Mengenal Ibnu Thufail, Ulama dan Pemikir Produktif dari Maroko
Ahad, 27 Oktober 2024 | 21:00 WIB
Di antara deretan nama-nama besar para ulama dalam sejarah keilmuan Islam, Ibnu Thufail adalah salah satu dari nama-nama mentereng tersebut. Meski, namanya mungkin tak sepopuler tokoh-tokoh besar lain seperti Ibnu Sina, Imam al-Ghazali, Ibnu Arabi dan lainnya, namun jejak pemikirannya sangat berpengaruh. Ia tidak hanya menggugah dunia Islam, tetapi juga berhasil memantulkan pengaruh yang luas ke Dunia Barat.
Sebagaimana dicatat oleh Khairuddin az-Zirikli, sejarawan terkemuka kontemporer berkebangsaan Lebanon, Ibnu Thufail Bernama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Muhammad bin Thufail al-Qaisi al-Andalusi. Ia dilahirkan di Wadi Asy, sekarang dikenal sebagai Guandix, salah satu kota provinsi Granada, Spanyol, pada tahun 494 H. Ia wafat di Marrakesh, Maroko, pada tahun 581 H, kemudian dimakamkan di tempat tersebut. (Al-A’lam, [Darul Basyair al-Islamiah: tt], jilid VI, halaman 249).
Ibnu Thufail lahir dan tumbuh di masa keemasan Andalusia, sebuah masa yang kaya akan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya. Andalusia pada masa itu adalah tempat di mana perpaduan peradaban Islam, Kristen, dan Yahudi menciptakan ruang untuk dialog dan kemajuan. Pemandangan kota yang penuh dengan perpustakaan, madrasah, dan majelis ilmu menjadi saksi dari kecintaan masyarakatnya terhadap ilmu.
Lahir di tempat yang seperti itu menjadi tantangan tersendiri bagi Ibnu Thufail, di mana peradaban memuncak, dialog antarbudaya hidup dan subur, serta ilmu menjadi bahasa yang mempertemukan berbagai pemikir, baik dari Timur maupun Barat. Di dalam atmosfer inilah, Ibnu Thufail mengasah pikirannya, memadukan filsafat, kedokteran, sains, hingga sastra. Ia kemudian mulai menapaki jalan pengetahuan, berusaha memahami alam, kehidupan, dan Sang Pencipta.
Guru-guru Ibnu Thufail
Dalam pencarian intelektualnya, Ibnu Thufail menemukan salah satu tokoh besar yang menjadi pembimbing pertamanya, ia adalah Imam Abu Muhammad ar-Rasyati. Sosok yang dihormati di Andalusia ini dikenal luas sebagai seorang ulama hadits dan fiqih yang memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai syariat Islam. Melalui bimbingan Ar-Rasyati, Ibnu Tufail memulai langkah pertamanya dalam memahami ilmu agama, dan lebih dari itu, bagaimana etika dan nilai-nilai Islam bisa menjadi fondasi dalam kehidupan sehari-hari.
Ar-Rasyati mengajarkannya bahwa ilmu agama bukan sekadar hafalan, tetapi lebih kepada pemahaman dan pengamalan. Nilai-nilai yang dipelajari dari gurunya membentuk pandangan Ibnu Thufail yang kelak akan berkembang menjadi kerangka filosofisnya. Dari Ar-Rasyati, ia belajar untuk melihat agama tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi sebagai panduan untuk memahami moralitas, hubungan dengan sesama manusia, dan tujuan yang lebih tinggi dalam kehidupan.
Setelah mendapatkan landasan dari Ar-Rasyati, Ibnu Tufail berlanjut menemui Imam Abdul Haq bin Athiyah, seorang mufassir dan ahli tafsir Al-Qur’an yang terkenal dengan kedalaman ilmunya. Dari Abdul Haq, Ibnu Thufail belajar bahwa Al-Qur’an bukan sekadar kitab hukum, melainkan juga sumber hikmah dan refleksi spiritual. Abdul Haq mengajarkan kepadanya bagaimana melihat lebih dalam makna-makna Al-Qur’an, mengupas lapisan demi lapisan hikmah yang tersembunyi dalam setiap ayatnya. Di bawah bimbingan Abdul Haq, Ibnu Tufail memperluas wawasannya, memahami bahwa keimanan dan rasionalitas bisa berjalan bersama.
Dua guru penting tersebut sebagaimana dicatat oleh Syekh Lisanuddin Ibnul Khatib dalam kitabnya, ia mengatakan:
مَشِيْخَتُهُ: رَوَى عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الرَّشَاطِيِّ، وَعَبْدِالْحَقِّ بْنِ عَطِيَّة وَغَيْرِهِمَا
Artinya: “Guru-gurunya (Ibnu Thufail): Ia (belajar dan) meriwayatkan (hadits) dari Abu Muhammad ar-Rasyathi dan Abdul Haq bin Athiyyah dan selain keduanya.” (al-Ihathah ila fi Akhbari Gharnathah, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], jilid I, halaman 309).
Setelah menimba ilmu dari guru-gurunya itu, Ibnu Thufail berkembang menjadi sosok cendekiawan yang luar biasa. Pengetahuan dan pemahaman yang ia peroleh dari Imam Abu Muhammad ar-Rasyathi, Imam Abdul Haq bin Athiyah dan gurunya yang lain, memberinya fondasi yang kukuh dalam ilmu agama, filsafat, serta wawasan yang mendalam tentang dunia. Guru-gurunya telah membentuk pola pikir yang kuat baginya, hingga menjadikan Ibnu Thufail pribadi yang mampu menghubungkan konsep keagamaan, logika, dan akal sehat.
Dengan ilmu yang luas dan mendalam, Ibnu Thufail menonjol di berbagai bidang keilmuan, kedokteran, filsafat, astronomi hingga sastra. Keahliannya yang luas membuatnya menjadi pribadi yang dihormati sebagai seorang pemikir besar Andalusia, terutama pada masanya yang merupakan era keemasan bagi ilmu pengetahuan Islam.
كَانَ عَالِمًا، صَدْرًا، حَكِيْمًا، فَيْلَسُوْفًا، عَارِفًا بِالْمَقَالاَتِ وَالْآرَاءِ، كَلِفًا بِالْحِكْمَةِ المْشَرِقِيَّةِ، مُحَقِّقًا، مُتَصَوِّفًا، طَبِيْبًا مَاهِرًا، فَقِيْهًا بَارِعَ الْأَدَبِ، نَاظِمًا، نَاثِرًا، مُشَاركًا فِي جُمْلَةٍ مِنَ الْفُنُوْنِ
Artinya: “(Ibnu Thufai) adalah seorang ilmuwan, pemimpin, bijaksana, filsuf, memahami berbagai pandangan dan pendapat, memiliki ketertarikan pada hikmah-hikmah wilayah Timur, ahli, sufi, dokter yang terampil, ahli fiqih, unggul dalam dalam berbagai seni, penulis prosa, penyair, dan kompeten dalam berbagai cabang ilmu.” (Lihat, jilid I, halaman 310).
Hijrah ke Maghrib (Maroko)
Kendati di Spanyol Ibnu Thufail mendapati masa keemasan sebuah studi keilmuan, namun dinamika politik dan konflik yang berkecamuk di wilayah tersebut, tak terkecuali di Andalusia, tempat lahirnya Ibnu Thufail, memaksa banyak cendekiawan Muslim untuk mencari tempat yang lebih aman dan kondusif untuk terus produktif.
Dan, Maroko menjadi tujuan Ibnu Thufail mempertahankan dan menyebarluaskan ilmu yang ada dalam dirinya. Negara yang dijuluki terbenamnya matahari ini dinilai lebih stabil dan lebih terbuka bagi para intelektual. Oleh sebab itu, kepindahannya ke Maroko tidak hanya sekadar perpindahan geografis, tetapi juga momen penting dalam hidupnya yang membawa pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan di wilayah tersebut.
Ibnu Thufail tiba di Maroko bertepatan dengan Dinasti al-Muwahhidun berkuasa. Raja Abu Ya’qub Yusuf, penguasa al-Muwahhidun yang terkenal adil dan pelindung ilmu pengetahuan, serta senang kepada para ilmuwan. Oleh sebab itu, ia kemudian menjadikan Ibnu Thufail sebagai dokter pribadi dan penasihat sang raja.
Setelah bertahun-tahun menjadi bagian penting dari kerajaan, akhirnya Ibnu Thufail memiliki hubungan yang sangat dekat dan akrab dengan Raja Abu Ya’qub Yusuf, dengan kedekatan itu, ia bisa memengaruhi kebijakan di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Ia juga sering terlibat dalam peran memperkaya turats ilmiah di Maroko, dan memperkuat posisinya sebagai salah satu tokoh berpengaruh di kalangan intelektual Maghrib.
Selama di Maroko, Ibnu Thufail tidak hanya berhasil menjadi bagian penting di kerajaan, namun juga berperan aktif dalam membimbing masyarakat untuk mengenal Tuhannya. Termasuk juga sumbangsih pemikirannya dalam menulis sebuah karya penting, yang di antaranya adalah kitab Risalah Hayy ibn Yaqdhan, sebuah buku yang menjadi simbol perpaduan antara filsafat dan spiritual, kitab Arjuzah at-Thibbiyah, dan kitab karyanya yang lain.
Hal itu terus ditekuni oleh Ibnu Thufail, hingga ia wafat pada tahun 581 H, kemudian dimakamkan di Marrakesh, sebuah kota yang terletak di barat daya Maroko. Kota ini merupakan salah satu dari empat kota kekaisaran Maroko, Bersama dengan Fez, Rabat dan Meknes. Ibnu Thufail di makamkan di kompleks pemakaman yang juga bersamaan dengan makam para tokoh dan ilmuwan lainnya. (Khairuddin az-Zirikli, Al-A’lam, [Darul Basyair al-Islamiah: tt], jilid VI, halaman 250).
Demikian kisah sejarah Ibnu Thufail, seorang filsuf, dokter dan sastrawan besar dari Andalusia yang meninggalkan jejak pemikiran yang abadi. Dalam perjalanan hidupnya, ia menempuh berbagai dinamika intelektual yang mendalam di Andalusia, mulai dari mengembangkan gagasan hingga terlibat aktif dalam diskursus keilmuan. Ketika hijrah ke Maroko, ia menemukan kesempatan untuk berperan luas dalam mengembangkan intelektualnya, mulai dari penasihat raja, mengabdi untuk umat, hingga produktif dalam menulis kitab.
Di Maroko, ia terus mengembangkan intelektualnya sebagai sosok seorang ulama yang produktif, salah satunya dengan menulis Hayy bin Yaqdhan, sebuah karya sastra yang menceritakan kisah-kisah indah dan menjelaskan pandangan filsafat melalui cerita simbolik tentang pencarian kebenaran. Ia pun meninggalkan warisan intelektual yang menginspirasi generasi-generasi berikutnya untuk terus mencari hikmah dan kebenaran dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a’lam bisshawab.
Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko 2024.