Taushiyah

Pokok-Pokok Pikiran Bersama Tentang Masalah Pengiriman TKI Luar Negeri

Selasa, 7 Desember 2010 | 09:16 WIB

Pokok-Pokok Pikiran Bersama Tentang Masalah Pengiriman TKI Luar Negeri

1. Menjunjung tinggi martabat TKI di Luar Negeri. Pergantian tahun Islam hari ini, Selasa, 1 Muharam 1432 H/7 Desember 2010 untuk melakukan refleksi dan kita manfaatkan sebagai momentum untuk mendorong peningkatan martabat Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau biasa disebut “buruh migran”, khususnya di negara-negara Timur Tengah. Martabat bangsa ini juga dipertaruhkan pada kemampuan kita untuk melindungi martabat TKI di luar negeri.<>

2. Dari TKI Luar Negeri jangan dilihat devisanya saja. TKI jangan hanya dipikirkan devisa yang dihasilkannya, karena cara berpikir seperti itu nyata betul telah menumbuhsuburkan komersialisasi TKI. Masyarakat seolah diajak untuk berpikir bahwa TKI luar negeri adalah penghasil devisa. Pemerintah menyebutnya sebagai pahlawan devisa. Para pelaku usaha (PJTKI) dan atau pelaksana pengiriman/penempatan TKI (BNP2TKI) dengan bangga menunjukkan angka-angka devisa hasil remitansi dana buruh migran itu. Ini menunjukkan bahwa bekerja di luar negeri bukan hanya kebutuhan TKI saja. PJTKI dan pemerintah juga membutuhkannya. Namun semua itu tidak diimbangi dengan penghargaan dan perlindungan yang memadai terhadap para TKI luar negeri yang seharusnya diterimanya. Sehingga dari tahun ke tahun selama bertahun-tahun selalu saja muncul TKI-TKI korban kekerasan, perkosaan, pelecehan seksual, dll, terutama di Arab Saudi. Masyarakat di negeri tersebut masih kuat kecenderungannya untuk memperlakukan orang, terutama dari negeri-negeri non Arab, sebagai budak. Sehingga TKI di Arab Saudi berada di antara dua keburukan: tidak memperoleh apresiasi dan perlindungan dari negaranya dan budaya perbudakan yang masih melekat dalam perilaku orang Arab. Indonesia bukan satu-satunya negara pengirim tenaga kerja kurang berkeahlian atau untuk pekerjaan di sektor domestik. Bedanya di negara-negara lain buruh migrannya –sekalipun hanya bekerja di sektor domestik – tetapi tetap jauh lebih dihargai dan cukup memperoleh perlindungan dari pemerintahnya sehingga tenaga kerja migrannya jarang yang diperlakukan tidak senonoh oleh para majikannya.

3. Memelihara hak hidup. Bekerja di luar negeri bagi sebagian terbesar TKI merupakan upaya untuk mengatasi kesulitan hidup di dalam negeri. Kenyataan menunjukkan bahwa negeri ini tidak cukup dapat menyediakan lapangan kerja, baik untuk tenaga berkeahlian maupun tenaga kerja di sektor domestik sebagaimana dilakukan sebagian besar tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Artinya menjadi TKI di luar negeri adalah memenuhi tuntutan hidup. Dengan demikian menjadi TKI luar negeri merupakan upaya untuk memenuhi hak yang paling mendasar, hak untuk mempertahankan hidup dan hak untuk berusaha. Betapapun hanya di sektor domestik, kita harus mengapresiasi para TKI di luar negeri.

4. Berikan empati dan dukungan. Apresiasi terhadap TKI di luar negeri itu perlu diwujudkan dalam bentuk solidaritas dan empati, terutama kepada TKI-TKI yang menjadi korban kekerasan, pelecehan seksual, perkosaan dan lain-lain. Sebaliknya jangan sekali-kali melecehkan, mencibir dan menghina-hinakan para TKI. Solidaritas dan empati yang dikembngkan terus-menerus di tengah masyarakat akan membesar dan bergelombang bisa menjadi kekuatan moral untuk menekan tumbuh-suburnya komersialisasi, tipu-menipu serta muslihat dari sementara calo-calo TKI yang menjerumuskan tenaga-tenaga kerja yang lugu pada lingkaran setan “perdagangan manusia” (human trafficking), dan mengontrol berbagai pihak (PJTKI, Kementerian Tenaga Kerja) dan lain-lain untuk memperlakukan dan menempatkan TKI di luar negeri secara bertanggungjawab.

5. Tidak konsisten dalam menerapkan peraturan perundang-undangan. Kekuatan moral itu juga dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk benar-benar melaksanakan kebijakan pengiriman TKI di luar negeri yang disertai dengan kebijakan perlindungan yang semestinya. Sebenarnya secara konseptual pemerintah sudah memiliki aturan-aturan tata kelola pengiriman dan penempatan TKI luar negeri yang cukup komprehensif dalam UU seperti UU No.39/2004 dan peraturan-peraturan lainnya. Sayangnya peraturan perundang-undangan tersebut kurang dilaksanakan secara konsisten, tegas dan berkesinambungan. Sementara di sisi lain ada kelalaian yang lain bahwa Indonesia belum memiliki perjanjian kerjasama dengan beberapa negara penting penempatan TKI luar negeri ini, termasuk dengan Arab Saudi yang banyak TKI-nya sering bermasalah. Kita tahu, sebaik apapun peraturan perundang-undangan kita dengan sendirinya akan sulit diterapkan untuk memproteksi TKI kita di luar negeri kalau tidak ada perjanjian kerjasama dengan negara-negara pengguna/penerima TKI kita.

6. Berikan jaminan perlindungan bagi TKI luar negeri. Adalah tidak realistis kalau pemerintah mengambil kebijakan penghentian pengiriman TKI ke luar negeri, karena pemerintah tak akan sanggup menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk penggantinya bagi mereka yang berminat kerja di luar negeri, khususnya. Pengiriman TKI boleh saja diteruskan–dengan pengetahuan berbagai persyaratan sebagaimana yang sudah/sedang dilakukan dan mendisiplinkan PJTKI-PJTKI yang nakal—tetapi harus ada langkah kongkret untuk melindungi TKI-TKI yang sekarang sudah terikat kontrak/ sudah dulu penempatan. Seiring dengan itu rumuskan standarisasi perlindungan TKI luar negeri, berikan sanksi yang setimpang kepada pihak pelaksana pengiriman TKI (PJTKI) yang ingkar melakukannya. Untuk itu aktifkan perwakilan RI di luar negeri (Konjen dan Kedubes RI) serta lakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga buruh International (seperti ILO) untuk meminimalisir TKI-TKI korban para majikan kejam. Dalam kaitan itu pemerintah dan masyarakat Indonesia perlu memberikan apresiasi yang tinggi untuk kalangan LSM seperti Migrant Care yang selama ini gigih membela TKI-TKI yang jadi korban. Maka hal yang paling tepat adalah penghentian sementara pengiriman TKI ke luar negeri sampai pemerintah benar-benar bisa memberikan jaminan perlindungan kepada TKI.

7. Serius membuat perjanjian kerjasama terutama dengan Saudi Arabia. Sejalan dengan itu segera dilakukan upaya-upaya untuk membuat perjanjian kerjasama dengan negara-negara pemakai TKI Indonesia. Semua upaya diplomatik perlu dikerahkan untuk mewujudkan usulan tersebut. Disarankan agar keberhasilan atau kegagalan perwakilan RI dan diplomat-diplomat di luar negeri dalam melindungi TKI untuk mewujudkan perjanjian kerjasama tersebut dijadikan ukuran/indikator tanggungjawab dan kinerja mereka dalam menjalankan tugasnya di luar negeri.

Gedung PBNU Lt. 5, Selasa 7 Desember 2010

1. PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
2. PP. MUHAMMADIYAH
3. PP. AL IRSYAD AL ISLAMIYYAH
4. PB. AL WASHLIYAH
5. DPP AL ITTIHADIYAH
6. DPP PERTI
7. PP PERSIS
8. PP. SYARIKAT ISLAM INDONESIA
9. PERSATUAN ISLAM TIONGHOA INDONESIA (PITI)
10. PP. RABITHAH ALAWIYIN
11. DPP PARMUSI
12. PP MATHLAUL ANWAR


Terkait