Mukadimah
Walaupun NU secara salah kaprah disebut sebagai organisasi tradisional yang selalu diasosiasikan sebagai organisasi yang tidak pernah berubah dan konservatif dalam pemikiran, namun dalam beberapa dekade belakangan ini kalangan NU mewarnai kancah pembaruan pemikiran Islam lebih menonjol ketimbang organisasi yang menamakan diri sebagai pembaru. Pergulatannya dengan khazanah keilmuan klasik itu yang membuat mereka intensif melakukan kajian Islam, sebagai upaya mencari relevansi. Di situlah pembaruan tradisi dimulai untuk mencari perspektif pemikiran baru yang lebih relevan dengan kondisi zaman.
Pembaruan pemikiran itu sebenarnya telah inheren dalam organisasi manapun, karena itu sulit ditunjuk siapa yang paling berjasa. Tetapi dalam kasus NU kontemporer secara umum bisa disebutkan kontribusi penting tiga orang dalam menumbuhan dinamika pemikiran. Pertama tentu saja Abdurrahman Wahid, sebelum jadi pengurus NU ia telah melakuakn pembaruan pemikiran, tetapi ketika terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, pembaruan yang dicita-citakan menemukan lahan. Sebenarnya di sini Ia mengambil peran sebagai pendobrak kebekuan dan melakukan terobosan-terobosan strategis, baik di bidang pemikiran maupun gerakan social dengan ide-ide yang brilian.
Kedua adalah Masdar F Mas’udi, tokoh yang sejak mahasiswa telah merintis pembaruan itu, memberikotribusi besar pada gerakan pemikiran NU dengan mengambil peran menterjemahakan gagasan pembaruan yang dilontarkan Wahid secara serampangan dan sporadic itu menjadi agenda pembaruan yang programatis dalam bentuk kurikulum halqah, yang massif sehingga membuat pemikiran Wahid yang abstrak dan kurang sistematis itu bisa dipahami dan diterima khalayak luas dalam NU.
Ketiga, adalah KH Muchit Muzadi, tentu orang heran, apa peran kiai sepuh yang pikirannya biasa-biasa saja, tidak ada kejuatan yang ia bikin. Memang tidak ada pemikiran spektakuler dari kiai sepun itu, tetapi hal itu tidak menafikan kontribusi besar yang ia berikan pada gerakan yang umumnya digerakkan kalangan muda ini yaitu berperan sebagai pelidung kaum pembaru terutama dari serangan para kiai senior, yang pada umumnya garang menghadapi anak muda yang berpikir lain dari tradisi NU, di situah Kiai Muchit memberikan pembelaan dan sekaligus memberikan arahan dan tidak jarang dalam bentuk kritik keras.
Masa Pembentukan
Walaupun pria kelahiran Tuban 1925 itu mengaku bukan sebagai anak kiai atau aktivis pergerakan, tetapi suasan revolusi memaksa dia untuk aktif di dunia pergerakan, sejak dari pergerakan keilmuan hingga kemerdekaan. Setelah selesai menyelesaikan di pesantren Tuban ia melanjutkan belajar ke pesantren Tebuireng, di pesantren yang dipimpin KH Hasyim Asy’ari itu ia tidak hanya belajar agama, tetapi juga belajar berorganisasi, karena itu pada tahun 1941, saat usia muda ia telah menjadi anggota NU. Selain itu di sana ia juga bertemu dengan beberap santri terkenal dari daerah lain antara lain Ahmad Shiddiq.
Karena ia tidak memiliki prestasi yang menonjol saat itu, makanya ketika Kiai Wahid Hasyim menyelenggarakan pendidikan kader khusus, Muchith Muzadi muda tidak termasuk santri yang direkrut. Namun demikian ia banyak belajar pada peserta kader khusus itu, sehingga ia mendapatkan pengetahuan umum yang memadai. Kemampuan itu yang dijadikan bekal untuk mamasuki dunia luar pesantren, yang selanjutnya ia banyak berkiprah di sana dalam berbagai profesi.
Untuk menerapkan pengetahuannya itu, maka setamat dari Tebuireng ia kembali ke Kampung halaman di Tuban dengan mendirikan Madrasah Salafiyah (1946). Walaupun sebagai guru ia juga tidak bertopang dagu, tapi ikut berjuang melawan penjajah, masuk ke Laskar. Bahkan ketika Jepang datang para Kiai banyak yang dikejar, termasuk Kiai Machfudz ayah Kiai Sahal Mahfud mengungsi ke Tuban, tetapi kemudian dilobi oleh utusan Jepang yaitu habib Husen Al Hamid agar kembali ke Kajen dengan dijamin keamannannya, Kiai Muchid tidak setuju, sebab musuh bisa saja khianat, tetapi sang utusan dengan janji dan sumpah yang meyakinkan akhirnya Kiai Machfud percaya, tetapi Kiai Muchid beserta pemuda lainnya tetap tidak percaya. Akhirnya kiai sepuh itu pulang ke Kajen, dalam iringan Jepang, kerana itu sesampai di sana ia langsung dimasukkan penjara dengan tuduhan menghasut rakyat. Ketika terjadi perang dan pembakaran kota Pati termasuk penjara, maka saat itu Kiai Mahfud hilang misterius, entah dieksekusi Jepang atau yang lain tidak ada yang tahu, sehingga sampai sekarang tidak ketahuan dimana dimakamkan.
Ketika suasana kembali normal, kakak kandung Ketua umum PBNU KH Hasyim Muzadi itu kemudian p