Masyarakat sekitar sering menulis namanya dengan KH Ghazali Ahmadi. Lahir di Dusun Arjasa Lao’ Desa Arjasa Kabupaten Sumenep Madura pada tanggal 04 Mei 1945. Berasal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya rajin berkhidmah pada orang-orang alim dengan harapan agar Ghazali kecil kelak juga menjadi orang alim.
Ghazali kecil bukan hanya sekolah melainkan juga mengaji. Di samping belajar di SDN Arjasa 1 Sumenep, orang tuanya menyerahkan pelajaran agama Ghazali pada pamannya sendiri, K.H Syarfuddin Abdusshomad. Di sebuah surau kecil, K.H Syarfuddin mengajari Ghazali kecil mengeja huruf Hija’iiyah hingga mengaji kitab Imrithi dan syarah Jurumiyah. Ghazali juga mengaji selama 8 bulan pada K.H Abdul Adhim Cholil (1930-1992).
Tahun 1959, dengan diantar K.H Abdul Adhim Cholil dan K.H Syarfuddin, Ghazali Ahmadi mondok di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo. Ia diterima di kelas 5 Madrasah Ibtida’iyah. Dan pada akhirnya, ia menyelesaikan seluruh jenjang studinya di pesantren yang didirikan K.H R Syamsul Arifin ini, mulai dari Madrasah Ibtid’iyah, MTs, Madrasah Aliyah hingga lulus Sarjana Muda (BA) di Fakultas Syari’ah Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo.
Di samping belajar, di Pesantren Sukorejo ini ia juga mengajar. K.H R As’ad Syamsul Arifin mengangkatnya sebagai ustadz sejak Ghazali duduk di bangku kelas 3 MTs Sukorejo. Kiai As’ad menunjuknya sebagai guru bidang fikih di kelas 1 MTs Sukorejo Putri yang salah satu muridnya adalah putri Kiai As’ad sendiri, yaitu Nyai Hj Zainiyah As’ad. Setelah lulus sarjana muda, Ustadz Ghazali mengajar Fathul Wahhab di Madrasah Aliyah. Di antara muridnya saat itu yang sekarang terkenal adalah: K.H Afifuddin Muhajir (Rais Syuriah PBNU) dan K.H Salwa Arifin (Pengasuh Pesantren sekaligus Bupati Bondowoso Jawa Timur).
Tak hanya mengajar di ruang kelas, Ustadz Ghazali juga menggelar pengajian bandongan di Masjid Jami’ Pesantren Sukorejo. Di pengajian bandongan itu, Ustadz Ghazali membaca banyak kitab terutama di bidang fikih seperti Kitab Fahul Mu’in, dan lain-lain. Ia juga telah menulis kitab Sabilul Jannah, kitab fikih ibadah dalam bahasa Madura.
Namun, tak ingin hanya menekuni ilmu fikih, Ustadz Ghazali juga ingin memasuki dunia tarekat. Tahun 1973, Ustadz Ghazali talqin Tarekat Naqsyabandiyah pada K.H Ali Wafa Ambunten Sumenep. Setelah Kiai Ali Wafa wafat (1886-1976), Ustadz Ghazali melanjutkan bimbingan tarekatnya pada KH Ahmad Sofyan Miftahul Arifin (1915-2012) Sletreng Situbondo.
Di Pesantren Sukorejo, Ustadz Ghazali mendapatkan banyak hal dari Kiai As’ad. Pertama, Kiai As’ad mengajarinya ilmu pertukangan dan bangunan. Bukan hanya teori bahkan langsung praktik. Tak jarang Kiai As’ad yang menyusun batu bata dan Ustadz Ghazali yang mengaduk semennya. Kedua, Kiai As’ad mengajari Ustadz Ghazali “ilmu pidato”. Itu juga tak hanya teori melainkan langsung terjun ke lapangan. Kiai As’ad sering membawa Ustadz Ghazali ceramah ke berbagai daerah di Jawa Timur seperti Situbondo, Bondowoso, dan Jember. Biasanya Kiai As’ad ceramah lima menit lalu beliau meminta Ustadz Ghazali melanjutkan ceramahnya dan nanti ditutup oleh Kiai As’ad.
Ketiga, Kiai As’ad juga mencarikan pekerjaan buat Ustadz Ghazali. Datang dari keluarga biasa, Kiai As’ad menyuruh Ustadz Ghazali mengikuti tes seleksi guru Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dan Kiai As’ad sendiri yang mengupayakan kelulusannya dan mengusulkan penempatannya di Situbondo agar tetap bisa mengabdi di Pesantren Sukorejo. Akhirnya, sejak 31 November 1967 Ustadz Ghazali resmi menjadi guru agama negeri di lingkungan Kemenag Kabupaten Situbondo.
Gaji sebagai guru PNS dan bisyarah sebagai muballigh membuat Ustadz Ghazali Ahmadi merasa cukup bekal untuk berumah tangga. Tanggal 15 September 1969, Ustadz Ghazali mempersunting putri pertama sang paman sekaligus gurunya, yaitu Nyai Hj. Luthfiyah binti K.H Syarfuddin Abdusshomad. Sang istri dibawanya mondok di Pesantren Sukorejo hingga lahir anak pertamanya pada tanggal 7 Juni 1971 waktu subuh. K.H Dhofir Munawwar (menantu Kiai As’ad sekaligus guru Ustadz Ghazali) memberi nama sang putra yang baru lahir tersebut dengan nama: Abdul Muqsith.
Puluhan tahun Kiai Ghazali malang melintang di Situbondo dan sekitarnya. Ia mengaji ratusan kitab kepada banyak kiai dan ulama. Di samping mengaji puluhan kitab kepada para kiai dan ustadz di Pesantren Sukorejo, Kiai Ghazali juga mengaji kitab Lubbul Ushul dan Jam’ul Jawami’ kepada KH Sya’rani (Parante Asembagus Situbondo) dan mengaji sebelas kitab tipis kepada KH Umar Sumberwiringin Jember (1904-1982) seperti kitab Nurudhhalam, Tijan al-Darari, dan lain-lain. Sering juga beliau tabarrukan kepada para kiai yang dikenal sebagai wali-wali Allah seperti Kiai Togo Bondowoso dan Kiai Husnan Bondowoso.
Pendirian Pesantren Zainul Huda
Lama tertahan di Situbondo, dan baru tahun 1981 KH Ghazali Ahmadi bisa mutasi ke kampung halamannya, Arjasa Sumenep Madura. Namun, jauh sebelum pulang kampung, K.H Ghazali telah membuat syarat bahwa dirinya bisa menetap di kampungnya kalau sudah disediakan lahan tanah untuk dibangun pondok pesantren. Tanpa berfikir lama, khawatir cucu kesayanganya (Nyai Luthfiyah) akan dibawa menetap di Situbondo oleh K.H Ghazali Ahmadi, maka Nyai Hanimah binti Umat yang dikenal tuan tanah dan notabene adalah mertua K.H Syarfuddin menyerahkan sebidang tanah untuk tujuan tersebut. Dengan disetujui KH Syarfuddin, maka K.H Ghazali Ahmadi kelak menamai pesantren tersebut dengan nama Pondok Pesantren Zainul Huda Duko Lao’ Arjasa Sumenep.
Sebelum pulang kampung, KH Syarfuddin dengan didukung oleh seluruh masyarakat sekitar sudah memulai pembangunan Madrasah Ibtida’iyah, surau kecil di atas tanah wakaf Nyai Hanimah tersebut. Kini di atas nama wakaf itu juga telah berdiri Madrasah Ibtida’iyah, Madrasah Diniyah Sufla, Kantor Pesantren Zainul Huda dan Masjid Zainul Huda. Tak hanya wakaf untuk pesantren, Nyai Hanimah binti Umat juga menghibahkan tanah untuk anak-anak perempuan dari pasangan K.H Syarfuddin dan Nyai Mu’awanah binti Nyai Hanimah. Karena tanah warisan dari pihak perempuan, maka yang menetap di area dalam PP Zainul Huda adalah anak-anak perempuan Nyai Mu’awanah, sedangkan anak laki-lakinya berada di luar pesantren.
Pesantren ini terus dikembangkan dan pengembangannya tak lepas dari peran KH Ghazali Ahmadi. Telah berdiri misalnya Madrasah Diniyah Wustho, SMP Islam Zainul Huda. Beberapa tahun terakhir, Kiai Ghazali memimpin sendiri pembangunan gedung SMA Zainul Huda dan Madrasah Diniyah Ulya. Untuk kebutuhan ini itu, beliau berbelanja sendiri ke pasar. Sempat muncul pro-kontra di keluarga karena kesukaan Kiai Ghazali berbelanja ke pasar. Namun, Kiai Ghazali punya alasan bahwa Nabi SAW juga ke pasar. Alkisah, orang-orang Musyrik Mekah meragukan kenabian Baginda Nabi SAW karena kesukaan beliau pergi ke pasar. Al-Qur’an merekam keberatan mereka, “waqalu mali hadza al-rasul ya’kulu al-tha’am wa yamsyi fi al-aswaq..” [Dan mereka berkata, “Mengapa Rasul (Muhammad) memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar…]
Tak hanya mengurus pembangunan fisik pesantren, K.H Ghazali Ahmadi juga aktif memberi pengajian kitab. Ketika masih muda, beliau pernah mulang sejumlah kitab seperti Syarah Jurumiyah, Asymawi, Ibnu Aqil, Kifayatul Adzkiya’, Nurul Yaqin, dan lain-lain. Juga dalam kurun waktu lama beliau mengadakan pengajian Jum’at pagi khusus perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga yang tinggal di sekitar Pesantren Zainul Huda.
Terjun dalam Dunia Dakwah
Kiai Ghazali tak menghabiskan seluruh waktunya di pesantren. Beliau juga terjun dalam dunia dakwah. Ia mendakwahkan Islam Ahlussunnah Waljamaah hingga pulau-pulau terpencil di Kabupaten Sumenep seperti Sapekan, Saobi, Saibus, Paliat, Sapangkor, dan lain-lain. Jangan bayangkan perjalanan dakwahnya seperti perjalanan para da’i selebritis di kota-kota besar yang dijemput dengan mobil mewah atau naik pesawat terbang dan pulang dengan penuh suka cita.
Perjalanan dakwah Kiai Ghazali sangat terjal. Ia sering berjalan kaki, menembus jalanan tak beraspal, untuk mendakwahkan Islam di daerah-daerah terpencil tanpa penerangan listrik, yang mayoritas masyarakatnya buta huruf baik aksara latin maupun aksara Arab. Di saat yang lain, ia menunggang kuda untuk menjangkau masyarakat yang berada di balik bukit dan di seberang sungai yang tidak bisa ditembus dengan kendaraan bermotor. Pada waktu yang lain, Kiai Ghazali harus menaiki perahu kecil untuk menyeberang ke pulau-pulau terpencil yang belum banyak tersentuh pendidikan dan ilmu-ilmu Islam.
Wahnan ‘ala wahnin, payah di atas payah. Tak hanya payah secara fisik, melainkan juga melelahkan secara psikis. Karena berceramah di tengah masyarakat yang angka kriminalitasnya cukup tinggi, kadang bukan apresiasi yang didapatkan melainkan hujatan dan cacian yang dijadikan imbalan. Bahkan, tak jarang Kiai Ghazali menerima ancaman fisik melalui ilmu-ilmu hitam yang dikirimkan sebagian orang. Tapi, ia tak pernah menyurutkan langkah untuk dakwah. Ia kadang hanya butuh diam sesaat untuk menyusun strategi baru dalam mendakwahkan Islam berikutnya. Ia tak gentar menghadapi cacian (la yakhafu laumata la’im). “Saya hanya ditugasi untuk menyampaikan, selebihnya saya serahkan kepada Allah” tandasnya suatu waktu.
Namun, pelan tapi pasti masyarakat mulai menerima kehadirannya. Ketika usianya sudah hampir memasuki kepala tujuh, banyak orang menjadikannya sebagian rujukan. Rumahnya tak pernah sepi dari tamu yang datang dengan berbagai hajat dan keperluan. Tamunya dari semua kalangan, dari masyarakat paling bawah dari sudut ilmu dan ekonomi hingga masyarakat kelas atas seperti pengusaha, dokter, ustadz, dan politisi. Terhadap masyarakat bawah, Kiai Ghazali mencoba mencarikan jalan keluar atas masalah yang melilit masyarakat bawah mulai dari soal konflik keluarga, soal pekerjaan, hingga ancaman pembunuhan dari pihak lain. Terhadap kalangan atas, Kiai Ghazali hanya memberikan petuah-petuah moral agar Islam tak hanya diceramahkan melainkan juga dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Walau sudah agak sepuh, Kiai Ghazali masih menjalankan aktivitas dakwah. Hanya karena alasan kesehatan, beliau membatasi area dakwahnya. Ia hanya berceramah di daerah yang dekat saja. Ia misalnya merintis pengajian tasawuf khusus para kiai, guru-guru ngaji, dan kelompok profesional pada setiap Jum’at Legi (Jum’at Manis). Kitab yang dibaca adalah Iqadhul Himam Fi Syarh al-Hikam. Jemaah pengajiannya tidak banyak, mungkin 50-an orang. Lokasi pengajian ini berpindah-pindah dari rumah ke rumah, sehingga rumah semua jemaah pengajian ini pernah ditempati pengajian. Pengajarnya tunggal, yaitu Kiai Ghazali sendiri.
Sungguh, berdakwah telah menjadi pilihan hidup Kiai Ghazali dan itu dijalani hingga ujung usianya. Seminggu sebelum wafat 16 Juli 2021 M. /6 Dzulhijjah 1434 H., Kiai Ghazali masih memberikan pengajian dan mendakwahkan Islam. Kiranya sejarah akan mencatat bahwa di ujung timur pesisir kepulauan Sumenep sana pernah lahir seorang pendakwah Islam yang menghabiskan hampir semua hidupnya untuk kepentingan izzul Islam wal-muslimin. Dan lebih dari itu, semoga Allah mencatat aktivitas dakwah Kiai Ghazali sebagai bagian dari amal salehnya. Inna nahnu nuhyil mauta wa naktubu ma qaddamu wa atsarahum.
Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU