Tokoh

Mengenal Teungku Chik Pante Kulu, Pengarang Hikayat Prang Sabi

Jumat, 22 September 2023 | 21:00 WIB

Mengenal Teungku Chik Pante Kulu, Pengarang Hikayat Prang Sabi

Teungku Chik Pante Kulu. (Foto: Istimewa)

Beliau bernama  lengkap Teungku Chik Muhammad Pante Kulu lahir pada 1251 Hijriah atau 1836 Masehi di Gampong Pante Kulu, Kecamatan Titeue, Kabupaten Pidie, Aceh. Teungku Chik Pante Kulu lahir dalam kalangan keluarga ulama yang memiliki hubungan dekat dengan ulama Tiro.


Setelah belajar Al-Qur'an dan ilmu agama berbahasa jawi (Bahasa Melayu beraksara Arab), Teungku Chik Pante Kulu kecil melanjutkan pelajarannya ke Dayah Tiro yang diasuh Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut. (Ali Hasyimi, 1977). 


Beberapa tahun belajar di Dayah Tiro, Teungku Chik Pante Kulu mendapat gelar Teungku di Rangkang atau asisten guru. Ia sudah mahir berbahasa Arab dan menamatkan sejumlah kitab. Atas izin Teungku Chik di Tiro Muhammad Amin Dayah Cut, beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya  ke Makkah sembari menunaikan ibadah haji.


Empat tahun berada di kota Suci, Teungku Chik Pante Kulu mendapat gelar Syekh atau Teungku Chik. Beliau berada di Makkah ketika Belanda menyatakan maklumat perang terhadap Kesultanan Aceh Darussalam pada 1873 Masehi.


Ketika mengetahui bahwa Aceh mulai diserang penjajah Belanda, Teungku Chik Pante Kulu berniat pulang membela tanah airnya.  Apalagi setelah mengetahui bahwa sahabatnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman, sudah dalam medan perang dan mengemban jabatan Panglima Perang Kesultanan Aceh Darussalam.


Mengarang Hikayat Prang Sabi

Teungku Chik Pante Kulu pulang ke Aceh dengan kapal pada tahun 1881 Masehi. Dalam pelayaran antara Jeddah (sekarang Arab Saudi) dan Penang (sekarang Malaysia), beliau mengarang Hikayat Prang Sabi untuk membangkitkan semangat jihad melawan Belanda.


Menurut Ali Hasjmy, langkah Teungku Chik Pante Kulu didorong kesadarannya bahwa sangat besar pengaruh syair-syair Hassan bin Tsabit dalam mengobarkan semangat jihad kaum Muslimin pada zaman Rasulullah. Hikayat Prang Sabi memuat empat cerita, yaitu Kisah Ainul Mardhiah, Pasukan Gajah, Sa'id Salmy, dan Muhammad Amin (Kisah budak mati hidup kembali).


Kedatangan Teungku Chik Pante Kulu membuat pasukan perang Aceh di Meureu senang. Mereka terhibur mendengar bacaan hikayat dengan suara merdu. Pada bait-bait pertamanya, Teungku Chik Pante Kulu memuji sahabatnya, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman (Ismail Jakub, 1966).


"Amma Ba'du teuma dudo, keu Tjhik di Tiro beunadai Nabi, ulama laen tan tawakai, hana sagai tem prang sabi." (Adapun kemudian daripada itu, maka Teungku Chik di Tiro adalah menjadi ganti Nabi, ulama yang lain tiada bertawakkal kepada Tuhan, tiada sedikit juga mau berperang sabil).


Setelah Hikayat Prang Sabi disenandungkan, menurut Ismail Jakub, rakyat Aceh makin tertarik bergabung dalam pasukan perang. Hikayat tersebut mendapat kedudukan yang baik sekali dalam jiwa rakyat Aceh. Ketika Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman mendatangi kampung-kampung menjelaskan soal perang melawan Belanda melalui ceramah. 


Teungku Chik Pante Kulu kemudian melanjutkannya dengan membacakan Hikayat Prang Sabi. Dalam perang melawan Belanda inilah, Teungku Chik Pante Kulu syahid di Lam Leuot, Aceh Besar sehingga dimakamkan di sana. 


Pengaruh Hikayat Prang Sabi ini sedemikian besar bagi masyarakat kala itu dalam membangkitkan semangat melawan penjajahan. Spirit Jihad fi Sabilillah ini telah membuat Belanda kewalahan. Belanda frustasi dengan pasukan Aceh hingga menyebutnya sebagai Aceh Moorden


Teungku Chik Pante Kulu kita belajar mengenai nilai perjuangan yang mesti dilakukan dengan sempurna. Beliau meninggalkan Makkah untuk mengabdi, berjuang di kampung halamannya.


Dalam perjuangan itu ada karya yang beliau hasilkan, Hikayat Prang Sabi. Ini menjadi penyemangat bagi generasi muda hari ini untuk terus berkarya, melakukan kerja kerja peradaban. Alfatihah untuk Teungku Chik Pante Kulu.


Azmi Abu Bakar, Penyuluh Agama Islam Asal Aceh, Penulis Buku Ya Jamalu Ya Rasulullah