Cendekiawan terkenal dari Aceh, dan juga penulis buku-buku keagamaan, filsafat dan kebudayaan. Di antaranya telah menghasilkan karya magnum opus berjudul Sedjarah H.H.A. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, terdiri dari 975 halaman, terbit pada tahun 1957, khusus untuk memperingati empat tahun wafatnya Kiai Wahid Hasyim.
<>
Lahir dengan nama Abu Bakar pada 18 April 1909 di Peureumeu, Kabupaten Aceh Barat, dari pasangan ulama. Ayahnya adalah Teungku Haji Syekh Abdurahman. Ibunya bernama Teungku Hajjah Naim. Wafat pada 18 Desember 1979 di Jakarta, dan dimakamkan di Pemakaman Karet Jakarta.
Tambahan “Aceh” di belakang namanya merupakan pemberian Presiden Sukarno yang kagum akan keluasan ilmu putra Aceh ini. “Ensiklopedia Berjalan” adalah sebutan teman-temannya tentang hakikat ilmu pengetahuannya.
Sejak kecil belajar di beberapa dayah terkenal di Aceh. Di antaranya di dayah Teungku Haji Abdussalam Meuraxa, dan pada dayah Manyang Tuanku Raja Keumala di Peulanggahan di Kutaraja (Banda Aceh). Juga belajar di Volkschool di Meulaboh, dan di Kweekschool Islamiyah di Sumatera Barat. Kemudian pindah ke Yogyakarta, dan Jakarta. Menguasai sejumlah bahasa asing, seperti Jepang, Belanda, Inggris, Arab, dan sebagian Perancis dan Jerman.
Di masa-masa mudanya aktif di sjeumlah ormas dan partai. Pada 1923 aktif di Sarekat Islam di Aceh Barat, pada 1924 di Muhammadiyah, dan di Partai Masyumi sejak 1946. Di masa kepemimpinan Menteri Agama KH. Wahid Hasyim, Abu Bakar Aceh bekerja di Departemen Agama, membantu menteri dalam urusan penataan pelayanan haji.
Selanjutnya, dipercaya oleh Kiai Wachid memimpin jamaah haji ke Mekah pada 1953. Karena keluasan ilmu dan kacakapannya dalam tulis-menulis, ia dipercaya mengomandani bidang publikasi Departemen Agama, sebelum kemudian menjadi staf ahli Menteri Agama.
Setelah Pemilu 1955, ia yang dikenal tawadlu dan tidak suka menonjolkan diri itu masuk menjadi anggota Konstituante mewakili Partai NU.
Setelah Kiai Wahid wafat pada 18 April 1953, Abu Bakar Aceh langsung mengambil inisiatif untuk menulis biografi dan pemikiran Kiai Wahid, sebagai penghormatan kepada tokoh NU itu. Empat tahun kemudian, buku itu terbit di Jakarta (kini sudah dicetak ulang pada 2011 oleh Panitia 1 Abad KH Wahid Hasyim).
Pengalamannya dalam menulis buku tentang Kiai Wahid ini dimulai pada waktu Menteri Agama KH Masjkur, pengganti Kiai Wahid, menggelar acara peringatan setahun wafatnya Kiai Wahid dengan menyerahkan lukisan tentang Kiai Wahid kepada Nyonya Solehah, sang isteri dan juga ibu Abdurrahman Wahid. Kemudian dibentuklah panitia peringatan, yang salah satunya berbentuk penerbitan biografi beliau. Dan Abu Bakar, selaku Kepala bagian Penerbitan Kementerian Agama, ditunjuk sebagai penulis.
Abu Bakar dikenal tekun menggarap penulisan biografi tersebut. Ia bekerja siang dan malam, menghubungi para keluarag Kiai Wahid, hingga mengumpulkan foto-foto dan tulisan-tulisan yang pernah dimuat media. Salah seorang yang dihubungi untuk memperkaya bahan-bahan tersebut Kiai Abdul Karim Hasyim (dikenal Akarhanaf), adik Kiai Wahid.
Setelah setahun mengumpulkan semuanya, ia mulai menulis, hingga menjadi buku seperti sekarang. Buku ini menunjukkan keluasan dan kedalaman pengetahuan Abu Bakar tentang pesantren dan dunia ulama.
Kedekatan dan keakrabannya dengan kalangan reformis-modernis selama di Yogyakarta, tidak menghalanginya juga untuk membangun suasana harmonis dengan komunitas pesantren. Dalam sejumlah tulisannya, Abu Bakar menunjukkan kekagumannya dan bahkan menimba banyak dari tradisi keilmuan pesantren.
Dalam satu tulisannya, “Kebangkitan Dunia Baru Islam di Indonesia”, untuk satu bab buku terjemahan Stoddard, Dunia Baru Islam (1966), ia menunjukkan kontribusi masing-masing, yang reformis-modernis-tradisi maupun Kaum Tua-Kaum Muda, bagi kemerdekaan Indonesia. Semua tulisan diarahkan pada pendekatan rekonsiliasi, titik temu dan pencarian sintesa-sintesa baru bagi kemajuan dan pengumpulan kekuatan bangsa ini. Isi tulisan macam ini tidak kita temukan pada sejumlah sarjana Indonesia didikan Amerika, Eropa maupun Australia, yang selalu mencari titik lemah pada komunitas pesantren, pengumpulan titik kelemahan bangsa ini, serta penonjolan titik-titik tengkar di antara berbagai komponen bangsa ini.
Beberapa karya Abu Bakar Aceh lainnya: Sejarah Al-Qur'an, Tekhnik Khutbah, Sejarah Ka’bah, Perjuangan Wanita Islam, Kemerdekaan Beragama, Sejarah Mesjid, Pengantara Sejarah Sufi dan Tasawuf, Pengantar Ilmu Tharikat, Perbandingan Mazhab Ahlussunnah Waljamaah.
Selain itu juga menerjemahkan beberapa karya para penulis Eropa dan orientalis tentang sejarah Aceh ke dalam bahasa Indonesia. Menulis dalam bahasa Aceh buku pelajaran untuk sekolah-sekolah Aceh masa kolonial, seperti Meutia dan Lhee Saboh Nang, dan juga membantu penyusunan kamus Aceh, Groot Atjehsch Woordenboek, yang dibuat oleh Husein Djajadiningrat. (Ahmad Baso)