Jakarta, NU Online
NU memiliki banyak sekali sastrawan, aktor, dan senias. Hal ini bukan omong kosong mengingat NU adalah ormas keagamaan dengan jumlah mayoritas massa terbesar di Indonesia. “Kalau sudah ‘besar’, jangan lupa NU. Nahdlatul Ulama ini rumah kita bersama,” ungkap Ahmad Tohari, penulis novel trilogi, Ronggeng Dukuh Paruk dalam sambutan Pidato Kebudayaan D Zawawi Imron, di aula PBNU lt.8, Rabu (28/3).
Penulis cerpen, novel, penyair, pelukis, aktor, maupun sineas bisa berpartisipasi mengibarkan nama NU. Kaum nahdliyin sejak dulu bergerak dalam dunia kesenian. Kesenian menjadi bagian utuh mereka. Mereka sangat intens dalam dunia kesenian yang dipilih. Mereka berhasil merebut prestasi atas ketekunan dan kerja keras mereka.
<>
Seniman atau sastrawan nahdliyin perlu mengakui dirinya adalah orang NU. Dalam biografi misalnya, mereka bisa menyebutkan identitas ke-NU-annya. Ini sudah lebih dari cukup untuk menangkap geliat NU dalam dunia kesenian dan kesusastraan.
“Sejak semula, semua orang mengerti bahwa saya orang NU. Nah, ketika karya saya ‘meledak’ di pasaran, maka dengan sendirinya orang menyadari bahwa nahdliyin melahirkan karya-karya yang layak diapresiasi,” tambahnya.
Tindakan ini menjadi bagian strategi dalam mengibarkan bendera NU. Selain itu, strategi ini sekaligus sebagai terapi untuk terus meningkatkan kualitas, ketekunan, dan kerja keras bagi diri sendiri.
Strategi ini juga mengakibatkan dinamisasi karya-karya kesenian dan kesusastraan baik di lingkungan nahdliyin sendiri maupun kawan-kawan pekerja seni di luar mereka.
Cara ini pada gilirannya, akan menarik orang lain untuk melihat bahkan meniru apa yang dikembangkan NU dalam bidang-bidang lain di luar kesenian. Dengan demikian, seniman dan sastrawan nahdliyin, turut mewarnai gerakan NU dan kehidupan masyarakat Indonesia dengan pendekatan artistik dan estetik.
Redaktur: Mukafi Niam
Penulis : Alhafiz Kurniawan