Jika hendak mencari teladan yang memulai rihlah intelektualitasnya di akhir usia, kemudian sukses sebagai ulama besar, Syekh Izzuddin bin Abdissalam adalah inspirasi yang tepat. Ia merupakan ulama tersohor dalam mazhab Syafi’i. Keluasan ilmunya membuat pendapat-pendapatnya disebut dalam kitab-kitab klasik (salaf) maupun kontemporer (khalaf).
Keluasan ilmu yang dimiliki Syekh Izzuddin bin Abdissalam bisa dilihat dari beragam gelar yang disematkan kepadanya. Sebagaimana disebutkan Syekh Khairuddin ad-Dimisyqi dalam salah satu kitabnya, Syekh Izzuddin dalam mazhab Syafi’iyah mendapatkan gelar sebagai orang yang ahli fiqih (fuqaha) yang sudah mencapai derajat mujtahid, mufassir (ahli tafsir), dan muhaddits (ahli hadits).
Yang paling istimewa dari beberapa gelar di atas, Syekh Izzuddin mendapatkan julukan sulthanul ulama (rajanya para ulama). Bagaimana tidak, sumbangsihnya sangat banyak di balik berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya dalam ilmu fiqih. (Syekh Kharuddin ad-Dimisyqi, al-A’lam, [Darul Ilmi, cetakan kelima belas: 2002], juz IV, h. 21).
Nama Lengkap Syekh Izzuddin
Nama lengkapnya adalah Imam bin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qasim bin Hasan as-Sulami ad-Dimisyqi asy-Syafi’i. Meski punya nama asli Abdul Aziz, ia lebih populer dengan julukan Izzuddin atau Al-Izz. Gelar izzuddin (artinya: kehormatan agama) diberikan sesuai dengan adat kota Damaskus pada masa itu. Setiap khalifah, sultan, pejabat, terlebih para ulama, diberi tambahan gelar pada namanya. Gelar ini nantinya lebih melekat dalam dirinya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama Izzuddin bin Abdussalam atau al-Izz bin Abdussalam.
Dalam catatan Syekh Abu Bakar bin Syuhbah, Syekh Izzuddin bin Abdissalam lahir di Damaskus, Irak pada tahun 577 H, bertepatan dengan tahun 1181 M, dan wafat pada malam Sabtu, 9 Jumadal Ula, tahun 660 H/1262 M, kemudian dimakamkan di pekuburan al-Qarafah al-Kubra, Mesir. (Syekh Abu Bakar, Thabqatu asy-Syafi’iyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1407], juz II, h. 109).
Latar Belakang Keluarga Syekh Izzuddin
Kendatipun nama Syekh Izzuddin hingga saat ini terus harum laksana minyak kasturi, latar belakang keluarganya merupakan orang-orang biasa, bahkan secara ekonomi bisa dikatakan sangat sederhana dan tidak punya apa-apa—hanya sebatas yang akan mereka makan bersama. Tidak lebih. Ia lahir dan dibesarkan oleh keluarga miskin dan serba kekurangan. Ia juga bukan seorang keturunan raja atau ulama besar.
Imam Tajuddin bin Abdul Wahab as-Subki (wafat 771 H) pernah merekam masa kecil Syekh Izzuddin dalam kitab biografi miliknya yang berjudul Thabaqat as-Syafi’iyah Kubra. Dalam kitab tersebut As-Subki menggambarkan bagaimana perjuangan Izzuddin bin Abdissalam ketika mencari ilmu.
Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, Izzuddin baru bisa merasakan pendidikan di usia yang sudah tidak lagi muda. Ia pun setiap hari harus menginap di emperan Masjid Agung Umayah di Damaskus, karena tidak punya bekal yang cukup. Kendati demikian, ia tetap menjalaninya dengan tekun dan sabar,
كَانَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّيْنِ فِي أَوَّلِ أَمْرِهِ فَقِيْرًا جِدًّا وَلَمْ يَشْتَغِلْ إِلَّا عَلَى كِبَرٍ
Artinya, “Di awal masa pertumbuhannya, Syekh Izzuddin merupakan orang yang sangat fakir, dan (saat itu) tidak pernah sibuk (untuk mencari ilmu), kecuali di usia tua.” (As-Subki, Thabqatu asy-Syafi’iyah al-Kubra, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1413], juz VIII, h. 212).
Mimpi Basah dan Awal Futuh-nya
Suatu ketika, di malam yang sangat dingin, seperti biasa, ia menginap di emperan masjid. Rasa lelah yang begitu mendera, membuat ia cepat tertidur. Memasuki tengah malam ia mengalami mimpi basah (ihtilam). Ia pun bergegas segera mandi di kolam di masjid tersebut. Ia sempat ragu, karena saat itu cuaca di Damaskus sangatlah dingin.
Pada saat yang bersamaan, terbersit di pikiran Syekh Izzuddin untuk menunda mandinya besok pagi. Namun cepat-cepat ia putuskan untuk tetap mandi saat itu juga. Tak peduli seberapa dingin airnya. Ia pun kembali tidur. Tanpa disangka, kejadian itu berulang hingga tiga kali dan ia selalu memaksa dirinya untuk mandi yang membuatnya harus tidak sadarkan diri karena kedinginan. Di saat itu pula, ia mendengar sebuah suara lirih, yang berbunyi:
يَا ابْنَ عَبْدِ السَّلَامِ أَتُرِيْدُ الْعِلْمَ أَمِ الْعَمَلَ
Artinya, “Wahai Ibn Abdussalam, apa yang engkau kehendaki, ilmu atau amal?”
Mendengar pertanyaan yang tidak diketahui pengucapnya itu, spontan Syekh Izzuddin langsung menjawab, “Tentu saja ilmu, karena dengannya aku akan bisa beramal.”
Biidznillah, keesokan harinya Syekh Izzuddin seakan mendapat futuh (terbukanya pemahaman yang diraih tanpa belajar). Berkat kegigihannya malam itu, Allah memberikan hidayah. Hatinya terasa begitu lapang. Hal itu ia buktikan dengan menghafal kitab at-Tanbih karya Imam asy-Syairazi dalam waktu yang relatif singkat. Ia pun terus menekuni ilmu. Ia mendatangi ulama-ulama besar di masanya seperti Syekh Syaifuddin al-Amid, Imam Fakhruddin Ibnu Asakir. Hingga akhirnya ia menjadi ulama besar di Damaskus. (As-Subki, Thabqatu asy-Syafi’iyah, 1413, juz VIII, h. 213).
Kisah di atas memberikan sebuah teladan bahwa sebelum mendapatkan futuh dari Allah swt, Syekh Izzuddin sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk selalu belajar, sekali pun kondisi keluarga yang sangat terbatas perihal finansial tidak memberikan dukungan pada pertumbuhan intektualitasnya.
Cerita ini juga memberi kita pelajaran bahwa untuk menjadi orang alim tidak harus lahir dari keluarga alim dan berkecukupan. Syekh Izzuddin adalah contoh bahwa orang miskin juga mampu untuk tumbuh menjadi sosok orang alim yang keilmuannya diakui oleh para ulama.
Semangat dan tingginya cita-cita Syekh al-Izz pada akhirnya menunjukkan kepakarannya dalam ilmu fiqih, hadits, ushul fiqih, balaghah, tafsir, dan lain-lain sebagai ulama yang disegani di Damaskus, Mesir, dan negara lainnya. Beberap ulama pada masa itu menyebut bahwa Syekh Izzuddin telah mencapai derajat mujtahid.
Ulama Produktif
Syekh Izzuddin selain dikenal sebagai rajanya para ulama (shultanul ulama) dengan penguasaan ilmu yang sangat luas dan banyak, ia juga menjadi salah satu ulama yang sangat produktif. Untuk membuktikan bahwa Syekh Izzuddin bin Abdussalam sangat luas keilmuannya, ia telah memiliki banyak karya agung yang tidak henti-hentinya selalu dikaji oleh ulam pada masanya hingga saat ini.
Dalam ilmu tafsir, ia memiliki salah satu karya monumental yang dikenal dengan Tafsir al-Kabir li Ibn Abdissalam. Dalam ilmu fiqih, ia memiliki banyak karya, misalnya al-Ilmam fi Adillatil Ahkam, Qawaidusy Syari’ah al-Fawaid, dan yang paling terkenal adalah kitab Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam.
Kitab-kitab lain yang juga karya Syekh Izzuddin di antaranya, al-Fatawa Syekh al-Izz, al-Ghayah fi Ikhtisharin Nihayah, al-Isyarah ilal Ijaz fi Ba’di Anwa’il Majaz, Masailuth Thariqah, al-Farqu Bainal Islam wal Iman, Maqashidur Ri’ayah, dan masih banyak lagi kitab-kitab lainnya.
Demikian biografi singkat Syekh Izzuddin bin Abdussalam. Dengan mengetahuinya, semoga kita bisa semangat dalam mencari ilmu, sekalipun tidak lagi muda, dengan berbagai keterbatasan, termasuk dari segi finansial, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Syekh Izzuddin, Amin.
Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.