Penjelasan mengenai kandungan Al-Qur’an memang harus disampaikan dengan menyesuaikan kemampuan pendengarnya. Vernakularisasi menjadi jalan ampuh agar ayat-ayat Al-Qur’an dapat menyentuh hati masyarakat. Begitulah KH Sya’roni Ahmadi menyampaikannya melalui pengajian yang diampunya di berbagai majelis, khususnya Pengajian Tafsir al-Jalalain di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, setiap Jumat bakda Subuh. Hal itu berlangsung selama hampir 40 tahun, yakni sejak tahun 1983.
Tak pelak, hal itu menarik ribuan jamaah yang tidak saja berasal dari Kudus, melainkan juga dari beberapa kota di sekitarnya. Bahkan, mereka bukan saja warga Nahdliyin yang berafiliiasi dengan Nahdlatul Ulama, tetapi juga ada yang merupakan warga Muhammadiyah. Pasalnya, Kiai Sya’roni tidak pernah membeda-bedakan dua ormas tersebut. Pengajian yang disampaikannya juga lebih umum.
Ulin Nuha menjelaskan bahwa Kiai Sya’roni dalam pengajian tafsirnya mengupayakan pengarusutamaan kerukunan. Hal itu ditempuh dengan pendamaian perselisihan dalam masalah khilafiyah antara NU dan Muhammadiyah. Sebab, dalam pandangan Kiai Sya’roni, kata Ulin, perselisihan yang selama ini terjadi antarumat Islam, khususunya antara penganut NU dan Muhammadiyah, dalam hal tuntunan ibadah seperti qunut, jumlah rakat tarawih, dan lain-lain, lebih banyak disebabkan karena ketidaktahuan sejarah, dalil, ataupun landasan. Karenanya, cara yang dapat ditempuh untuk merukunkan antarkeduanya adalah dengan melakukan tabayun secara objektif. (Kerukunan Umat Beragama dalam Al-Qur’an: Telaah Penafsiran Kiai Sya’roni Ahmadi. Tangerang Selatan: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah, 2020)
Tidak saja rukun dengan sesama Muslim yang berbeda pandangan, Kiai Sya’roni juga mengajak Muslim untuk rukun dengan non-Muslim melalui pengajiannya tersebut. Rukun dalam segi muamalahnya, tidak melampaui batas akidah dan syariahnya. Misalnya, Kiai Sya’roni memperbolehkan ucapan selamat natal kepada umat Nasrani dengan catatan sebagai tahniah atas kelahiran Nabi Isa a.s., tetapi haram jika diniatkan sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan mereka atas ketuhanan Yesus.
Riwayat Hidup
Kemampuannya dalam menyampaikan tafsir Al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami itu memang sudah diasah sejak dini. Setidaknya, ia memperdalam pengetahuan tafsirnya melalui beberapa kiai, yakni KH Muhammad Arwani Amin, KH R Asnawi, KH Turaichan Adjhuri, dan Sayyid Abdillah.
Kegandrungannya pada ilmu agama memang sudah tumbuh sejak kecil. Bagaimana tidak, usia 11 tahun ia sudah merampungkan hafalan Alfiyah Ibnu Malik, kitab monumental tentang tata bahasa Arab. Tiga tahun berikutnya, usia 14 tahun, Kiai Sya’roni Ahmadi sudah menghafal Al-Qur’an secara keseluruhan kepada KH Arwani Amin dalam jangka waktu delapan bulan. Kepada Kiai Arwani juga, ia berulang kali mengkhatamkan kitab Tafsir Jalalain yang menjadi pegangan dalam pengajian di Menara Kudus.
Semua pengajian itu ia tempuh sebagai santri kalong. Ya, ia tidak mengenyam pesantren. Meski demikian, hal tersebut tidak membuatnya patah arang, justru menjadi motivasi untuk semakin giat menggali ilmu.
Tidak saja mengajar di masjid-masjid, Kiai Sya’roni juga tercatat menjadi pengajar di sejumlah pesantren dan madrasah di Kota Kudus, seperti Madrasah Banat NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Tullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah Diniyah Kradenan Kudus. Bahkan, ia juga menyampaikan ceramah dalam berbagai acara sejak mudanya.
Kiai kelahiran Kudus, 17 Agustus 1931 itu sudah menjadi yatim sejak kecil. Ibunya wafat saat usianya masih 8 tahun, sedangkan ayahnya menyusul lima tahun berikutnya, saat ia berusia 13 tahun. Setelah itu, ia diasuh kakeknya.
Karya-karya KH Sya'roni Ahmadi
Kiai Sya’roni Ahmadi merupakan salah seorang ulama yang produktif berkarya. Kealimannya dalam berbagai cabang ilmu agama terbukti dengan kitab-kitabnya yang mencakup bidang-bidang keilmuan tersebut.
(1) Al-Faraid al-Saniyah wa al-Durar al-Bahiyyah (1960-1970). Kitab ini menguraikan secara terperinci mengenai ahlussunnah wal jamaah.
(2) Faidl al-Asani ‘ala Hirz al-Amani wa Wajh al-Tahani (1976). Kitab ini membahas berbagai macam bacaan Al-Qur’an. Kiai Sya’roni membaginya ke dalam tiga jilid.
(3) Al-Tashrih al-Yasir fi ‘Ilmu al-Tafsir (1972). Kitab merupakan penjelasan (syarh) atas kitab ilmu tafsir dalam bentuk syair karya Syekh Abdul Aziz al-Zamzami.
(4) Tarjamah As-Sulam al-Munawraq fi Ilmil Mantiq (1984). Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa aksara pegon.
(5) Tarjamah Tashilut Turuqat li Nazm al-Waraqat fi ‘Ilmi Usul al-Fiqh (1984). Kitab ini juga ditulis dengan bahasa Jawa beraksara pegon.
(6) Qira’ah al-Ashriyah (1983). Kitab yang terdiri dari tiga jilid ini berisi bacaan-bacaan bahasa Arab untuk mempermudah pembelajaran bahasa Arab bagi Madrasah Qudsiyyah.
Penulis: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad