Tokoh

Mengenang Seabad Sang Wakil Perdana Menteri

Jumat, 14 Agustus 2009 | 08:15 WIB

Putera Melayu-Batak yang berkepribadian tegas tetapi sekaligus luwes dan supel dalam bergaul ini meninggal pada tanggal 2 Maret 1963. Ia gugur setelah dirawat akibat tembakan yang menembus dadanya ketika sedang Shalat Idul Adha bersama Presiden Soekarno di lapangan terbuka depan Istana Negara, 14 Mei 1962 M. Tahun ini, tepatnya 2 September 2009, merupakan peringatan hari lahir ke-100 Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Zainul Arifin.<>

Istana, Pencak Silat dan Stambul Bangsawan

Zainul Arifin dilahirkan di Barus, Tapanuli Tengah, pada 2 September 1909. Ayahnya adalah Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan, penguasa suku Pesisi (Melayu). Sedangkan ibunya Siti Baiyah Nasution, perempuan bangsawan dari etnik Melayu Mandailing. Ketika Zainul masih balita orang tuanya berpisah dan ia mengikuti ibunya yang menikah lagi serta membawanya pindah ke Sungai Penuh, Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School), sekolah dasar berbahasa Belanda dan kemudian melanjutkan ke sekolah menengah keguruan Normal School.

Zainul Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah dan surau, serta menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Selain bersekolah formal, Arifin juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul Bangsawan, sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Kesukaannya ini kelak akan membawa Zainul terlibat dengan Gerakan Pemuda Ansor dan setelahnya, Nahdlatul Ulama (NU) di Batavia.

Ambtenar di Batavia

Setamat Normal School, dalam usia 17 tahun, Zainul Arifin merantau ke Batavia (Jakarta). Berbekal ijazah HIS ia diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) yang hingga kini kantornya masih berlokasi di daerah Pejompongan Jakarta Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda.

Arifin kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara) sekarang. Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara yang tidak berlatarbelakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama, Tonil Arifin.

Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda. Selama menjadi anggota GP Ansor inilah Arifin kemudian semakin meningkatkan pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda lewat pelatihan-pelatihan khas Ansor.

Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Hanya dalam beberapa tahun saja,  Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia.

Menjabat Sebagai Panglima Hizbullah

Ketika Jepang datang, untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan Tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara, yang kemudian dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa.

Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur Tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor.

Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Soekarno -Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata.

Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa.

Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Soekarno -Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas  terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman.

Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan anggota lascar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur politik.

Berkiprah di Legislatif dan Eksekutif

Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952. Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Soekarno . Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud.

Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Soekarno  lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru.

Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indoesia (PKI) berkembang di Indonesia.

Shalat Ied Berdarah

Dalam situasi politik yang semakin memanas di seluruh negeri, Soekarno  sempat bersitegang dengan DPR hingga akhirnya Presiden membubarkan lembaga perwakilan rakyat hasil pemilu tersebut dan membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Partai Islam Masyumi juga diberangus sehingga praktis tinggal NU partai besar Islam yang tinggal.

Zainul Arifin menerima penunjukan sebagai Ketua DPRGR karena yakin untuk mengadang gerakan komunisme di pemerintahan adalah dengan tetap berada di dalam sistem pemerintahan yang sedang berlangsung. Hingga 14 Mei 1962, ketika sedang melakukan shalat Idul Adha berjamaah sederetan dengan Presiden di lapangan terbuka depan Istana Negara. Pada saat itu yang bertindak sebagai Imam adalah KH Idham Chalid (Ketua Umum PBNU). Arifin terkena tembakan di dadanya oleh pemberontak DI/TII yang mencoba membunuh Soekarno.

Penembak berasal dari barisan ketiga yang menodongkan pistol ketika melakukan gerakan bangkit dari ruku' (sembari membaca sami'allahu liman hamidah). Pelaku mengambil senjata ketika ruku' dan langsung meletupkan pistolnya ke arah Presiden Soekarno. Namun beberapa pengawal presiden sempat menepis tangan sang penembak, sehingga arah peluru kemudian melenceng dan justru mengenai Zainul Arifin yang berada di samping Soekarno. Zainul Arifin kemudian tersungkur akibar peluru yang mengarah dari bahu hingga memutuskan dasi di dadanya. Zainul Arifin kemudian di dilarikan ke RSPAD Gatot Soebroto dan dirawat di sana hingga sepuluh bulan kemudian. Sejak insiden ini Presiden Soekarno tidak pernah lagi melaksanakan sholat berjamaah di lapangan terbuka.

Meskipun media massa dalam melaporkan kejadian itu menyatakan Arifin hanya "terluka sangat ringan", namun nyatanya kesehatan Zainul tidak pernah pulih sejak insiden tersebut. Berkali-kali ia keluar masuk rumah sakit dan sepuluh bulan kemudian, tepatnya 2 Maret 1963, akhirnya meninggal dunia setelah mengalami koma selama beberapa hari sebelumnya karena berbagai komplikasi. Keesokan harinya di bawah guyuran hujan lebat, jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta.

KH. Zainul Arifin meninggalkan 2 orang isteri dan seorang mantan isteri yang telah diceraikan semasa hidupnya, dan 21 orang anak. Kenyataan ini sekaligus sebagai klarifikasi anak-anak KH Zainul Arifin dari istri pertamanya, agar tidak terdapat salah pengertian dari keturunan-keturunan KH Zainul Arifin dari kedua isteri yang lainnya. (Ario Helmy, cucu KH Zainul Arifin)


Terkait