Imam Abu Dawud, penulis kitab hadits Sunan Abi Dawud adalah imam hadits sekaligus ahli fiqih asal kota Sijistan, Afganistan, sebagian wilayahnya ada yang masuk Pakistan dan Iran sekarang.
Abad 3 hingga pertengahan abad 4 Hijriah merupakan golden age bagi perkembangan ilmu hadits. Pada masa itu hadits dan ilmu-ilmunya telah terkodifikasi dengan sempurna, begitu kata Syekh Nuruddin ‘Itr. (Nuruddin ‘Itr, Manhajun Naqdi fi ilmil Hadits, [Beirut: Darul Fikr, 2021]), halaman 64).
Meskipun belum sampai pada puncaknya, namun ilmu hadits pada masa itu mengalami perkembangan sangat besar. Memang pada masa itu banyak ditemukan ulama-ulama besar dalam bidang hadits, sedikit di antaranya adalah para penulis enam kitab induk hadits atau al-kutubus sittah. Salah satu di antara enam tokoh tersebut ada Sulaiman bin Al-Asy’ats atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Abu Dawud.
Kelahiran dan Pertumbuhan Abu Dawud
Abu Dawud lahir pada tahun 202 H di Sijistan, sebuah kota masa lalu yang letaknya sekarang berada di sebagian wilayah Afganistan, Iran, dan Pakistan. Namun Abu Dawud tumbuh besar di Basrah, Irak, yang pada saat itu merupakan kota dengan peradaban ilmu yang sangat tinggi. Pada masa itu, ada tiga ilmu yang banyak digeluti umat Islam: ilmu kalam, fiqih, dan hadits. Abu Dawud memilih yang ketiga. (Abu Zahrah, A’lam wa ‘Ulama’ Qudama’ wa Mu’ashirin, [Amman, Darul Fath: 2009], halaman 115).
Guru dan Murid Abu Dawud
Setelah berguru pada ulama sekitar Bashrah seperti Muslim bin Ibrahim, Abdullah bin Raja’, dan lainnya, Abu Dawud melanjutkan pengembaraan ilmu ke berbagai negara. Di Makkah, ia belajar kepada Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi, Sulaiman bin Harb, dan banyak ulama lain. Di Bagdad ia berguru kepada Ahmad bin Hanbal. Di Kufah, ia menimba hadits dari Al-Hasan bin Ar-Rabi’, Ahmad bin Yunus Al-Yarbu’i, dan lainnya.
Pengembaraan ilmunya sampai ke Hijaz, Mesir, Syam, Khurasan, dan berbagai daerah lain. Beberapa nama besar seperti Ishaq ibnu Rahuwaih, Yahya ibnu Ma’in, ‘Ali ibnu Al-Madini, hingga Imam Al-Bukhari tercatat sebagai gurunya. Dalam pengembaraan ilmu ke berbagai negara, Abu Dawud ditemani kakaknya bernama Muhammad, yang secara usia tak terpaut banyak. Mereka berdua belajar bersama kepada para ulama.
Selain belajar kepada nama-nama besar, Abu Dawud juga memiliki murid-murid yang di kemudian hari menjadi tokoh tersohor. Beberapa di antara murid beliau adalah Abu Bakr Abdullah, putra beliau sendiri. Di kemudian hari Abdullah menjadi guru dari Ibn Hibban. Namun sayangnya ia tak berumur panjang, bahkan meninggal lebih dahulu sebelum ayahnya. Selain sang putra, An-Nasa’i dan At-Tirmidzi juga tercatat sebagai murid Abu Dawud. (Syamsuddin Adz-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, [Beirut, Mu’assasah Ar-Risalah: 1983], juz XIII, halaman 204-205, 221). (‘Itr, Manhajun Naqdi, halaman 65).
Imam Hadits Sekaligus Ahli Fiqih
Adz-Dzahabi berkomentar:
“Abu Dawud, selain pemuka dalam ilmu hadits, beliau juga salah satu ahli fiqih terkemuka. Ia adalah salah satu murid terbaik Imam Ahmad”. Abu Dawud memang memiliki perhatian lebih pada hadits-hadits tentang hukum (ahaditsul ahkam), hal ini sangat tampak pada masterpiece kitab Sunan-nya. Tidak heran, Imam An-Nawawi menganjurkan kepada para pecinta fiqih untuk mempelajari Sunan Abi Dawud dengan serius. Bahkan menurut Imam Al-Ghazali, kitab itu dinilai cukup sebagai bekal hadits ahkam bagi seorang mujtahid.
Setelah menyelesaikan penulisan Sunan tersebut, Abu Dawud menyerahkannya pada gurunya, yakni Imam Ahmad bin Hanbal. Karya itu pun mendapat apresiasi yang baik dari sang guru.
(Muhammad Abdurrahman Mubarakfuri, Fawaid fi ‘ilmil Hadits, [Riyadh, Darul Minhaj, 2010], halaman 404). (Abu Zahrah, A’lam wa ‘Ulama’, halaman 117; dan Ad-Dzahabi, Siyaru A’lam, juz XIII, halaman 209 dan 215).
Menetap di Bashrah atas Permintaan Raja
Ibnu Jabir, pelayan atau khadimnya menceritakan kisah menarik. Suatu hari di kota Bagdad seusai shalat Maghrib, gurunya kedatangan tamu besar, yakni Al-Muwaffaq, putra mahkota Raja Al-Mutawakkil. Terjadi percakapan di antara mereka berdua.
Abu Dawud: “Apa yang membuat Pangeran datang di waktu seperti ini?”
Al-Muwaffaq: “Tiga hal.”
Abu Dawud: “Apa saja?”
Al-Muwaffaq: “Engkau pindah ke Basrah dan menetap di sana, agar para pelajar mendatangimu sehingga kota itu kembali ramai. Sungguh Basrah telah hancur dan sepi dari manusia akibat pemberontakan orang-orang Zinji.”
Abu Dawud: “Ini pertama.”
Al-Muwaffaq: “Ajarkan kitab Sunan-mu kepada anak-anakku.”
Abu Dawud: “Baik. Sebutkan yang ketiga.”
Al-Muwaffaq: “Kau beri mereka waktu khusus, karena para putra raja tidak boleh duduk bersama rakyat biasa.”
Abu Dawud: “Yang terakhir tidak bisa kupenuhi. Semua orang setara dalam hal ilmu.”
Akhirnya Abu Dawud pindah ke Basrah, dan para putra raja belajar kepadanya bersama para pelajar lainnya dengan disekat pembatas. Tokoh besar ini mengakhiri masanya yang penuh berkah dan manfaat di dunia pada 16 Syawwal 275 H. (Az-Dzahabi, Siyaru A’lam, juz 13, halaman 215, 221). Wallahu a'lam.
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo