Tokoh

KH Jawahir Dahlan, Pemilik Suara Nabi Daud

Selasa, 10 Juli 2018 | 14:30 WIB

KH Jawahir Dahlan, Pemilik Suara Nabi Daud

KH Jawahir dan Nyai Aisyah

Suatu ketika, Pondok Buntet Pesantren dan pesantren yang diasuh oleh KH Tb Ma'mun Banten mengadakan pertukaran santri. Buntet Pesantren mengirimkan empat utusannya, yakni KH Muhammad Hasyim Manshur, Kiai Amari, Kiai Abdur Rouf, dan KH Jawahir Dahlan. Sementara itu, Banten mengirimkan beberapa utusannya, di antaranya KH Tb Shaleh Ma'mun dan KH Tb Manshur Ma'mun.

Utusan Banten takhassus ilmu tajwid kepada KH Abbas Abdul Jamil dengan mengaji kitab Hirzul Amani wa Wajhut Tahani atau yang dikenal dengan Matan Asy-Syatibiyah. Sementara itu, delegasi Buntet Pesantren memperdalam ilmu tilawatil Qur'an kepada KH Tb Ma'mun. Pasalnya, kiai yang akrab disapa Tubagus Ma'mun itu merupakan seorang yang memiliki suara yang sangat indah. Pernah suatu ketika ia diminta untuk memimpin shalat. Tetapi, suaranya itu membuat makmumnya terbuai sehingga ia dilarang untuk kembali mengimami.

"Beliau cuma satu kali mimpin salat. Setelah itu diharamkan sama raja karena saking indahnya suara beliau, jamaah itu jadi hilang konsentrasi," kata Tubagus Soleh Mahdi, cicit Tubagus Ma'mun, sebagaimana dilansir Radar Banten pada Jumat (25/5).

Tak ayal, sosok Jawahir muda mulai dikenal sebagai seorang qari yang mampu membuat pendengarnya meresapi ayat-ayat Al-Qur'an yang ia baca. Di usianya yang belum genap menginjak tiga puluh tahun, ia diundang oleh KH Abdul Wahid Hasyim yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Bersama para qari dan hafiz dari berbagai daerah, mereka merumuskan pendirian Jam'iyyatul Qurra wal Huffazh (JQH). Jawahir muda tercatat menjadi salah satu anggota pengurus Pengurus Besar JQH periode 1951-1953. Setelah itu, rupanya ia lebih aktif untuk mengembangkan JQH di wilayah Jawa Barat.

Kepiawaiannya dalam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an itu mendorong pemerintah melalui Menteri Agama memberinya syahadah syarif bersama 14 qari lainnya. Bahkan, seorang bernama M Khoezai dari Taman, Pemalang, menyebut dirinya sebagai pemilik suara Nabi Daud, dalam pengantar suratnya yang ditulis pada tanggal 5 Shafar 1361 H.

 شَقِيْقُ رُوْحِيْ الْاَخُ الْاَعِزُّ اَحْمَدْ جَوَاهِرْ صَاحِبُ الصَّوْتِ الدَّاوُدِيْ الَّذِيْ سَكَنَتْ لَهُ الرِّيْحُ وَ الْبَوَادِيْ وَ دَافَعَتْ لِسِمَاعِهِ الْمِيَاهُ فِي الْوَادِيْ

Belahan jiwaku, saudara yang mulia, Ahmad Jawahir, pemilih suara Daud yang karenanya, angin dan padang pasir begitu tenang dan air yang di lembah pun melambat alirannya karena mendengarnya.

Pada tahun 1960, ia pernah diundang untuk menjadi pembaca Al-Qur'an di Istana Negara pada peringatan malam Nuzulul Qur'an. Hal ini berdasar surat dari Koordinator Urusan Agama Daerah Karesidenan Tjirebon itu melampirkan sebuah salinan interlocal dari Kementerian Agama Jakarta tertanggal 12 Maret 1960, pukul 10.00 pagi.

Berikut isi interlocal tersebut (telah disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia).

"Menteri Agama minta agar Sdr. K. Djawahir Dahlan di Pesantren Buntet Cirebon, supaya datang ke Jakarta, buat kepentingan membaca Al-Qur'an pada waktu perayaan Nuzulul Qur'an di Istana Negara, yang akan diselenggarakan pada malam Rabu tanggal 15 ke 16 Maret 1960, harus datang di Jakarta lebih dulu tertanggal 14 Maret 1960."

Selain melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, di kemudian hari ia juga diundang untuk berceramah. KH Masrur Ainun Najih, Wakil Ketua PP Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), mengaku kepada penulis (2015) pernah diajak untuk menemaninya ke Lampung. Di samping itu, salah seorang muridnya yang menjadi muazin Masjid Agung Buntet Pesantren, H Mursyid, juga menyatakan kepada penulis pada Jumat (15/6/2018) bahwa dirinya pernah diajak Kiai Jawahir berkeliling dari puncak dataran tinggi hingga ke pinggir laut selatan guna berceramah. H Mursyid tidak hanya menemaninya saja, tetapi diminta untuk melantunkan kasidah-kasidah.

Didi, seorang warga Ciamis, Jawa Barat, pada Senin (18/6/2018) bercerita kepada penulis bahwa ia pernah mendengar Kiai Jawahir berceramah sampai jam dua pagi. Menurutnya, ia tidak bosan mengikuti ceramahnya hingga selesai mengingat selain ceramah, Kiai Jawahir juga mengajak serta grup kasidahnya.

Abah Jawahir, sapaan akrab anak cucunya, juga pernah menolak undangan mengaji pada bulan Ramadhan. Hal ini tercatat pada surat yang ia tujukan kepada H Kosasih di Bandung. Surat yang tertulis pada tanggal 3 Maret 1961 itu berisi beberapa alasan penolakan dan tawaran penggantinya.

Ia menolak karena setiap Ramadhan tiba, ia menerima banyak orang yang sengaja datang untuk memperbaiki bacaan Al-Qur'annya hanya pada bulan tersebut atau biasa disebut ngaji pasaran. Mayoritas dari mereka adalah ustadz yang mengajarkan Al-Qur'an di desanya masing-masing. Di samping itu, kesehatannya yang sedang menurun juga membuatnya mengurungkan niat untuk dapat memenuhi panggilan tersebut.

Meskipun demikian, ia mengutus putrinya Siti Zainab, muridnya Syihabuddin dari Sumedang, dan kakaknya Nyai Karimah. Kepada tiga orang yang mengundangnya, H Kosasih, H Memen, dan Kanda Yusuf, Kiai Jawahir meminta agar dapat memberi hadiah khusus untuk putrinya sebagai kebahagiaan menyambut Idul Fitri. Kelak, Siti Zainab dipersunting oleh KH Abdullah Abbas sebagai istrinya.

Jadi Juri MTQ

Kiai Jawahir juga pernah menjadi juri Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) yang pertama kali digelar. Hal ini tercatat pada Surat Keputusan bernomor 75/OC/KF/62/1/65. Saat itu, gelaran dilakukan oleh Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA) yang dipimpin oleh KH Ahmad Syaichu bekerja sama dengan PP Jamiyyatul Qurra wal Huffazh.

Kiai kelahiran tahun 1921 itu kembali menjadi juri pada MTQ Nasional kedelapan di Palembang tahun 1975. Entah apakah ia tidak menjadi juri pada gelaran MTQN pertama di Sulawesi Selatan hingga MTQN ketujuhnya. Sebab, penulis hanya menemukan dokumentasi MTQN kedelapan tahun 1975 di rumahnya meliputi surat keputusan penetapannya sebagai juri, sertifikat penghargaan dari Menteri Agama Mukti Ali, peraturan, sampai kartu makannya.

Kiai Jawahir meninggal menjelang Subuh di rumahnya di sebelah barat Masjid Agung Buntet Pesantren. Sementara itu, untuk mengenang jasanya, nama KH Jawahir Dahlan dijadikan nama jalan yang menuju rumah peninggalan orang tuanya yang terletak di Desa Buntet di seberang pusat komplek Buntet Pesantren. (Syakir NF)


Terkait