KH Hasyim Muzadi merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama selama dua periode (1999-2004 dan 2005-2009/2010). Nama lengkapnya Ahmad Hasyim Muzadi. Lahir di Desa Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944, dari pasangan Muzadi dan Rumyati. Ayahnya pebisnis lokal bekerja sebagai pedagang pengepul tembakau yang sukses. Sang ayah pernah nyantri di Pesantren Syekhona Cholil, Bangkalan.
Pada tahun 1950, Hasyim Muzadi memasuki bangku Madrasah Ibtida’iyah, tetapi ketika menginjak kelas 3 ia pindah ke Sekolah Rakyat (SR). Pada tahun 1956 ia tinggal bersama kakaknya, Muchit Muzadi, yang saat itu menjadi sekretaris NU daerah Tuban. Dia melanjutkan ke SMTP Negeri Tuban dan baru setahun duduk di situ, Hasyim remaja memilih nyantri di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pada tahun 1962, ia lulus dari Gontor, dan kemudian nyantri selama 2 tahun di beberapa pesantren: Pondok Pesantren aI-Anwar Lasem, Pondok Pesantren al-Fadholi Senori Tuban, dan Pondok Pesantren Tanggir asuhan KH Sho’im.
Aktivitasnya sebagai pengurus organisasi NU dimulai ketika ia pindah ke Malang bersama sang kakak. Pada saat yang sama, ia melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di IAIN Sunan Ampel Malang pada 1964. Oleh kakaknya, Hasyim Muzadi dikenalkan dengan organisasi NU, khususnya di Maiang dan Jawa Timur.
Ia kemudian terlibat di organisasi kalangan Nahdiiyin, dan menjadi Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang, Malang (1965); Ketua Cabang PMII Malang (1966); Ketua KAMI Malang (1966); Ketua Cabang GP Ansor Malang (1967-1971); Wakil Ketua PCNU Malang (1971-1973) dan sekaiigus menjadi anggota DPRD Malang mewakili Fraksi NU; Ketua DPC PPP Malang (1973-1977); Ketua PCNU Malang (1973-1977); Ketua PW GP Ansor Jawa Timur (1983-1987); Ketua PP GP Ansor (1985-1987); Sekretaris PWNU Jawa Timur (1987-1988); Wakil Ketua PWNU Jawa Timur (1988-1992); Ketua PWNU Jawa Timur (1992-1999); dan pernah menjadi anggota DPRD Malang dan Jawa Timur (1986-1987).
Kepemimpinan Kiai Hasyim di PWNU Jawa Timur pada periode kedua berbarengan dengan kondisi politik nasional yang mulai kisruh karena menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Sementara Jawa Timur menjadi basis utama warga NU. Saat itu, NU menghadapi banyak cobaan karena rezim Orde Baru menggunakan operasi Naga Hijau untuk menekan NU yang dipimpin KH Abdurrahman Wahid. Hasyim saat itu bekerja sama dengan Gus Dur untuk melawan tekanan-tekanan yang dilakukan rezim berkuasa. Kemunculannya dalam pentas nasional banyak diorbitkan Gus Dur, karena di berbagai tempat Gus Dur sering menyebut-nyebutnya dan mengajaknya berkeliling.
Ketika Gus Dur menjadi presiden pada tahun 1999, Hasyim Muzadi terpiiih menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Pada periode kepemimpinannya ini, NU membuat media online bernama NU online; menerbitkan Risalah Nahdlatul Ulama; menyelenggarakan konferensi ulama dan cendekiawan muslim tingkat dunia atau International Conference of Islamic Scholars (lCIS); dan membentuk beberapa PCINU (Pengurus Cabang Istimewa NU) di luar negeri. Di ICIS Kiai Hasyim mengemban amanah sebagai sekretaris jendral yang memimpin perwakilan cendekiawan Muslim dari puluhan negara dalam menanggapi berbagai persoalan dunia Muslim di seluruh dunia. ICIS diprakarsai bersama oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Departemen Luar Negeri sejak tahun 2004.
Di akhir jabatannya, dia mencalonkan diri sebagai wakil presiden mendampingi Megawati, dan mengajak banyak orang di sekitarnya untuk menjadi tim sukses. Langkah ini memicu gelombang protes dari warga NU, karena ia dianggap berpolitik praktis, tetapi tidak mau mengundurkan diri dari jabatannya di PBNU. Gerakan protes warga NU ini kemudian berklimaks dalam Mubes Warga NU di Cirebon tahun 2004, menjelang Muktamar NU di Boyolali. Syuriyah PBNU kemudian mengeluarkan qarar (putusan) yang menonaktifkannya.
Meski mendapat kritikan tajam, di Muktamar NU ke-31 yang diadakan di Boyolali Kiai Hasyim terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU periode 2004-2009, dengan mengucapkan sumpah kontrak jam‘iyah di hadapan Rais ‘Aam terpilih, KH MA Sahal Mahfudh. Pada periode ini, meski bertahan dari berbagai kritikan karena terlibat dalam beberapa kali dukungan Pilkada, yang berarti mengingkari kontrak jam‘iyah, dia bisa bertahan sampai Muktamar NU ke-32 tahun 2010 di Makassar.
Pada Muktamar ke-32 di Makassar, dia mencalonkan diri sebagai Rais ‘Aam Syuriyah PBNU, dan membuat tradisi persaingan yang belum pernah ada dalam sejarah jami‘yah. Jabatan ini jarang sekali ada yang mau, kecuali diminta dan diberikan kepada kiai yang berwibawa, zuhud, faqih, dan aliman terhadap persoalan umat. Akan tetapi upayanya gagal, karena muktamirin memilih KH MA Sahal Mahfudh.
Ketika lepas posisi sebagai ketua umum PBNU pada 2010, Kiai Hasyim masuk dalam jajaran Mustasyar PBNU pada periode kepemimpinan Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj (2010-2015). Saat inilah Kiai Hasyim lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada penyelesaian konflik di Timur Tengah. Melalui forum ICIS ia sering menggelar konferensi yang melibatkan para ulama terkemuka di Timur Tengah untuk mencari solusi perdamaian di Timur Tengah yang tak henti-henti berkecamuk.
Pada Maret 2014 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Kabupaten Situbondo untuk kesekian kali Kiai Hasyim menggelar pertemuan dengan peserta yang terdiri atas ulama terkemuka dunia, antara lain Syekh Ali Jumah (Mesir), Syekh Ahmad Badrudin Hassoun (Syria), Dr. M Yisif (Maroko), Syekh Abdul Karim Dibaghi (Aljazair), dan Syekh Mahdi bin Ahmad Assumaidi (Irak). Forum tersebut menggaungkan sembilan butir berisi seruan moderasi di berbagai bidang, pemikiran keagamaan, politik, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Gema wawasan Islam moderat ini merupakan oleh-oleh dari Indonesia untuk dibawa pulang para delegasi luar negeri ke kampung halaman masing-masing.
Ketika pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk periode 2015-2019, Kiai Hasyim dipercaya menjadi salah satu anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) bersama sembilan orang lainnya. Sayangnya, belum tuntas tugas sebagai Watimpres, Kiai Hasyim mengembuskan napas terakhir di Malang, Jawa Timur, pukul 06.00 WIB, Kamis, 16 Maret 2017, pada usia 73 tahun. Pemerintah lalu menyerahkan anugerah tanda kehormatan jenis bintang untuk almarhum KH Hasyim Muzadi di Istana Negara pada Selasa, 15 Agustus 2017.
Sumber: Ensiklopedia NU (2012), dengan penambahan seperlunya terkait data-data mutakhir
(Red: Mahbib)