KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo adalah sosok ulama ahli falak dari Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Ia merupakan Pendiri Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat, Kampung Cibogo yang pernah dijadikan sebagai arena untuk pelatihan Laskar Hizbullah.
Dikutip dari buku Peranan KH Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh (2019) karya Ahmad Djaelani, Andi Sopandi, dan Faiz Taufik Nawawi, saat ingin mendirikan pesantren, Mama Cibogo banyak menulis, memproduksi, dan menjual berbagai kitab. Untuk membiayai pesantren, ia kemudian membuat dan menjual berbagai kebutuhan masyarakat seperti kecap dan jamu.
Mama Cibogo memiliki kebiasaan menukil kitab. Sebanyak 63 kitab yang ditulis, lantaran rajin membaca karya ulama terdahulu dan dinukil untuk menjadi referensi. Mama banyak menulis kitab dengan aksara arab berbahasa Sunda.
Beberapa hasil karya tulisannya adalah Hikayat al-Mutaqaddimin, Kasyf al-Humum wal Ghumum, Majmu’at Da’wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, dan Risalah Syurb ad-Dukhan. Sejak berakhirnya perang kemerdekaan, Mama Cibogo memang sudah kembali fokus membangun pesantrennya. Kemudian juga membuka jejaring kembali dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur.
Ulama-ulama Betawi inilah yang kemudian memperbanyak karya Mama Cibogo untuk disebarkan ke masyarakat. Selanjutnya, ia juga membangun dan memiliki kedekatan dengan para jawara di Tanah Betawi. Salah satunya adalah Abah Ghozali Guntung yang merupakan murid Mama Cibogo dari Banten.
Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami, Ilmu Falak adalah ciri khasnya. Kevalidan data dalam memprediksi sesuatu sudah diakui oleh ulama-ulama lain. Pesantrennya itu hingga kini dikenal dengan Pesantren Falak.
Bahkan, Pesantren Al-Baqiyyatus Sholihat Cibogo, Cibarusah, dikenal dengan pelopor almanak atau kalender yang kemudian disebarkan di daerah Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo.
Mama Cibogo lahir pada Kamis, Jumadil Akhir 1330 Hijriah atau tahun 1912 Masehi. Ia lahir dari pasangan KH Raden Anwar dan Ny Hj Romlah. Dari nasab ayahnya, Mama Cibogo ini terhubung hingga Rasulullah.
Ia adalah keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten Maulanan Hasanuddin, dan keturunan ke-24 dari Rasulullah. Banten dengan Kampung Cibogo memiliki kedekatan secara kultur karena sama-sama berada di Tatar Pasundan.
Sejak kecil, Mama Cibogo dikenal sebagai seorang yang sangat giat belajar. Guru pertamanya, tentu sang ayah, Kiai Raden Anwar. Hingga usia delapan tahun, ia digembleng oleh ayahnya untuk belajar memahami dasar-dasar agama.
Selanjutnya, Mama Cibogo tidak lagi belajar memperdalam agama tetapi mulai belajar di Sekolah Rakyat (SR) di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Ia menjadi lulusan terbaik dan memiliki keilmuan umum yang unggul. Setelah itu, ia tak langsung melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren. Namun terlebih dulu, membantu ayahnya berjualan kitab dan kemudian mengajar ilmu agama untuk masyarakat sekitar.
Barulah pada usia 15 tahun, Mama Cibogo mondok di Pesantren Plered Purwakarta, Pimpinan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten. Ada satu kejadian menarik saat ia belajar dengan Mama Sempur.
Saat itu, Mama Cibogo tidak banyak bicara tetapi hanya fokus belajar kitab dan mengaji, hingga lupa untuk keluar pondok. Bahkan, Mama Cibogo hanya mau keluar kalau disuruh oleh Mama Sempur seperti mengambil air dan bercocok tanam.
Setelah dirasa cukup berguru kepada Mama Sempur, Mama Cibogo lantas melanjutkan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Di sana, ia belajar banyak ke mualim para pengarang kitab. Di antaranya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki.
Kemudian sepulangnya dari Mekkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa. Salah satu tujuannya adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Singkatnya, keilmuan Mama Cibogo diakui oleh KH Hasyim Asy’ari. Bahkan ketika ia ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kiai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena punya murid secerdas KH Raden Ma’mun Nawawi itu, yang kelak menjadi seorang ulama ahli falak dan tafsir.
Setelah mesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama menekuni Ilmu Falak ke Jembatan Lima dan dibimbing langsung oleh Guru Mansur. Karena kecerdasannya, Guru Mansur menganggap Mama Cibogo sebagai murid paling cerdas dan mengangkatnya satu level dari teman-teman sebayanya.
Kemudian, ia juga belajar ke ulama Betawi lainnya seperti Habib Usman dan Habib Ali Kwitang. Setelah berguru di Jakarta, ia menikahi putri Mama Sempur. Lalu tak lama berselang, ia mendirikan sebuah pesantren di Pandeglang.
Namun di sana tak lama, ia diminta untuk kembali ke Kampung Cibogo, Cibarusah. Ia lantas mendirikan Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo pada 1938 yang kemudian menjadi tempat berlatih Laskar Hizbullah pada Februari 1945. Setelah didirikan, banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah atau ke belajar ke Al-Baqiyatus Sholihat.
Sehari-hari, Mama Cibogo fokus di pesantren. Banyak pengajian yang tidak hanya diperuntukkan bagi santri-santrinya saja. Setiap Selasa pagi, dibuka pengajian bagi ustadz atau kiai kampung. Rabu untuk orang-orang yang sudah lanjut usia. Jumat pagi, pengajian dibuka untuk kalangan ibu. Sedangkan Ahad untuk umum. Selain beraktivitas sebagai pemuka agama dan pemimpin pesantren, ia juga berprofesi sebagai wirausahawan.
Mama Cibogo wafat pada usia 63 tahun, pada 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975 dengan meninggalkan 40 anak dan empat istri. Jenazahnya disalatkan langsung oleh KH Noer Ali Bekasi. Kini, di Bekasi dikenal memiliki dua patok. Di sebelah utara ada KH Noer Ali dan selatan ada Mama Cibogo.
Penulis: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad