Nyai Sholichah Munawwaroh, Perempuan di Balik Penyelesaian Konflik Pembesar NU
Jumat, 30 Juli 2021 | 10:55 WIB
Pada acara Tahlil dan Doa Memperingati Haul ke-1 KH Hasyim Wahid (Gus Im) yang digelar secara virtual pada Kamis (29/7) malam, dr Umar Wahid mengungkap peran sosok perempuan NU yang masih langka di zamannya, yaitu Nyai Hj Sholichah Munawwaroh Wahid. Hal ini disampaikan mengingat haul Gus Im juga berbarengan dengan wafatnya perintis Yayasan Kesejahteraan Muslimat Nahdlatul Ulama (YKM-NU) tersebut, yaitu pada 29 Juli 1994.
Dikisahkan, menjelang pelaksanaan Muktamar ke-27, antara 1983-1984, para pemimpin NU terbelah menjadi dua: kubu Cipete yang merujuk kepada kediaman KH Idham Chalid, Ketua Umum Tanfidziyah PBNU waktu itu, dan kubu Situbondo yang bermuara KH.R. As'ad Syamsul Arifin. Kubu Situbondo mengadakan Munas, kubu Cipete juga membuat Munas.
Situasi seperti itu sudah terasa sepeninggal Rais Aam PBNU KH. Bisri Syansuri (wafat Jum'at 25 April 1980). Kubu Situbondo atau disebut juga kubu khittah didukung oleh kelompok muda yang sangat aktif di NU seperti Gus Dur, dr Fahmi Saifuddin, Slamet Effendi Yusuf dan Said Budairy. Kubu Situbondo menggelar Munas dengan menunjuk Gus Dur sebagai ketua panitia Muktamar ke-27. Kubu Cipete juga tak kalah menggelar Munas dengan menunjuk Cholid Mawardi sebagai ketua panitia.
Konflik itu makin lama makin runcing, hingga akhirnya pada tahun 1984 Nyai Sholichah Wahid turun tangan. Apa yang diperankan perempuan kelahiran 11 Oktober 1922 ini sampai menjadi headline koran Kompas?
“Mungkin separuh halaman itu penuh dengan berita tentang bagaimana Bu Wahid memfasilitasi kedua kubu. Mereka bisa rekonsiliasi sehingga akhirnya sepakat untuk mengadakan Muktamar Situbondo yang ujungnya memilih Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidz dan KH Ahmad Shiddiq sebagai Rais Aam NU,” ungkap pria kelahiran Jombang, 6 April 1945, ini, memberi kesaksian.
Cucu pendiri NU yang menjadi dokter spesialis paru itu masih ingat bagaimana Kompas menulis: di NU itu sangat tidak umum seorang wanita maju, biasanya wanita itu di belakang. Tapi Nyai Sholichah Wahid satu-satunya perempuan NU yang berani mengambilalih tanggung jawab untuk membantu menyelesaikan konflik di NU. Beliau mengundang kedua kubu, dan memang mereka semua hadir.
“Itu bisa dilakukan karena beliau adalah istri Kiai Wahid, putri Kiai Bisri dan menantu Hadratussyekh, ya. Tapi buat saya yang penting adalah Bu Wahid-nya sendiri, kita jadi dzurriyah-nya Mbah Bisri juga, ya nggak kayak gitu-gitu amat. Jadi pada ujungnya ibu yang berperan,” ungkapnya.
.
Sebelumnya dr Umar menyampaikan, baginya sulit mencari tokoh seperti Nyai Sholichah Wahid yang begitu mencintai NU. Beliau berjuang bukan hanya dengan perkataan tetapi juga perbuatan. Ia mencontohkan, pada waktu meletusnya peristiwa G30S/PKI umurnya masih 20 tahun, masih menjadi siswa tingkat tiga di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI).
“Pada waktu itu suasana sangat tidak jelas. Nuwun sewu (mohon maaf, ed), yang namanya PBNU itu lumpuh, dalam tanda kutip. Ketua umum dan ketua-ketuanya sulit dicari,” katanya.
Kemudian Kiai Munasir Ali dan Kiai Yusuf Hasyim – Pengasuh Pesantren Tebuireng– mengambilalih kegiatan NU, dipindahkan ke kediaman Nyai Sholichah Wahid di Taman Matraman Barat Nomor 8. Andaikata waktu itu tidak ada Kiai Yusuf Hasyim, Kiai Munasir Ali, Said Budairy, lanjut sang dokter, mungkin situasinya bisa menjadi lain. Dan itu semuanya, di belakangnya adalah peran sang istri KH Abdul Wahid Hasyim.
Selama 24 jam kediaman Nyai Sholichah Wahid terbuka: semua orang keluar masuk. Di situ beliau menyediakan kamar meski berdesak-desakan. “Dan itu tanpa hitung-hitungan,” tegasnya.
Mantan pengurus PP Mabarrot NU 1982-1988 itu kemudian mengingatkan, terutama kepada koleganya yang masih aktif di NU atau Muslimat NU, untuk bisa menjadikannya sebagai panutan. Bagaimana berkiprah di NU, melaksanakan apa yang menjadi amanah dari para pendiri NU, tanpa pamrih. “Jadi bukan nunut urip (numpang hidup, ed) di NU, tetapi memang betul-betul memberikan apa yang dimiliki untuk NU,” ucap dr Umar.
Dalam artikel yang ditulis Ahmad Khoirul Anam, Para Kiai Sepuh "Turun Gunung" Jelang Muktamar 1984, terlihat suasana politik represif Orde Baru. Waktu itu Munas Situbondo menerima Pancasila sebagai asas. Munas Cipete juga menerima Pancasila sebagai asas, dan bahkan sudah lebih dulu diserahkan kepada pemerintah. Tetapi, pemerintah rupanya lebih menghargai hasil Munas Situbondo karena lebih konseptual, ketimbang Cipete yang cenderung sebagai manuver politik untuk mencari simpati pemerintah.
Namun setelah melihat sikap pemerintah mendukung kubu Situbondo, kubu Cipete mulai melunak. Dengan kebesaran hati para kiai sepuh, akhirnya kedua kubu dikumpulkan dalam sebuah acara ‘tahlilan’ di rumah KH Hasyim Latief, Ketua PWNU Jawa Timur di Sepanjang, Sidoarjo, 10 September 1984.
Di rumah KH Hasyim Latief itulah lahir sebuah maklumat bersejarah bernama "Maklumat Keakraban" yang ditandatangani tujuh ulama terkemuka: KH As'ad Syamsul Arifin, KH Ali Ma'shum, KH Idham Cholid, KH Machrus Aly, KH Masjkur, KH Saifuddun Zuhri, dan KH Achmad Siddiq. Isi maklumat pada intinya adalah mengakhiri konflik, saling memaafkan, dan bersepakat untuk menyukseskan muktamar ke-27 di Situbondo, Desember 1984. Maka, berakhir sudah pertikaian antardua kubu yang berlangsung 3 tahun lebih itu.
Para kiai sepuh merasa terpanggil terjun langsung mengatasi siatuasi kepemimpinan NU. Kemudian muncul pikiran tentang penggantian sistem pemilihan. Pemilihan langsung dalam menentukan Rais Aam diganti dengan sistem musyawarah para kiai seperti awal berdirinya NU yang dinamakan ahlul halli wal aqdi. Namun dalam sistem ini mutlak diperlukan sosok kiai kharismatik yang bisa menjadi “ahlul aqdi” yang disegani dan dipercaya oleh semua pihak. Beruntung waktu itu ada KH As’ad Syamsul Arifin. Bersama para kiai sepuh lainnya, seperti Kiai Ali Ma’shoem dan Kiai Mahrus Aly, Kiai As’ad memainkan peran dengan sangat baik.
Tidak ada kiai “ahlul aqdi” yang bersedia menjadi Rais Aam. Meraka menyerahkan kepemimpinan organisasi kepada KH Achmad Siddiq. Muktamar 1984 berlangsung sukses. Kiai As’ad kembali ke pesantrennya di Asembagus. Kiai Mahrus Aly memilih menjadi Syuriyah di Jawa Timur saja. Bahkan Kiai Ali’ Ma’shoem sejak awal tidak pernah mau menjadi Rais Aam. Para kiai sepuh ‘ahlul aqdi” kembali ke masyarakat.
Penulis: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Zunus Muhammad