Persaingan memperebutkan pengaruh ideologi di kalangan Islam semakin menguat belakangan ini. Di Indonesia, bersamaan dengan itu, muncul gerakan yang berupaya menghancurkan kelompok atau organisasi kemasyarakatan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja).
Hal tersebut dikatakan Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU, Endang Turmudi, pada Silaturrahim Organisasi Kemasyarakatan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah dan Semiloka: Menggagas Masa Depan Islam Nusantara, di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (24/1).<>
Dalam kesempatan itu, hadir perwakilan ormas Islam berhaluan Aswaja, antara lain, Tarbiyah Islamiyah, Al-Washliyah, Al-Khairaat, Nahdlatul Wathon, Darut Dakwah wal- Irsyad dan Mathlaul Anwar.
“Di masjid-masjid NU yang telah diambil alih, warga NU dilarang menjalankan praktik-praktik keagamaan yang khas Aswaja, seperti, tidak boleh membaca qunut (saat salat subuh), tidak boleh tahlilan, dan sebagainya,” jelas Turmudi.
Menurutnya, gerakan Islam garis keras tersebut semakin menguat karena didukung dan ditumpangi kepentingan politik yang bersifat internasional. Mereka masuk dengan gerakan dakwah melalui sejumlah ormas Islam dan partai politik.
Dalam acara yang juga dihadiri Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj itu, Turmudi menjelaskan, kini paham Aswaja yang moderat mendapat tantangan. Konsepsi di dalamnya harus dilihat ulang menyusul semakin menguatnya gerakan Islam garis keras.
“Konsepsi Aswaja tidak hanya dalam hal agama, melainkan juga dalam bidang proses pembelajaran, hubungan antar-umat beragama, dan sebagainya,” tandasnya.
Sementara itu, Kang Said—panggilan akrab KH Said Aqil Siroj—mengatakan, jauh hari, NU sudah memperkirakan akan ancaman masuknya gerakan Islam garis keras di Indonesia. Namun, pemerintah saat itu, tampak tak mempedulikannya.
“Waktu NU akan menggelar harlah besar-besaran yang akan mengerahkan sekitar 2 juta massa Nahdliyin, dilarang oleh pemerintah Orde Baru waktu itu. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, ketua PBNU saat itu) mengirim surat kepada Soeharto (presiden RI saat itu). Dalam surat itu, Gus Dur mengatakan, ‘Jangan sampai umat Islam Indonesia menjadi radikal seperti Aljazair’,” terangnya.
Kang Said menjelaskan, surat yang ditulis cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari itu, merupakan peringatan agar pemerintah segera melakukan langkah antisipatif terhadap masuknya kelompok Islam garis keras.
Menurutnya, pelarangan terhadap rencana peringatan harlah itu merupakan tindakan sistematis untuk menekan kelompok Islam moderat, seperti NU. NU yang hingga kini masih setia pada Pancasila, katanya, dianggap merupakan ancaman bagi rezim kala itu. (rif)