Mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terakhir yang mampu menyatukan kepemimpinan keseluruhan cabang tarekat itu. Dia murid dan salah satu khalifah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, penyusun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
<>
Lewat Abdul Karim yang berpusat di Banten, tarekat ini tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Tidak hanya dalam soal olah batin, lingkaran tarekat Abdul Karim juga terkenal karena sebagian murid terdekatnya dihubungkan dengan pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1888.
Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 M/1250 H. di desa Lampuyang, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Cholil, Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, dan lain-lain.
Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Ahmad Khatib Sambas ini, Abdul Karim mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.
Selain Abdul Karim, Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.
Setelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten, diperkirakan pada tahun 1860-an, kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Nama pesantrennya, sayang tidak diketahui, kecuali hanya informasi bahwa pesantren ini berkembang dan murid-murid tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.
Di antara murid-muridnya adalah Tubagus Muhammad Falak Pandeglang. Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung dan waliyullah.
Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial.
Sebagai tokoh karismatik, dia selalu dimintai restu oleh tokoh-tokoh Banten, baik pejabat pemerintah maupun para pemimpin perancang pemberontakan. Beberapa muridnya yang kemudian dianggap berperan dalam mengajak pemberontakan adalah Tubagus Ismail dan H. Mardjuki (yang menjadi salah satu khalifahnya dalam tarekat).
Hanya saja, sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah, diperkirakan terjadi pada tahun 1876, setahun setelah meninggalnya Ahmad Khatib Sambas. H. Mardjuki kemudian juga menyusul pergi ke Mekkah sebelum pemberontakan terjadi.
Di Mekkah, Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin tarekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti.
Sepeninggal Abdul Karim, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal yang ditaati oleh seluruh anggota dan hanya menjadi kelompok tarekat dengan kepemimpinan lokal, meskipun memiliki pengikut yang sangat besar. (Sumber: Ensiklopedia NU)