Oleh KH Abdurrahman Wahid
Beberapa tahun terakhir ini kita saksikan pergulatan yang hebat di kalangan berbagai kelompok Islam di Tanah Air. Banyak muncul berbagai organisasi baru yang mengajukan klaim sebagai perwadahan organisasi kaum ulama Indonesia, baik yang berstatus swasta maupun setengah resmi. <>Ada yang didirikan khusus untuk menampung aspirasi kelompoknya saja, tetapi ada yang didirikan sebagai wadah dialog (musawarah) para ulama berbagai kelompok.
Di samping bertemunya segala macam ajaran dari berbagai kelompok di lingkungan perguruan-perguruan tinggi agama dan non-agama, organisasi-organisasi keulamaan itu akhirnya membawakan kebutuhan untuk melakukan perumusan kembali pengertian aqidah Ahlussunnah wal Jamaah di lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri. Ini tercetus antara lain dalam bentuk membatasi pengertian ke-ahlussunnah-an hanya pada satu ajaran saja. Yaitu ajaran tauhid kedua imam Asy’ari dan Al-Maturidi saja. Asa yang selama ini menjadi dasar keputusan bersama (ijma’ = konsesus) tentang madzhab fiqh dan akhlaq al-tasawwuf diminta agar ditinjau kembali karena ada kemungkinan keduanya tidak termasuk asa ke-ahlussunnah-an.
Kita dapat menghargai dan mengerti munculnya keinginan seperti itu yang didasarkan kepada niat baik untuk mencari pendekatan sejauh mungkin antara warga Nahdlatul Ulama dan warga organisasi-organisasi lain, sebagai reaksi atas perpecahan hebat yang terjadi dalam batang tubuh umat Islam sendiri selama ini. Kita dapat memahami munculnya gagasan islaf (meniru kaum salaf) hingga kepada masa sebelum perbentukan madzhab fiqh, sebagai ikhtiyar penghayatan kembali masa keemasan Khulafaur Rasyiddin. Kita dapat memahami peningkatan kecenderungan untuk istidlal langsung kepada nushush manqulah yang menjadi sumber utama hukum agama kita, dengan mengurangi pengambilan langsung dari aqwal fi qutubihim al-muqarrarah, demi tercapainya kesatuan dan persyatuan di kalangan umat Islam. Semuanya akan kita korbankan dan kita persembahkan kalau diperlukan untuk memelihara kesatuan dan persatuan itu.
Tetapi kenyataan yang ada tidaklah semudah impian di atas. Andai kita tinggalkan perumusan yang sudah ada tentang al-Usus al-tsalatsah fi I’tiqadi ahlissunnah wal Jamaah (bertauhid mengikuti Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi, berfiqh mengikuti salah satu madzhab empat dan berakhlaq sesuai dengan perumusan Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali) dan kita ambil patokan paling sederhana seperti yang diusulkan di atas, dapat dipastikan persatuan dan kesatuan umat Islam tetap belum terwujud. Perpecahan hebat di lingkungan umat Islam diakibatkan oleh perbedaan besar dalam soal-soal luar aqidah, maka yang terjadi adalah perbedaan dalam penerapan aqidah itu sendiri dalam masalah-masalah nyata yang timbul dalam kehidupan. Kaum Ahlussunnah wal Jam’ah di lingkungan Nahdlatul Ulama menggunakan segala kelengkapan (alat) dan istimbath al-ahkam, termasuk usulul al-fiqh, qawaid al-fiqh, dan hikmat al-tasry’ dalam merumuskan keputusan hukum agama mereka, sedangkan orang lain hanya menggunakan istinbath dari (pengambilan lnagsung dari dalam naqli tanpa terlalu mementingkan penggunaan alat-alat tersebut di atas dalil naqli itu) dalam mengambil keputusan. Biar bagaimanapun juga, tiak akan ada kesepakatan cara (wasail, metode) di kalangan kaum muslimin, dan tetap akan ada perbedaan pendapat (ikhtilaf al-ara’) di antara mereka sebagai akibat sebagaimana diperkuat oleh kaidah ikhtilaf al-ummah rahmah.
Menciptakan Saling Penghargaan
Pemecahan persoalannya bukanlah dengan cara mempersatukan semua wasail yang berbeda-beda itu, melainkan menciptakan saling penghargaan di antara kelompok yang berlainan pandangan itu. Kesamaan sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan adalah alat utama untuk menghilangkan perbedaan pendapat, atau setidak-tidaknya usaha menghindarkan perbedaan yang tajam. Sikap hidup dan pandangan umum tentang kehidupan yang bersamaan secara nisbi, dapat dikembangkan melalui penyusunan dasar-dasar umum penerapan aqidah masing-masing guna maslahah bersama. Kalau kita perbincangkan pengembangan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, maka caranya bukanlah dengan mengembangkan (perumusan kembali) aqidah yang sudah muttafaq ‘alaih semenjak berabad-abad, melainkan dengan mengembangkan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah diterima secara umum di lingkungan Nahdlatul Ulama itu. Biarkanlah al-usus al-tsalatsah yang sudah menjadi konsesus itu tetap pada keasliannya, sesuai dengan kaidah “al-ashlu baqau ma kana ala makana”. Yang terpenting adalah bagaimana merumuskan dasar-dasar umum penerapan ketiga usus itu dalam kehidupan nyata sekarang.
Dua Bentuk Kerja Utama
Pengembangan dasar-dasar umum penerapan aqidah yang sudah ada, tanpa mengubah aqidah itu sendiri, dapatlah dirumuskan sebagai upaya pengembangan ajaran (ta’lim) Ahlussunnah wal Jamaah. Pengembangan ajaran itu mengambil bentuk dua kerja utama berikut.
Pertama, pengenalan pertumbuhan kesejarahan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang meliputi pengkajian kembali sejarah pertumbuhan Ahlussunnah wal Jamaah dan dasar-dasar umum penerapannya di brbagai negara dan bangsa, semenjak masa lalu dan sekarang. Ini meliputi pengkajian wilayah (dirasat al-aqalim al-muslimah/area studies of Islamic people), dari Afrika Barat hingga ke Oceania dan Suriname. Kekhususan dasar umum masing-masing wilayah harus dipelajari secara teliti, untuk memungkinkan pengenalan mendalam dan terperinci atas praktik-praktik ke-ahlussunnah-an.
Kedua, perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah, meliputi bidang-bidang berikut;
1. Pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam
2. Pandangan tentang ilmu, teknologi, dan pengetahuan
3. Pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat
4. Pandangan tentang hubungan individu (syakhs) dan masyarakat (mujtama’)
5. Pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik dan budaya
6. Pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat, dan
7. Asas-asa penerapan ajaran agama dalam kehidupan.
Secara terpadu, perumusan akan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat itu akan membentuk perilaku kelompok dan perorangan yang terdiri dari sikap hidup, pandangan hiup, dan sistem nilai (manhaj al-qiyam al-mutsuliyyah) yang secara khusus akan memberikan kebulatan gambaran watak hidup Ahlussunnah wal Jamaah (syakhsyiyatu ma tamassaka bi aqidati Ahlissunnah wal Jamaah).
Kehidupan Masa Kini
Perumusan dasar-dasar umum kehidupan bermasyarakat yang dibagi dalam tujuh bidang di atas, akan dapat dilakukan dalam sebuah dialog terbuka di kalangan warga Nahdlatul Ulama, tidak hanya terbatas di lingkungan tertentu saja. Untuk memungkinkan pembicaraan terbuka yang eifisien, diperlukan sebuah kerangka umum pandangan Nahdlatul Ulama atas masalah-masalah kehidupan masa kini. Kerangka umum itu, menurut hemat penulis, haruslah memasukan unsur-unsur berikut.
Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup ini adalah peribadatan (al-hayatu ‘ibadatun kulluha). Pandangan ini akan membuat manusia menyadari pentingnya arti kehidupan, kemuliaan kehidupan, karena itu hanya kepadanya lah diserahkan tugas kemakhlukan (al-wadhifat al-khalqiyyat) untuk mengabdi dan beribadat kepada Allah SWT. Demikian berharganya kehidupan, sehingga menjadi tugas umat manusia lah untuk memelihara kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, termasuk memelihara kelestarian sumber-sumber alam, memelihara sesama manusia dari pemerasan oleh segolongan kecil yang berkuasa melalui cara-cara bertentangan dengan perikemanusiaan, meningkatkan kecerdasan bangsa guna memanfaatkan kehidupan secara lebih baik, dan seterusnya.
Kedua, kejujuran sikap hidup merupakan sendi kehidupan bermasyarakat sejahtera. Kejujuran sikap ini meliputi kemampuan melakukan pilihan antara berbagai hal yang sulit, guna kebahagiaan hidup masa depan; kemampuan memperlakukan orang lain seperti kita memperlakukan diri sendiri (sehingga tidak terjadi aturan permainan hidup bernegara yang hanya mampu menyalahkan orang lain dan menutup mata terhadap kesalahan sendiri); dan kemampuan mengakui hak mayoritas bangsa dan umat manusia untuk menentukan arah kehidupan bersama. Kejujuran sikap ini akan membuat manusia mampu memahami betapa terbatasnya kemampuan diri sendiri, dan betapa perlunya ia kepada orang lain, bahkan kepada orang yang berbeda pendirian sekalipun. Ini akan membawa kepada keadilan dalam perlakuan di muka hukum, penegakan demokrasi dalam arti yang sebenarnya, dan pemberian kesempatan yang sama untuk mengembangkan pendapat masing-masing dalam kehidupan bernegara.
Ketiga, moralitas (akhlaq) yang utuh dan bulat. Akhlaq yang seperti ini, yang sudah dikembangkan begitu lama oleh para ulama kita, tidak rela kalau kita hanya berbicara tentang pemberantasan korupsi sambil terus-menberus mengerjakannya; tidak dapat menerima ajakan hidup sederhana oleh mereka yang bergelimang dalam kemewahan tidak terbatas yang umumnya diperoleh dari usaha yang tidak halal; dan menolak penguasaan seluruh wilayah kehidupan ekonomi oleh hanya sekelompok kecil orang belaka.
Secara keseluruhan, kerangka umum di atas akan membawa Nahdlatul Ulama kepada penyusunan sebuah strategi perjuangan baru yang akan mampu memberikan jawaban kepada tantangan-tantangan yang dihadapi Nahdlatul Ulama sendiri dewasa ini dan di masa mendatang, strategi perjuangan itu, yang unsur-unsurnya sudah banyak dibicarakan dan dirumuskan dalam berbagai kesempatan oleh banyak kalangan Nahdlatul Ulama sendiri, perlu dirumuskan dan disusun, jika kita ingin melakukan perjuangan yang lebih terarah dengan cara yang lebih tepat.
Dua Sendi
Untuk keperluan penyusunan strategi perjuangan itu, di bawah ini akan dikemukakan kedua sendi yang tidak boleh tidak harus dimiliki.
Pertama, pendekatan yang akan diambil oleh strategi itu sendiri, yang seharusnya ditekankan pada penanganan masalah-masalah kongkret yang dihadapi oleh masyarakat melalui kerja-kerja nyata dalam sebuah proyek rintisan, baik di bidang pertanian, perburuhan, industri kecil, kesehatan masyarakat, pendidikan keterampilan, dan seterusnya.
Kedua, organisasi atau arah yang akan ditempuh oleh strategi itu sendiri, yang seyogianya dipusatkan pada pelayanan kepada kebutuhan pokok mayoritas bangsa, yaitu kaum miskin dan yang berpenghasilan rendah.
*) Tulisan ini pernah dimuat sebagai kata pengantar dalam buku “Ahlussunnah wal Jamaah: Sebuah Kritik Historis” karya KH Said Aqil Siroj (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008).