Tokoh

Ajengan Abdullah, Santri Hadratussyekh dari Cicukang Bandung

Jumat, 22 Juni 2018 | 00:00 WIB

Masih sedikit catatan yang mengungkap tentang peran ajengan-ajengan di Jawa Barat yang berperan dalam menanamkan NU. Terutama pada tahun 1930-an. Beruntung cabang NU Tasikmalaya memiliki majalah Al-Mawaidz sehingga kegiatan dan pemikiran para tokohnya terdokumentasi dengan baik. Itu pun mulai tahun 1933 hingga 1935. 

Kiai Wahid dalam buku Sedjarah K.H.A. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, (Abubakar Aceh, 1957) mengatakan, pada muktamar NU keempat di Semarang, ada kiai dari Bandung yang hadir, yaitu Ajengan Dimyathi Sukamisikin, pengasuh Pondok Pesantren Sukamiskin. Pesantren ini didirikan KH Muhammad Alqo pada tahun 1700 dan dianggap sebagai pesantren tertua di Kota Bandung.  

Data Kiai Wahid ini didukung oleh data Choirul Anam dalam Perkembangan dan Pertumbuhan NU. Namun, sepertinya ia salah tulis karena dalam bukunya itu dengan menyebut Kiai Abbas Sukamiskin. Sebab, menurut Kiai Abdul Aziz, pengasuh pesanten Sukamiskin saat ini, tidak ada leluhurnya bernama Kiai Abas. Kemungkinan besar yang dimaksud Kiai Abbas di buku Choirul Anam itu adalah Ajengan Dimyathi.  

Data dari perpus PBNU yang berjudul Catatan Singkat Kongres NU di Semarang 1929-Kongres NU ke-10 di Surakarta (1935) juga menyebutkan kehadiran Ajengan Dimyathi Sukamiskin. 

Nah, di dalam catatan tersebut, ada menyebut Ajengan KH Abdullah Cicukang, salah seorang kiai yang berperan pada muktamar NU Bandung tahun 1932. Siapakah kiai tersebut? 

Dalam buku-buku sejarah NU memang jarang atau hampir tidak ada yang menulis tentang dia. Tapi beruntung ada majalah Al-Mawaidz. Meski majalah itu diterbitkan NU Cabang Tasik, tapi juga memuat berita dari cabang-cabang NU terdekat, di antaranya Bandung. 

Menurut laporan majalah itu, Ajengan Abdullah hadir hadir pada kegiatan Ranting NU Nyengseret. Kegiatannya adalah tabligh di sekolah agama Chaeriyah Gang Afandi Bandung. 

Majalah berbahasa Sunda tersebut melaporkan pada edisi tahun 1935 yang diterjemahkan sebagai berikut:

Hadirin yang terdiri dari kaum bapak dan ibu berdesakan di luar dan di dalam rumah. Pukul 9 malam acara dibuka oleh Marzuki. Sementara yang hadir dari pengerus NU Bandung adalah SWAR Hasan, RH Dahlan dan Kiai H. Abdullah. Lagi-lagi penceramah Ajengan Ambri dari Bayongbong Garut. Sebagaimana biasa, acara dimulai dengan membaca Al-Qur’an. Kali ini oleh KH Abdullah. 

Dari mana ceritanya Ajengan Abdullah bisa terhubung dengan NU? Setelah ditelusuri, ternyata ia merupakan santri langsung dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ia nyantri di Tebuireng sejak 1918 hingga 1926. 

Menurut salah seorang cucunya, KH Asep Jamaluddin, Ajengan Abdullah saat menjadi santri Tebuireng turut serta dalam doa bersama untuk mendirikan NU. Tahun-tahun saat hendak mendirikan NU Hadratussyekh mengajak para santrinya untuk memanjatkan doa untuk kesuksesan mendirikan organisasi NU terebut. 

Sepulang dari Tebuireng, sebagaimana sejawatnya, KH Ahmad Dimyathi Sirnamiskin, Ajengan Abdullah Aktif di NU. 

Ketika pulang ke rumahnya, di kampung Ciheulang, Ciparay (Kabupaten Bandung sekarang), ia memperkenalkan NU kepada orang tuanya sendiri, Ajengan Husein. Mulanya ditolak. Butuh waktu sebulan, Ajengan Abdullah menjelaskan tentang NU hingga akhirnya diterima.

Pada tahun 1935, majalah Al-Mawaidz melaporkan ada kegiatan NU di Ciheulang Ciparay yang dihadiri pengurus-pengurus NU Cabang, di antaranya KH Ahmad Dimyathi Sirnamiskin.

“Ajengan Abdullah pernah ditanya kamu membawa aliran apa oleh Ajengan Husein,” kata KH Asep Jamaluddin yang juga Ketua PCNU Kabupaten Bandung saat ini.

Sementara Ajengan Abdullah sendiri tinggal di kediaman istrinya, daerah Cicukang sehingga ia dikenal Ajengan Abdullah Cicukang (masuk ke kota Bandung). (Abdullah Alawi)
  


Terkait