Warta

Budayawan : Ngapain <i>Niru</i> Barat

Rabu, 3 Agustus 2005 | 03:09 WIB

Jakarta, NU Online
Kemunduran bangsa ini diakibatkan karena kesalahan berfikir yang dipengaruhi oleh para kolonialis. Melalui kekuasaannya mereka menghegemoni cara berfikir bangsa kita yang empirik, reflektif dan kontekstual menjadi formalistik.

Pernyataan ini disampaikan sejarawan dan novelis, Agus Sunyoto, kepada NU Online, Rabu (3/8) menanggapi kondisi bangsa Indonesia yang semakin terpuruk.

<>

Menurutnya, bangsa ini hanya bisa maju dengan memelihara tradisi dan cara berfikir yang baik. Karena cara berpikir bangsa kita sekarang akibat hegemoni kolonialis sudah sangat distortif bagi pertumbuhan masyarakat dan kebudayaan.

"Jadi kalau kita mau maju secara paripurna, yang pertama harus dilakukan adalah merubah cara pandang kita yang sudah terdistorsi cara pandang Barat. Caranya dengan kembali pada tradisi Timur. Tidak perlu meniru-niru, apalagi yang ditiru salah," ungkap sejarawan dan novelis yang tinggal di Malang ini.

Agus mencontohkan, bagaimana cara pandang Barat yang sangat formalistik itu masuk dalam cara pandang bangsa kita, dalam hal kepandaian misalnya, saat ini seseorang hanya diukur dari berapa lama dia sekolah dan berapa gelar kesarjanaan yang dimilikinya.

Sementara, lanjut Agus, masyarakat Timur lebih mengutamakan belajar pada pengalaman dan kehidupan riil, contoh konkretnya, menurut aktivis Ansor Jawa Timur itu adalah, Soeharto walupun hanya memperoleh pendidikan dasar, tetapi ia bisa lebih pandai dari para professor yang menjadi menterinya teramasuk Habibie. Dengan demikian Soeharto juga bisa berkuasa lebih lama dari siapapun.

"Cara berpikir formal itu harus dikritik, sebab kalau tidak agama akan mengalami kekeroposan, bayangkan yang disebut manusia sempurna adalah manusia yang punya pengetahuan dan kekuasaan seperti Firaun dan Namrud, sementara Nabi Musa maupun Nabi Ibrahim adalah petualang yang tidak memiliki apa-apa kecuali spiritualitas dan moralitas untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Bila cara berpikir formal dipakai untuk melihat Nabi, maka tidak sabda Nabi yang bisa diterima risalahnya, sebab mereka tidak ditopang kekuasaan dan gelar akademik apapun," paparnya.

Bahkan budayawan itu juga mengeluhkan tentang irelevansi pemikiran para cendekiawan Indonesia, sebab mereka sejak S1 sampai S3 hanya belajar di kampus, tidak pernah belajar pada realitas kehidupan, sehingga solusi yang diberikan juga mengalami kegagalan. "Ditambah sarjana-sarjana itu lulusan Barat yang memang dididik pintar kemudian menjadi birokrat dan bekerja dengan agenda-agenda Barat," tambahnya.

Melihat kenyataan itu, kata Agus, tak ada jalan lain, perlawanan terhadap hegemoni budaya harus segera dilakukan dengan cara mengubah cara berpikir masyarakat. "Semakin terbaratkan seseorang semakin sulit disadarkan, sebaliknya semakin sedikit terbaratkan seperti kaum pesantren, akan semakin mudah disadarkan," demikian pungkas Agus Sunyoto. (cih)

 


Terkait