Warta

Agus Sunyoto, Demi Menulis Walisongo, Rela Utang

Senin, 20 Februari 2012 | 09:30 WIB

Jakarta, NU Online
Menulis buku bukanlah pekerjaan mudah. Butuh pengorbanan waktu dan biaya. Hal itu dialami sejarawan, budayawan Agus Sunyoto saat menulis sejarah para sunan penyebar Islam Nusantara berjudul “Walisongo; Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirakan.”

Ketika berkunjung ke kantor redaksi NU Online, gedung PBNU, jalan Kramat Raya 164 Jakarta (15/2) lalu, pria berusia 53 tahun tersebut, sempat berbicang tentang proses penulisan buku itu.

<> Menurut Agus, buku tersebut ditulis untuk menanggapi Ensiklopedi Islam yang  diterbitkan PT Ichtiar Baru Van Hoeve tahun 1995. Pasalnya, dalam ensiklopedi itu, tak ada entri Walisongo. Agus berpendapat, hal itu sangat “berbahaya”, mereka membuang Walingsongo dengan sistematis.

“Bahayanya, dua puluh tahun yang akan datang Walisongo akan dianggap sebagai dongeng saja,” paparnya. Ia yakin, penyingkiran itu bukan tanpa sebab, tapi direncanakan dan sitematis, “Ada upaya sistematis menyingkirakan peran walisongo sebagai penyabar Islam di Nusantara, khususnya pulau Jawa,” lanjutnya. 

Herannya, tambah dia, malah ada tiga serangkai ulama dari Sumatera Barat yang masuk ke dalam ensiklopedi itu. Padahal menurut Agus, reputasinya tidak semenonjol Walisongo.

Lalu, Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi-NU) ini menceritakan proses pencarian data buku itu. “Ya saya turun ke lapangan, mencari data itu. Keliling sendiri. Membiayai sendiri. Nulisnya cepet. Dua bulan. Itu termasuk saya ambil poto, semua, macam-macam,” ujarnya. 

Tentu saja menulis penelitian semacam itu membutuhkan banyak biaya. “Ya kalau dikalkulasi saya habis sampai 78 juta. Itu uang sendiri. Uang siapa? Masih punya utang 36 juta. Hahaha…Belum lunas!” tukasnya sambil tertawa lepas. 

 

Penulis: Abdullah Alawi


Terkait