Sidoarjo, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang sangat besar namun belum difungsikan secara optimal. Survei LSI tahun 2004 menyebutkan, jumlah warga NU sebanyak 60 juta jiwa. Sebuah angka yang fantastis dan mempunyai potensi yang tidak kecil. Karena itulah kondisi Indonesia sangat tergantung dari kondisi NU.
“Kalau Indonesia terpuruk, maka orang NU-lah yang paling bertanggung jawab. Sebaliknya, kalau Indonesia ini maju, orang NU-lah yang paling bersyukur,” kata KH Mustofa Bisri (Gus Mus), pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang, di sela-sela acara pelantikan Pengurus Cabang (PC) NU Sidoarjo, Ahad (18/2), di Gedung Rahmatul Ummah An-Nahdliyah.<<>/font>
Menurut Gus Mus, kebesaran NU tidak bisa dipungkiri dan direkayasa untuk ditutupi lagi. Namun patut disayangkan, kebesaran itu masih di atas kertas, kalah dengan FPI dan HTI yang jumlah anggotanya jauh lebih kecil. “Ini aneh,” tuturnya.
Putra KH Bisri Mustofa itu mengibaratkan kondisi NU saat ini masih hanya dipakai ”mengiris bawang” untuk bumbu masak. Padahal potensi yang dimiliki adalah pisau cukur yang sangat tajam. Sebuah pekerjaan yang terlalu remeh bila dibandingkan kapasitas yang dimilikinya.
Malah, menurut Gus Mus, masih banyak orang NU yang belum tahu kebesaran dirinya. Karena tidak tahu itulah akhirnya NU ‘dijual’ murah. Padahal, ketika HM Subchan ZE (Wakil Ketua PBNU) waktu itu dicalonkan menjadi Wakil Presiden RI, Subchan berani menjual NU dengan harga mahal. Bahkan terlalu mahal, sampai akhirnya tidak jadi diangkat sebagai Wakil Presiden. Sebaliknya, para tokoh NU saat ini malah menjual NU terlalu murah, sehingga terkesan malah diremehkan pihak lain.
Dikatakan, NU harus mempunyai nilai tawar yang tinggi. Gus Mus sangat berharap agar para jamaah yang jumlahnya sangat besar itu diorganisir dengan baik. Perbedaannya sangat besar. Kalau dalam posisi sekarang, jamaah (warga NU) bisa saja tidak menurut pada pimpinan, karena mereka memang bebas berjalan sendiri-sendiri. Tidak ada ikatan dan sanksi organisasi yang akan diterima bila mereka tidak sejalan dengan garis PBNU.
Jika para jamaah itu sudah menjadi jam’iyyah, mereka tidak bisa melakukan seperti itu lagi. Semuanya harus berjalan dalam satu komando. Kalau PBNU sudah memutuskan A, maka semuanya akan memilih A. Mereka jadi terarah, dan arahnya jelas. “Kalau semua sudah tertata, tidak usah ngomong, orang sudah ngeri semua,” tutur Gus Mus.
Di akhir pembicaraan, Gus Mus berpesan kepada para pengurus NU untuk tidak suka bersikap geregetan dan mengeluh dengan kondisi yang dihadapi. Sebab kalau keduanya itu terus dipelihara dan dikembangkan di dalam NU, maka akhirnya mereka akan stres sendiri. “Menjadi pengurus NU itu harus ikhlas dan siap tekor,” ujarnya sambil tertawa. (sbh)