Warta

Beda Paham Boleh, Tapi Jangan Anarkis

Senin, 8 Agustus 2005 | 06:13 WIB

Jakarta, NU Online
Maraknya polemik dan aksi menyikapi kontroversi Fatwa MUI tidaklah harus dilakukan dengan perbuatan anarkis. Kalau memang tidak setuju dengan fatwa tersebut, jangan lantas mendesak agar fatwa MUI itu harus dicabut dan bertindak anarkis.

"Perbedaan itu Sunatullah dan sesuai dengan paham NU, kita memberikan ruang yang luas dalam menyikapi berbagai perbedaan dalam memahami ajaran beragama, tanpa harus menggunakan kekerasan. Dalam hal ini, kita harus membedakan sikap penolakan terhadap sebuah ajaran dengan tindakan anarkis. Menolak aqidah yang sesat dan menyimpang adalah sebuah kewajiban. Sebaliknya, anarkisme tidak pernah dibenarkan," ungkap Ketua PWNU Lampung, KH. Khairudin Tahmid kepada NU Online melalui telpon, Senin (8/8).

<>

Menurut Khairudin, setiap orang yang berbeda faham bisa jadi yakin akan fahamnya masing-masing. Seorang mu'min yakin pula akan keimanannya. Dari keyakinan ini, masyarakat muslim akan menolak seluruh faham yang bertentangan apalagi mengotori aqidah Islam. Maka akan jelas sekali perbedaan faham di dalam Islam dengan perbedaan faham antara Islam dengan aqidah di luar Islam.

Karena itu, lanjut lulusan IAIN Raden Intan Lampung ini, kita harus membedakan antara perbedaan pendapat dalam fiqih dengan penyimpangan aqidah dalam tauhid. Perbedaan pendapat dalam fiqih merupakan hal yang lumrah dan memang dibenarkan, bahkan menjadi rahmat tersendiri buat umat Islam. Karena perbedaan pendapat dalam fiqih justru akan melahirkan keluasan sekaligus keluwesan dalam aplikasi syariat Islam. Mereka yang berbeda pendapat dalam bidang fiqih umumnya adalah para ulama yang bertaqwa serta sangat tinggi imannya. Mereka juga punya wawasan dan ilmu yang luas sehingga ijtihad mereka bisa diterima oleh mayoritas umat Islam.

"Kasusnya menjadi berbeda kalau kita bandingkan dengan penyimpangan aqidah. Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, penyimpangan aqidah bisa dikatakan tidak pernah terjadi. Sebab apa yang diajarkan oleh Rasulullah dalam bidang aqidah memang sangat tegas namun sederhana. Penyimpangan aqidah di dalam tubuh umat Islam baru muncul tatkala dunia Islam dilanda demam penerjemahan literatur dari barat secara besar-besaran. Karya-karya filsalat Barat yang membingungkan itu secara tidak sadar terserap ke dalam beberapa karya umat Islam, sehingga akhirnya muncullah perdebatan panjang yang sangat menghabiskan energi umat. Bidang itu kemudian dikenal dengan ilmu kalam, yang secara harfiyah bermakna ilmu bicara atau berdebat. Karena sepanjang tahun isinya hanya berupa perdebatan," papar lulusan pesantren ini.

Pada titik-titik ekstrim dari ilmu kalam ini, katanya muncul beberapa penyimpangan yang teramat serius yang bisa dikategorikan keluar dari aqidah islamiyah yang benar. Mereka yang sudah kelewatan dalam penyimpangannya bisa saja dikeluarkan dari kelompok umat Islam. Apalagi bila sampai menafikan keberadaan Allah SWT atau kenabian Muhammad SAW.

"Dalam konteks itulah sebenarnya kita bisa memasukkan paham Ahmadiyah ke dalam barisan kelompok yang menyimpang dari garis aqidah yang benar. Sebab dengan mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad itu, sama saja dengan menafikan kenabian Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman. Kalau memang benar Ahmadiyah itu secara tegas mengakui kenabian Mirza atau siapapun, jelaslah paham ini berada di luar garis aqidah Islam," ucapnya.

Ditambahkan Khairudin, dalam kasus fatwa MUI dan Ahmadiyah , kita tetap dilarang untuk melakukan pengerusakan. Yang dibenarkan adalah melakukan tindakan amar makruf dan nahi munkar sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya. Tindakan anarkis tidak dibenarkan di dalam Islam, kecuali dalam kasus peperangan yang resmi. Atau berupa tindakan tegas yang berangkat sebelumnya dari hasil musyawarah dengan para ulama dan umara'.

Namun, sayangnya kata salah satu Ketua PWNU yang menjadi Formatur dalam Muktamar ke-31, pemahaman ini tidak sampai kepada masyarakat bawah secara baik, yang mereka terima adalah penggalan-penggalan ajaran agama yang tidak utuh. Akibatnya umat mudah diadu domba atas nama agama, bahkan menghalalkan kekerasan atas nama agama. "Ini yang kami sesalkan, bahwa ada perbedaan dalam pemahaman beragama itu wajar, sepanjang tidak menggunakan cara-cara kekerasan," pungkasnya mengakhiri pembicaraan. (cih)


Terkait