Di samping berkiprah di NU, KH Abdurrahman Nawi mengasuh banyak majelis taklim di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
KH Abdurrahman Nawi merupakan salah satu ulama karismatik Betawi yang terkenal kealimannya di bidang Nahwu. Ia pernah menjadi Wakil Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta tahun 1992-1996. Lahir di Tebet Melayu Besar, Jakarta Barat, 27 Rabiul Awwal 1339 atau 8 Desember 1920. Ayahnya bernama H. Nawi bin Su’id dan ibunya bernama ‘Ainin binti Rudin, keduanya dikenal sebagai pedagang nasi ulam di warung Pedok. Bagi Abdurrahman, kedua orang tuanya merupakan figur terpenting, karena telah mendidiknya untuk taat beragama dan cinta kepada ulama.
Sanad Keilmuan
Sejak kecil, Abdurrahman sudah gemar mengaji dengan hadir di tempat-tempat taklim sekitar rumahnya. Mula-mula, ia belajar membaca Al-Quran, dasar-dasar aqidah, dan praktik ibadah kepada Muallim Ghazali dan Muallim Syarbini. Memasuki usia remaja, Abdurrahman melanjutkan pengembaraan ilmunya kepada banyak kiai dan habib. Di Bukit Duri, ia belajar kepada KH Muhammad Yunus (Muallim Yunus), KH Basri Hamdani, KH Muhammad Ramli, dan Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf.
Di antara guru-gurunya yang lain: KH Muhammad Zain bin Said, Kebon Kelapa, Tebet; KH M. Arsyad bin Musthofa, Gg. Pedati, Jatinegara; KH Mahmud, Pancoran; KH Musannif, Menteng Atas; KH Ahmad Djunaedi, Pedurenan; KH Abdullah Husein, Kebon Baru, Tebet; KH Abdullah Syafi’i, Bali Matraman; Habib Husein al-Haddad dan KH Abdurrahman Tua, Kampung Melayu. Tidak puas dengan ilmu yang dimilikinya, ia pun melanjutkan mengaji kepada: KH Hasbiallah, Klender; KH Muallim, Cipete; KH Khalid, Pulo Gadung; Habib Ali Jamalullail dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang; Habib Abdullah bin Salim al-Attas, Kebon Nanas; Habib Muhammad bin Ahmad al-Haddad, Kramat Jati; Habib Ali bin Husein al-Attas, Condet; Habib Salim bin Jindan; Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas, Empang Bogor; KH Ahmad Marzuki bin Mirshod (Guru Marzuki), Muara; Ustaz Abdullah Arifin, Pekojan; dan KH Ali Yafie.
Menginjak usia sekitar 18 tahun, Abdurrahman menikah dengan Hasanah binti H. Hasbi. Meskipun menikah di usia muda, tidak meluluhkan semangatnya untuk terus mengaji. Demi mengurus kebutuhan nafkah, ia kemudian berdagang, sehingga hal tersebut menjadi rutinitas kehidupannya kala itu, yakni mengaji dan berdagang.
Selama kurang lebih 25 tahun, ia habiskan waktu untuk mengembara ilmu kepada guru-guru yang ada di tanah Betawi. Meski hanya mengandalkan pendidikan non formal dengan sistem ngaji kalong yakni pengajian pulang pergi, tanpa pesantren, namun berkat ketekunannya, Abdurrahman Nawi sudah memiliki hasil yang bisa dikatakan melebihi seorang santri yang belajar di pesantren.
Suatu ketika, di hadapan ulama besar Kiai Abdurrahman Tua, Kampung Melayu, Abdurrahman Nawi mengikuti semacam ujian terbuka diikuti oleh sekitar 30-an peserta dari beberapa kampung di Jakarta dan sekitarnya. Kiai memanggil satu persatu peserta, kemudian dibukakan kitab tertentu dan disuruhnya membaca. Setelah itu dibukakan lagi kitab yang lain dan disuruhnya membaca, sampai beberapa kali. Setelah selesai, Kiai Abdurrahman Tua mengumumkan, hanya ada dua peserta yang dinyatakan lulus, yaitu Abdurrahman Nawi, Tebet, dan Turmudzi, Bukit Duri. Dari sini Abdurrahman Nawi merasa memperoleh pengakuan atas penguasaan ilmu yang ia pelajari.
KH Abdurrahman Nawi memulai dakwahnya pada tahun 1962, dengan membuka pengajian di rumahnya, Jalan Tebet Barat VI H. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah dengan harapan para jamaah dapat mengikuti jejak salafus salih (orang-orang terdahulu yang salih). Pengajian atau majlis taklim yang telah dibuka kian terus berkembang hingga pada tahun 1976, ia telah mampu membuka cabang-cabangnya di berbagai tempat, baik itu di musala atau di masjid yang mendapat dukungan dari kalangan masyarakat luas, ulama, dan umum.
Pada tahun 1976, KH Abdurrahman Nawi mengajak jamaah majlis taklim dan kenalan dekatnya untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah milik pribadinya yang berlokasi di Jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan dengan luas tanah seluas 300 meter persegi ditambah dengan kavling mushala yang merupakan wakaf dari almarhum orang tuanya. Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah bangunan itu oleh KH Idham Chalid. Peresmian tersebut sekaligus dengan peresmian pergantian nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin.
Dikarenakan kapasitas gedung tidak memadai santri yang melimpah, akhirnya KH Abdurrahman Nawi berinisiatif mencari lokasi lain untuk membangun pondok pesantren dengan tanah yang cukup luas. Singkat cerita, pada pertengahan tahun 1982/83 dimulai peletakan batu pertama pembangunan pondok pesantren Al-Awwabin yang berlokasi di Pancoran Mas, Depok. Berselang tahun kemudian, pada 1989, pesantren putri Al-Awwabin cabang II yang berlokasi di Desa Perigi Bedahan, Depok, mulai dibangun. Sejak saat itu, kepiawaian dakwah KH Abdurrahman Nawi semakin disegani oleh masyarakat Depok.
Kiai yang akrab dipanggil Abuya ini terkenal memiliki kedalaman ilmu di bidang gramatika Arab, khususnya ilmu Nahwu. Dikarenakan, setiap kali pengajian yang dipimpin olehnya, tidak pernah sunyi dari diskusi seputar nahwu. Bahkan, ia pernah dijuluki sebagai Syibawaih fi Zamanih atau Imam Syibawaih di masanya. Menurut salah seorang muridnya yang bernama KH Ubaidillah Hamdan, ketika KH Abdurrahman Nawi datang mengajar di Masjid As-Syafi’iyah, di antara ulama yang ikut mengaji pernah memanggilnya dengan sebutan “ja’a Syibawaih,” telah datang Syibawaih, sehingga hal tersebut menunjukkan ekspresi kekaguman jamaah terhadap dirinya.
Karya dan Kiprah di NU
Di bidang dakwah dan organisasi, KH Abdurrahman Nawi banyak mengasuh beberapa majelis taklim di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pada 1971-1978, ia pernah menjabat sebagai kordinator dakwah majelis taklim pusat umat Islam Attahiriyah. Pada 1982-2010, ia kerap mengisi taklim Angkasa di Radio As-Syafi’iyah. Selain itu, sejak tahun 1984, ia sudah menjadi salah satu khatib di masjid Baiturrahim Istana Negara. Pada tahun 2000-an, ia pernah membentuk organisasi bernama Persatuan Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah Asatidz dan Da’i Islam Indonesia (PUAADI) bersama Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf, Habib Husein bin Ali al-Attas, dan KH Zainuddin MZ.
Khusus di NU, sejak tahun 1989, KH Abdurrahman Nawi menjadi guru tetap pada pengajian bulanan di PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta. Ia juga mengikuti Muktamar NU di Surabaya [1971] dan di Semarang [1979]. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) PBNU No. 208/A.II. 04. d/XI/1992 yang dikeluarkan PBNU pada 11 Jumadil Awal 1413 H bertepatan dengan 6 November 1992, ia ditetapkan sebagai Wakil Rais Syuriyah PWNU DKI Jakarta tahun 1992-1996. Bahkan pada kerusuhan Mei 1998, ia bersama KH Ali Yafie dan tokoh NU lainnya menghadiri Istana Negara sebagai salah satu tokoh yang menghendaki agar Presiden Soeharto mundur dari jabatan kepresidenan.
Tercatat ada 12 buah kitab yang telah ditulis KH Abdurrahman Nawi dan diterbitkan dalam bahasa Arab Pegon/Melayu, yaitu Ilmu Nahwu Melayu, tentang ilmu nahwu; Sullam al-Ibad, tentang aqidah (tauhid); Tujuh Kaifiyat, tuntunan shalat-shalat sunnah; Tiga Kaifiyat, tuntunan shalat khusuf dan lain-lain; Mutiara Ramadhan, tuntunan puasa dan ibadah Ramadhan; Pedoman Ziarah Kubur; Fadhilah Puasa Haji dan Ahkam al-Udhiyah, tentang pedoman penyembelihan qurban; Pelajaran Ilmu Tajwid; Risalah Tahajjud, tuntunan shalat tahajud; Misykah al-Anwar fi Haflati an-Nabi al-Mukhtar, tentang dalil kebolehan maulid; Al-Qaul al-Hatsis, terjemah Tanqih al-Qaul; dan Manasik al-Haj wa al-Umrah, tentang pedoman manasik haji.
KH Abdurrahman Nawi wafat pada hari Senin, 21 Rabiul Awwal 1441 H atau 18 November 2021 M di Pondok Pesantren Al-Awwabin, Pancoran Mas, Depok, selepas mendapati rawat inap di Rumah Sakit Bhakti Yudha, Depok. Pada saat itu, Abuya Nawi yang sudah dalam kondisi kritis, meminta anak-anaknya untuk segera membawa dirinya pulang. Tidak lama setelah sampai di pesantren tercinta, Abuya mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 13.35 WIB disaksikan oleh keluarga serta para murid. Keesokan harinya, ia dimakamkan di Pesantren Al-Awwabin Putri, Perigi Bedahan, Depok.
Kontributor: Ahmad Rifaldi
Editor: Mahbib Khoiron
Artikel ini semula dikirim penulis untuk konten fitur Ziarah pada NU Online Super App. Redaksi kemudian memuatnya ulang di situs web NU Online tanpa mengurangi substansi tulisan.