Warta

Ada Ayat al-Qur’an yang Khusus untuk Indonesia

Senin, 13 Maret 2006 | 11:02 WIB

Cirebon, NU Online

Islam di Indonesia tidak bisa disamakan dengan yang ada di Timur Tengah. Ada sejarah dan karakter yang khusus dan istimewa. Kekhususan dan keistimewaan Islam di Indonesia ini dikomandoi oleh sebuah institusi kultural bernama pesantren.

<>

Demikian KH. Maimun Zubair, anggota Dewan Musytayar Pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat memberikan ceramah umum dalam acara puncak Haul Kiai Abbas Buntet, Para Pendiri dan Warga Buntet Pesantren di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Sabtu (11/3) lalu.

"Makanya, jangan coba-coba sebarkan Islam di Indonesia dengan cara-cara yang ada di Yaman, Maroko, Tunisia, atau yang lainnya. Ciri khos Islam di Indonesia adalah pesantren. Berapa ratus tahun Mughol di India tapi tak membuat Islam di sana mayoritas. Tapi di Indoneisia yadkhuluna fi dinillahi afwaja, masuk kepada agama Islam dengan berbondong-bondong," kata Kiai Maimun Zubair.

Mbah Maimun, panggilan akrab Kiai Maimun Zubair, mengatakan, umat Islam Indonesia adalah umat yang memeluk agama Islam pada masa-masa terakhir penyebaran Islam. Pada abad pertama Hijriyah (ke-7 M) Islam masuk ke Maroko, Tunisia, dan Asia Dalam. Islam memang masuk ke Aceh pada abad yang sama akan tetapi tidak dapat berkembang dengan baik. Lalu pada masa terakhir, abad ke-15 atau ke-16, di Jawa berdiri pesantren. Pertama kali adalah Pesantren Ampel Dento yang didirikan oleh Sunan Ampel sebagai pusat penyebaran Islam.

Yang khas dari Islam di Pesantren Ampel Denta, menurut Mbah Maimun adalah adalah kedekatannya dengan budaya setempat mulai dari arsitektur bangunan, nilai dan etik, serta tradisi dan gaya hidup. Inilah yang menyebabkan Islam dapat berkembang dengan mudah di Indonesia.

"Jadi ayat Dluribat alaihimudlillatu ainama tsukifu illa bihabklim minallah itu maksudnya begini: orang Arab itu pakai jenggotan tapi di Cirebon lain. Anak kecil di Arab pegang jenggot kakeknya nggak apa-apa, tapi di sini lha ya malah tidak punya tata krama (gerr). Kita pakai kopyah hitam dan sarung itu tidak merubah Islam, tapi ini lho Indonesia. Ini urusan hablun minannas (budaya: red), tapi hablumminallah-nya tetep, tidak ada lagi hong wilaheng dan sang yang widhi, tapi tetap qul huwallahu ahad. Beginilah pesantren," kata Mbah Maimun.

Pesantren, dengan demikian, kata pengasuh Pondok Pesantren Sarang Jawa Tengah itu, adalah penentu kuat dan ringkihnya Islam di Indonesia. "Tapi kiai sekarang atau para sntrinya kalau nggak tahu perobahan akan bingung. Sudah banyak yang berubah. Orang pesantren harus tahu perubahan," katanya.

Mbah Maimun mencontohkan, dulu usaha pertanian wajib dikeluarkan zakatnya sebesar lima sampai sepuluh persen sementara perdagangan hanya dua setengah persen. Hal ini menurutnya, karena dulu pertanian menjadi usaha yang paling menguntungkan. "Dulu ada Surat al-Baqoroh (sapi: red); orang menggarap sawah pakai sapi. Sekarang bukan baqoroh lagi tapi sudah traktor, Dulu kita memakai standar dzahab wal fidzzoh, emas dan perak, sekarang sudah pakai dolar," katanya.

Perubahan lain, kata Mbah Maimun adalah soal kecenderungan dunia untuk lebih memanfaatkan sari-sari tumbuhan sebagai makanan, sumber energi, dan komoditas. "Sekarang yang hewani seperti susu sapi iki wes diganti nabati. Kelapa sawit sudah menjadi alternatif minyak. Nah kelapa sawit segala macam itu hanya bisa di tanam di Indonesia. Sekarang kalau ditanam di Malaysia yo salahe wong Indonesia gelem-geleme jadi buruh nanem sawit di sana. Sekarang ini sudah ganti nabati. Kalau orang Indonesia tidak bisa memanfaatkan ya sakeng gobloke wonge (yang bodoh orangnya: red)," katanya

"Di dalam al-Qur’an ada kata jannah atau kebun yang hijau. Ini khusus untuk Indonesia. Orang Arab bingung, wong di sana gak ada kebun (jannah); di sana itu kalau dataran tinggi itu hanya ada batu, nek rendah anane padang pasir tok," kata Mbah Maimun lagi.


Terkait