhlaq, teologi hingga ke masa sekarang dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Tidak sekedar menghilangkan fakta-fakta historis zaman jahiliyyah, cara berpikir seperti ini bahkan juga menempelkan stigma serba buruk, serba bodoh dan serba gelap terhadap zaman jahiliyyah untuk suatu pretensi “pemurnian” dan “idealisasi” sedemikian rupa terhadap syari'at dan bangunan doktrin keislaman.
Di tangan orang yang salah, cara pikir seperti ini bisa berubah menjadi keyakinan buta dan menjadi alat untuk menghancurkan setiap ajaran atau pemikiran atau bangunan sosio-kultural yang dianggap “tidak murni” Islam.
Dengan demikian, deskripsi dan rekonstruksi historis yang membuktikan bahwa kultur “jahiliyyah” Arab di masa kenabian Muhammad SAW turut mempengaruhi dan membentuk apa yang kita sebut sebagai syari'at Islam, tidaklah kemudian mesti ber(di)ubah pada titik ekstrim yang lain menjadi suatu postulat atau definisi a priori bahwa “Islam adalah agama Arab”, atau “Islam adalah agama lokal (dan karena itu tidak punya relevansi universal)”. Bukan semata karena hal ini tidak sejalan dengan banyak kenyataan tekstual yang terkenal seperti wa ma arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin, la syarqiyyah wa la gharbiyyah dan bainal masyriq wal maghrib.
Melainkan postulat di atas tidak menjelaskan kenyataan historis bahwa banyak suku-suku bangsa di luar Arab di Afrika, Persia, Asia maupun Eropa yang bisa menjadi pemeluk teguh Islam tanpa kehilangan identitas kebangsaannya. Dan bahkan mereka merasa memiliki Islam jauh melebihi kepemilikan orang Arab sendiri terhadap Islam.
Terbukti, banyak ulama dan sarjana pembangun ilmu-ilmu keislaman ternama, padahal mereka bukanlah orang-orang berkebangsaan Arab. Imam al-Bukhari, misalnya, justeru dikukuhkan kebangsaannya yang bukan Arab karena keahliannya di dalam ilmu hadis. Kota kelahirannya Bukhara menjadi terkenal ke seluruh penjuru dunia dan abadi karena dilekatkan kepadanya sebagai penulis kitab hadis Nabi yang diakui otoritasnya. Bukankah kita tidak bisa menyebut Imam Bukhari sebagai “korban” Arabisasi atau orang yang terArabkan atau perekayasa kearaban? Demikian pula, apakah kita bisa mengatakan bahwa bermilyar-milyar manusia yang menjalankan puasa di bulan Ramadlan atau berhaji dan umrah ke Mekkah tiap tahunnya adalah orang-orang yang terarabkan, “korban” Arabisasi?
Tentu saja tidak. Ada getar religiusitas yang universal di situ.
Oleh karena itu, marilah kita mengambil jalan lain, keluar dari dikotomi-antagonistik antara yang lokal dan universal yang jelas tidak produktif itu (mutual exclusion). Karena kenyataannya, tidak ada sesuatu yang benar-benar bisa didefinisikan sebagai “lokal” tanpa ada di dalamnya jejak-jejak dan benih-benih universalisme. Sebagaimana juga tidak ada sesuatu bentuk yang bisa disebut “universal” yang murni terbebas dari asal-usul dan unsur-unsur pembentuk lokal.
Pengelolaan lokalitas yang baik, menurut saya, diukur dari keberhasilannya menyentuh universalisme. Dan universalisme yang baik justeru diukur dari keberhasilannya mengatasi keterasingan individu dari lokalitasnya.
Bukankah dari statemen Umar bin Khattab di atas: “al-Arab maaddatul Islam”, kita tidak hanya bisa berdebat tentang arti “maaddatul Islam”, melainkan juga bisa bertanya tentang “al-Arab” itu sendiri? Misalnya, "ma huwal Arab, apa kearaban itu?" Adakah yang bisa disebut sebagai Arab murni dan ma maaddatul Arab, bahan dasar apa yang membentuk kearaban itu?
Kalau seandainya orang-orang Arab bangga sebagai anak cucu dan penerus kultural dari Nabi Ismail dan Ibrahim, bukankah Ibrahim adalah seorang “penjelajah” dunia? Bukankah Ibrahim konon berasal dari negeri UR di wilayah Persia?
Kemudian ia hijrah ke Palestina, lalu ke Mesir, lalu kembali ke Palestina lagi. Kemudian Ibrahim ke Mekkah untuk “menghantarkan” Ismail dan ibunya (Siti Hajar), lalu kembali lagi ke Palestina dan kelak kembali ke Mekkah untuk “menengok” anaknya Ismail tetapi tidak menetap di sana, dan entah ke mana lagi?
Bukankah pada setiap tempat yang disinggahinya, Nabi Ibrahim selalu meletakkan dasar-dasar “ketauhidan/keislaman” yang menjadi pengikat dan pembentuk solidaritas masyarakat setempat, sehingga Ibrahim AS dijuluki “Bapak Bangsa-bangsa” jauh sebelum berdirinya “Persatuan Bangsa-Bangsa” pada abad XX?
Bukankah Hajar, Ibunda dari Ismail AS diriwayatkan sejarah berasal dari Mesir? Dan seterusnya. Kenyataan-kenyataan di atas menunjuk pada kemustahilan esensialisme dan betapa dialektisnya hubungan antara yang lokal dan universal. Karena ternyata kearaban pun merupakan bentukan dari persilangan berbagai peradaban besar dunia pada zamannya, seperti Summeria, Sassani, Byzantium dan sebagainya.
Demikian pula dengan ungkapan Khalil Abdul Karim bahwa “al-Islam waratsa minal arab as-syai' al-wafir bal al-baligh al-wafrah fi kaaffat al-manahi: at-ta'abbudiyah wa al-ijtima'iyah wa al-iqtishadiyah wa as-siyasah wa al-khuluqiyah wa al-lisaniyyah.
Kita bisa menggarisbawahi huruf 'min' dalam frase “waratsa min al-arab” di situ, karena huruf 'min' menunjukkan arti sebagian atau bahwa Arab bukanlah satu-satunya unsur. Karena sebagaimana disepakati banyak sarjana bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat unsur-unsur bentukan dari bahasa-bahasa non-Arab. Seandainya warisan Arab tetap mau kita tegaskan di sini, karena memang sangat dominan, maka kita bisa “membatasinya” bahwa itu terjadi pada salah satu fase sejarah Islam tertentu: yaitu masa kenabian Muhammad SAW sampai dengan empat orang penggantinya (al-khulafa ar-rasyidun).
Karena, sebagaimana kita tahu dari sejarah, sejak kekhalifahan Islam pindah ke Damaskus pada zaman Dinasti Umayyah, proses perkawinan sosio-kultural pun tak terhindarkan lagi, di mana secara sosio-kultural, terutama dari segi sistem administrasi pemerintahan, Islam banyak mengadopsi model kerajaan-kerajaan Romawi.
*****
Untuk keluar dari dikotomi lokal-universal, mungkin kita bisa meminjam konsep modal sosial dan kultural. Seandainya rekonstruksi historis yang dilakukan oleh Khalil Abdul Karim mendekati kesaksian Umar bin Khattab RA bahwa “al-Arab maaddat al-Islam, wa maaddat as-syai' ashluhu wa ma'dinuhu wa qiwamuhu” ( Kultur Arab adalah akar, kandungan dan penyangga agama Islam), sementara kesaksian Umar mendekati praktek Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya, maka di hadapan kita terbuka suatu wilayah tafsir baru terhadap pengalaman Islam di masa Nabi.
Bukankah dengan demikian terbuka kemungkinan tafsir, bahwa inti pengalaman Islam adalah, antara lain, pengalaman etis-religius dalam mengumpulkan, mengelola dan mengembangkan modal sosio-kultural sendiri. Bukan malah meninggalkan atau menghancurkannya, lalu mengimpor atau berhutang pada modal sosio-kultural asing.
Demikian pula halnya dengan sebutan “jahiliyyah” kepada masyarakat Arab waktu itu, bukankah ini berkaitan dengan ketidakberdayaan etis-religius mereka untuk membentuk, mengelola dan mengembangkan modal sosio-kultural mereka sendiri. Surplus ekonomi mereka sebagai dampak berkembangnya jalur-jalur perdagangan baru telah merusakkan bangunan moral mereka, antara lain sifat karim (suka berderma), yang menyebabkan rentannya bangunan sosial mereka terhadap pertikaian dan berujung pada kemustahilan mereka membentuk kedaulatan bersama sebagai bangsa. Sehingga Nabi SAW bersabda: “Bu'itstu li utammima makarimal akhlaq” (Aku diutus untuk menyempurnakan moralitas).
Dan ayat Al-Qur'an yang saya sebutkan di dalam pembuka tulisan ini di atas, bisa dibaca sebagai jangkar imajinasi sosial yang memberikan kerangka dan arahan (strategi kebudayaan) bagi upaya mengatasi silang-sengkarut dan saling tabrak antar berbagai sumberdaya sosio-kultural yang ada. Dalam ayat tersebut, “Kalimat yang Baik” yaitu kesaksian “La ilaha illa Allah” yang meliputi penghayatan individu maupun proses sosial, diibaratkan seperti “Pohon yang Baik”.
Artinya berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk terus hidup-dinamis-produktif, yaitu yang “Akarnya menghunjam di Bumi” artinya secara individu berakar pada penelusuran ke dalam diri sendiri yang paling dalam dan secara sosial berakar pada pembentukan modal sosio-kultural sendiri yang paling kuat.
Sementara “Ranting Pohon itu menjulang ke Langit” artinya, secara individu proses penghayatan sampai kepada puncak tertinggi yakni kebebasan dari rasa takut dan secara sosial proses pengelolaan sumberdaya sosio-kultural sampai kepada puncak tertinggi yakni kedaulatan bangsa.
“Pohon itu berbuah setiap saat, atas izin Tuhannya” artinya, proses pencapaian kebebasan individu dan kedaulatan bangsa tersebut tidak pernah berhenti, berlangsung terus menerus, dan senantiasa memberi inspirasi kepada individu-individu maupun bangsa-bangsa lainnya untuk menapaki jalan yang sama. Kemudian sebaliknya, metafor bagi “Kalimat yang Buruk” seperti “Pohon yang Buruk”: “Tercerabut dari Akar-Bumi” dan akibatnya “Tidak punya Kekuatan"
*****
Demikianlah, kalau pengalaman Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan pembentukan, pengelolaan serta pengembangan modal sosio-kultural bangsa Arab. Maka kalau kita menelusuri kisah-kisah para wali dalam mengembangkan agama Islam di pelbagai pelosok Nusantara kita, walau samar-samar akan didapati suatu pola yang agak simetris dengan pola kenabian, al-ulama waratsatul anbiya'.
Dakwah yang mereka kembangkan membantu para kawula (hamba) untuk menemukan identitas mereka sebagai diri-pribadi, walau belum penuh namun mereka sampai kepada sebutan “rakyat” (ra'iyyah), dan secara sosial dakwah para wali membantu suatu komunitas untuk tumbuh berdasarkan akar lokalnya masing-masing sehingga kita dapati identitas-identitas seperti Tolotang, Kajang, Bissu di Sulsel, Sasak di NTB, Kejawen di Jawa, Sunda Wiwitan di Pasundan dan sebagainya. Masing-masing identitas ini saling berkait untuk menopang dan mewarnai suatu peradaban di atasnya lagi, yaitu Nusantara.
Namun, dari sejarah kita tahu bahwa, bangunan sosio-kultural tersebut belum sampai kepada puncaknya, ketika jaringan ekonomi yang menjadi basis dari bangunan sosio-kultural itu sedikit demi sedikit dikalahkan oleh kapal-kapal dagang dari bangsa-bangsa Eropa yang berdatangan mulai abad XVI. Mulailah era yang kelak akan kita sebut sebagai kolonialisme-imperialisme, yang pada akhirnya tidak hanya merebut jaringan ekonomi namun juga menghancurkan bangunan sosio-kultural yang ada.
Begitulah, walaupun ketika masa-masa perang kemerdekaan dasawarsa 40-an kita masih melihat energi dari bangunan sosio-kultural yang ada melalui kekuatan kata-kata “rakyat” yang terus bergaung dan terekam ke dalam lagu-lagu kebangsaan dan dokumen-dokumen resmi kenegaraan ketika “kemerdekaan” diproklamasikan, namun pada saat bersamaan kita juga menyaksikan bahwa perjalanan bangsa Indonesia tidak mengarah menjadi “Pohon yang Baik”.
Polemik Kebudayaan yang berkobar tahun 1930-an menunjukkan dengan baik kepada kita bahwa pada saat itu sebagai bangsa kita benar-benar di dalam kebingungan menentukan arah. Sebagian ingin meninggalkan total “masa lalu” dan menjiplak total peradaban Barat-Eropa sebagai bangsa yang maju dan menang. Sementara sebagian yang lain ingin berpijak pada “masa lalu”, kebudayaan sendiri, tetapi pada saat bersamaan kehilangan deskripsi historis terhadap “masa lalu” dan wujud kebudayaan bangsa sendiri.
Dua pilihan yang sama-sama tidak mengarah pada tumbuhnya “Pohon yang Baik”. Akibatnya, kita terus bertikai secara destruktif hampir dalam semua sektor kehidupan dan tragedi tahun 65 menandai satu puncaknya yang paling memilukan. Bahkan sampai sekarang!
*****
Bagaimana kita sekarang ini mesti melakukan rekonstruksi pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia dalam konteks seperti di atas? Mampukah gerakan Islam kontemporer menyumbangkan sesuatu yang kreatif untuk membantu pemulihan krisis kebangsaan? Inikah akhir zaman budaya kita? Saya yakin kita mampu, dan menyambut makna “akhir zaman” sebagai titik balik peradaban: dari gerak destruktif menuju gerak konstruktif-kreatif.
Dan dengan demikian, kita bisa menyambut makna “kiamat” yang hakiki sebagai “tegaknya kebenaran”, kembalinya segala sesuatu yang “maya” pada yang “Nyata”. Wallahu a’lam bis shawab.
Keterangan: Pidato kebudayaan di atas disampaikan M. Jadul Maula, 28 Maret 2013, di PBNU.