Tak banyak yang tahu siapa perempuan yang menjadi Ketua Muslimat NU pertama. Dialah, Chadijah Dahlan, perempuan kelahiran tahun 1912 di Pasuruan itu berkesempatan menjadi pemimpin Muslimat NU perdana. Kepemimpinannya dimulai saat Muslimat NU lahir di Kota Purwokerto, Jawa Tengah tepatnya tahun 1946. Kala itu, Muslimat NU memproklamirkan kelahirannya dan menjadi titik awal kebangkitan perempuan NU dalam berorganisasi.
Nyai Chodijah memimpin ketika Muslimat NU masih bernama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM). Artinya, saat itu Muslimat tak lain lembaga organik yang menjadi bagian dari NU. Muslimat NU baru menjadi badan otonom setelah mendapat pengakuan dari forum Muktamar ke-19 NU di Palembang tahun 1952. Sayangnya, pemberian otonomi itu tak sempat disaksikan Nyai Chadijah yang wafat pada 1948 atau dua tahun masa kepemimpinan di Muslimat NU.
Nya Chodijah tumbuh di Pasuruan yang dikenal dengan daerah santri. Pemikirannya tergolong merdeka dan sangat maju untuk ukuran zamannya. Terutama menyangkut permasalahan peran serta perempuan dalam organisasi yang kala itu dinilai termarginalkan.
Pokok pemikiran tentang ketidakadilan terhadap perempuan tercantum jelas dalam tulisan pendahuluan (mukaddimah) yang ditulisnya sebagai Ketua Muslimat NU pertama yang juga masuk dalam peraturan Chususi NU bagian Muslimat NU. Dengan tegas, Nyai Chadijah menyuarakan peran perempuan yang dianggap subordinat dan inferior. Karena itu dia memotivasi perempuan-perempuan turut serta tumbuh maju bersama kaum laki-laki.
“Memang rupanya soal perempuan kurang sekali dipedulikan, bukan saja anggapan umum demikian, tetapi pemimpin-pemimpin juga masih kurang memperhatikan kaum wanita itu. Sikap demikian itu salah belaka dan harus dilenyapkan...”
Dia juga dengan tegas menyatakan:
“Anggapan-anggapan orang yang mengatakan bahwa kaum wanita itu harus tinggal di dapur saja ternyata keliru dan berbahaya sekali bagi kemajuan pergaulan hidup manusia.”
Pemikiran-pemikiran itu sebagai bentuk jiwa organisatoris yang dimiliki Nyai Chadijah. Dia belajar semangat berorganisasi dari didikan suaminya Muhamad Dahlan yang saat itu juga sebagai Ketua Thanfidizah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Suaminya pulalah yang turut serta menyuarakan pentingnya organisasi perempuan NU sebagai wadah tanggung jawab perempuan NU untuk berdakwah turut mengembangkan Islam. Dalam sejarahnya, KH Muhamad Dahlan tercatat sebagai sosok pria utama di balik kelahiran Muslimat NU.
Sejak terbentuknya Muslimat NU, sebagaimana PBNU yang berpusat di Surabaya, Muslimat NU juga dipusatkan di Kota Pahlawan. Baru ketika terjadi revolusi tanggal 10 November, karena pertimbangan banyak hal saat itu, Kantor Pusat PBNU dan juga Muslimat dipindahkan ke Pasuruan yang tak lain adalah tempat domisili Nyai Chadijah. Pasca revolusi 10/November terjadi Clash I yang membuat KH Muhamad Dahlan dan keluarga pindah ke Madiun. Bersamaan itu pula, Kantor PBNU dan Muslimat NU dipindah ke kota itu. Namun, tak selang beberapa waktu terjadi pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso dan memakan korban para ulama dan kaum muslimin. Tepat sebulan pasca terjadi pemberontakan, Nyai Chadijah Dahlan pulang ke hadirat Allah.
Berdasarkan riwayat hidupnya, Nyai Chadijah Dahlan merupakan tokoh Muslimat pertama yang memberikan pidato resmi sejak Muslimat menjadi organisasi dalam forum kongres pertama di Purwokerto. Bahkan, pidatonya dijadikan salah satu masukan dalam penyusunan peraturan Chususi NU bagian Muslimat. (Mahbib)