Barus adalah sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera, saat ini masuk wilayah Sumatera Utara. Kota kecil ini terkenal ke seluruh dunia sejak tahun 160 Masehi melalui tulisan Ptolemaus karena produk kapur barusnya yang terkenal itu. Bahkan Islam telah masuk wilayah ini sejak tahun 48 Hijriyah, seperti tertulis dalam makam Syekh Arkanuddin yang berada di tanah harum ini.
Temuan sejarah para ulama NU yang bertugas merawat makam tua itu sempat menggoncangkan teori sejarah masuknya Islam di Indonesia dalam seminar masuknya Islam pada tahun 1963. Banyak ulama besar berasal dari tempat ini, di antaranya yang paling menonjol adalah Hamzah Fansuri, yang terkenal dengan kitab tasawufnya. Di tanah Barus yang terkenal keharuman kapurnya serta keharuman para ulamanya itulah pada tahun 1909 KH Zainul Arifin dilahirkan.
<>Sebagai pemuda yang lahir di lingkungan yang sangat religius, maka ia menempuh pendidikan di pesantren Purbabaru Sumatera Utara, kini pesantren Musthofawiyah. Dari pesantren ini lahir beberapa tokoh nasional, termasuk dirinya. Walaupun berasal dari pesantren, ia cukup piawai berbahasa Belanda dan Jepang. Pendidikan formal yang dilalui adalah HIS.
Postur tubuhnya sedang-sedang saja, tapi berisi. Hidungnya mancung, kulitnya relatif putih. Suaranya barithon, sorot matanya tajam. Itulah sosok KH Zainul Arifin, Panglima Lasykar Hizbullah, suatu wadah Perjuangan pemuda Islam 1942-1945. Namaya disegani baik oleh tentara Belanda maupun Jepang, apalagi memiliki pasukan yang sangat terlatih dan militan.
Untuk memperluas pengetahuan dan pengalamannya Sejak muda Zainul merantau ke Jawa dan menetap di Jakarta. Ia sempat 15 tahun bekerja di bagian pengairan pada pemerintah Kota Praja Jakarta Raya, dengan setatus sebagai pegawai negeri sipil. Dia pekerja yang tekun, ulet, dan bertanggung jawab kepada atasannya. Namun karirnya sebagai PNS itu ditinggalkan sejalan dengan perkembangan situasi yang ada, yang mengharuskan dia memilih berjuang di jalur politik.
Sebagai seorang santri pesantren maka dengan sendirinya memilih bergabung dalam organisiasi Nahdhatul Ulama (NU) yang sejalan dengan cara berfikir dan berperilaku para santri. Ketika NU menjadi gerakan politik bergabung dalam Masyumi, Zainul muda ikut serta masuk ke dalamnya. Jabatan Kepala Bagian Umum Masyumi dipercayakan kepadanya mengingat kemampuan dan kecekayannya dalam bekerja. Demikian juga ketika tahun 1952 NU keluar dari Masyumi, Zainul pun setia pada keputusan organisiasi, ikut keluar dari Masjumi kemudian aktif di Partai Nahdlatul Ulama.
Panglima Hizbullah
Ketika barisan Hizbullah, wadah perjuangan fisik para pemuda Islam terbentuk(1942), Zainul turut masuk ke dalamnya. Bahkan dia mendapat pelatihan militer pertama oleh tentara Jepang. Kemenonjolan dan ketangkasannya membuat dia diangkat sebagai Komandan Batalion dan kemudian menjadi Panglima Hizbullah.
Anggotanya yang ribuan orang, terutama di Jawa dan Sumatera sebagian besar mangikuti pendidikan militer gaya Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Para pemuda santri, tanpa gamang, mengingat ini panggilan jihad membela negara bangsa, antre mendaftarkan diri masuk Hizbullah. Sedangkan para kiai, ulama dan mereka yang sudah dewasa masuk dalam barisan Sabilillah, dengan panglimanya KH Masykur juga dari NU.
Dalam kapasitas sebagai panglima Hizbullah itu, Zainul Arifin kerap melakukan inspeksi pasukan, terutama di basis-basis pejuangan umat Islam yaitu pondok-pondok pesantren. Konsolidasi yang terus-menerus dengan peningkatan keterampilan bertempur, membuat Hizbullah wadah lasykar rakyat yang disegani dan berwibawa.
Kedudukan Zainul di partai Masyumi adalah Kepala Bagian Umum yang berada di bawah Sekretaris Jenderal. Ketika pada akhirnya Hizbullah dilebur ke dalam TNI (1945). Dalam proses penggabungan itu Zainul Arifin memainkan peran yang besar. Atas pertan besarnya itu ia diangkat sebagai Sekretaris pada Pucuk Pimpinan TNI atau semacam Sekretaris Jenderal Deparetemen Pertahanan Keamanan sekarang.
Ketika terjadi penggabungan yang disertai program rekonstruksi dan rasionalisasi dalam tubuh kelasykaran itu. Zainul sangat kecewa dan prihatin ketika banyak kiai anggota Sabilillah dan Hizbullah yang tidak lulus untuk masuk TNI padahal mereka itu yang paling gigih dalam perjuangan kemerdekaan. Kebijakan itu diangggapnya sebagai upaya sistematis para bekas perwira KNIL yang berkuasa dalam TNI untuk menyingkarkan para Lasykar rakyat pejuang yang nasionalis.
Namun para kiai dan santri itu sendiri meminta agar Zainul tidak memperpanjang masalah itu. Bagi kiai dan santri berjuang semata-mata lillahi ta’ala untuk memerdekakan bangsa ini, bukan untuk mengejar pangkat dan jabatan. Hanaya beberapa Lasykar Hisbullah yang duterima di TNI, bagi mereka yang tidak lolos masuk TNI mereka menerima dengan ikhlas dan kembali ke pondok pesantren untuk mendidik generasi muda.
Bergerilya
Pada tahun 1947, Zainul Arifin diangkat sebagai anggota KNIP berkedudukan di Yogyakarta. Ketika Belanda melancarkan agresi untuk mencengkeramkan kukunya kembali, Zainul ikut bergerilya dan menjabat sebagai staf Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa. Salah satu tugasnya adalah mengonsolidasikan wadah-wadah perjuangan yang tersebar dimana-mana, termasuk dengan kelompok gerilya Jenderal Besar Sudirman.
Setelah lahirnya Negara Republik Indonesia, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (RIS). Dan ketika Indonesia lebih menjadi negara kesatuan, ia diangkat menjadi anggota DPR Sementara. Ketika Bung Karno membentuk DPR-GR pasca dibubarkannya Masyumi dan PSI, Zainul Arifin diangkat sebagai anggota dan kemudian duduk menjadi wakil ketua.
Sebelum itu, sebagai hasil Pemilu 1955 setelah NU keluar dari Masyumi, Zainul Arifin terpilih sebagai Wakil Ketua DPR, dengan ketuanya Mr Sartono (PNI). Setelah itu karirnya terus meningkat dengan diangkat Sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I. Dalam kabinet Ali II, posisinya digantikan oleh KH DR Idham Chalid, yang ketika itu sudah menjadi Ketua Umum PBNU. Kabinet ini dikenal dengan sebutan Kabinet Ali-Roem-Idham.
Sebagai putera Batak ia memiliki kepribadian yang tegas, tetapi sekaligus luwes dan supel dalam bergaul. Hal itu membuat Zainul Arifin disukai oleh teman dan lawan politiknya, termasuk oleh Bung Karno. Pada periode itu berbagai kepercayaan diamanatkan kepada tokoh ini. Semua tugas yang dibebankan dijalankan dengan baik, mengingat semuanya itu bagian dari perjuanagan mengisi kemrdekaan, karena itu daia sangat tegas menghadapi kelompok yang mengancam keutuhan nasional.
Berjuangan Hingga Titik Akhir
Sebagai bekas pejuang kemerdekaan Zainul adalah seorang Nasionalis yang tulen, karena itu dalam keadaan apapun tidak akan bergeser dari komitmennya itu. Dan Bung Karno adalkah orang yang memiliki komitmen serupa, karena itu maklum kalau keduanya selalu klop dalam menyikapi politik nasional. Karena itu pula keduanya sangat akap berhubungan, karena itu pula musuh Bung Karno juga memusuhi tokoh ini.
Walaupun DI TII dan PRRI Permesta telah dilumpuhkan, tetapi tentara mereka bergerilya ke mana-mana. Sarannya adalah Soekarno dan pendukungnya, karena itu pada suatu ketika pada tahun 1962, ketika sedang dilakukan dilaksanakan Sembahyang Idul Adha di Masjid Baiturrahim di halaman Istana Merdeka dengan Imam KH Zainul Arifin, Bung Karno sebagai makmum. Saat melaksanakan sembahyang itu tiba-tiba mendapat serangan udara secara mendadak. Serangan itu dilakukan oleh sisa gerombolan pemberontak PRRI Permesta yang mau menghancurkan Indonesia untuk kepentingan penjajah. Bung Karno selamat dalam insiden yang amoral itu, tetapi KH Zainul Arifin bekas Komandan Hizbullah itu mengalami-luka-luka.
Walaupun KH Zainul Arifin selamat dari serangan para pemberontak, tetapi setelah itu kesehatannya mulai menurun. Apalagi situasi politik nasional juga semakin kacau, ketika banyak sabotase politik dan ekonomi dilakukan oleh para agen imperialis terhadap pemerintahan Soekarno. Keadaan itu membuat KH Zainul Arifin sangat prihatin, yang mempengaruhi kesehatan fisik dan psikisnya. Kemudian pejuang ini wafat bulan Maret 1963 di Jakarta pada usia 54 tahun. Sebagai pejuang maka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ketika itu ia menduduki jabatan sebagai wakil ketua DPR-GR.
Walaupun karir politiknya terhenti sampai di sini, namun kenangan atas jejak langkah perjuangannya terus dirasakan hingga saat ini. Perjuangan itu patut diteladani generasi muda, khususnya di kalangan Nahdhatul Ulama. Banyak pihak merasa kehilangan dengan wafatnya Zainul Arifin, tokoh NU yang sangat menonjol ketika itu. Setumpuk surat kawat dan telegram duka cita diirimkan oleh berbagai lapisan organisasi ke Setjen PBNU.
KH Zainul Arifin meninggalkan seorang istri dengan sejumlah putera-puteri sebagai pewaris perjuangannya, di berbagai bidang kegiatan. Salah seorang puteranya H.B. Syihabuddin Arifin, berkarir di Deplu, pernah menduduki jabatan Dubes di Inggris dan Sekjen Deplu.
Puteranya yang lain Cecep Komaruddin Arifin aktif di GP Anshor dan Nahdlatul Ulama Jawa Barat. Salah seorang puterinya Aisyah Arifin diperistri oleh Letkol Soleh Sediana Bupati Majalengka pada tahun 1970. Ibu Zainul Arifin sendiri aktif di Muslimat NU. Cucu-cucu dan cicitnya juga banyak berkiprah di bidang sosial dan kemasyarakatan.
Atas berbagai jasanya dalam mendirikan Republik ini, KH Zainul Arifin dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang namanya kemudian juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan raya yang ada di Jakarta Pusat, berdekatan dengan jalan KH Hasyim Asy’ari.
Hadirnya tokoh besar dari berbagai daearah, seperti Nuddin Lubis dari Sumatera Utara, KH Zein Syukri (Sumatera Selatan) Tengku Abdul Ghani dari Sumatera Barat dan Zainul Arifin dari Sumatera Utara serta KH Idham Cholid dari Kalimantan Selatan, menunjukkan luasnya wilayah sebaran NU di bumi Nusantara ini. (H Baidlowi Adnan, Wakil Ketua PP LTN-NU)