Cegah Gerakan Islam Garis Keras, PCNU Salatiga Dirikan Pesantren
Sabtu, 2 Juni 2007 | 10:08 WIB
Salatiga, NU Online
Nahdlatul Ulama (NU) tampak semakin kompak dalam menghadapi gerakan kelompok Islam garis keras yang marak belakangan ini. Di Salatiga, Jawa Tengah, Pengurus Cabang NU setempat mendirikan pondok pesantren (ponpes) yang salah satu tujuannya untuk mencegah makin meluasnya gerakan kelompok kontra Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) itu.
Darul Hadhlonah, begitu nama ponpes dengan gedung berlantai dua yang didirikan di atas tanah seluas 262 meter persegi itu, diresmikan pada Ahad pekan lalu. Demikian dilaporkan Kontributor NU Online di Salatiga Mahbub Sonhadji.
<>Sejumlah kiai dan ulama serta tokoh setempat hadir dalam peresmian ponpes yang dirintis sejak 2000 silam itu. Antara lain, Abu Hafsin, KH Masruri Mughni (PWNU Jateng) KH Sonwasi Ridwan (Rais Syuriah PCNU Salatiga) dan Taufiqurrahman (Kepala Kantor Depag Salatiga).
KH Sonwasi Ridwan dalam kesempatan itu mengatakan, pesantren yang dana pembangunannya dikumpulkan dari PCNU dan donator itu sengaja dikemas sedemikian rupa sebagai media yang mujarab untuk menyebarkan dan mengembangkan paham Aswaja, paham Islam moderat.
Menurutnya, paham Aswaja sebagaimana dianut NU, “Sekarang menjadi ‘sasaran empuk’ dari gerakan anti tahlil, gerakan anti shalawat dan gerakan anti manakib atau Maulid Nabi.” Parahnya, ujarnya, fenomena tersebut menjangkiti semua generasi NU, bahkan sampai ke tingkat pengurus ranting sekalipun
Ia juga mengingatkan kepada para warga NU agar jangan sampai aset NU hilang karena persoalan administrasi, seperti akte tanah dan akte yayasan serta para pengelola ponpes. “Pengelola Pesantren Darul Hadhonah ini harus amanah, cakap dan bertanggung jawab. Jangan memilih pengelola karena dekat dan dikenal oknum pengurus PCNU Salatiga semata,” pintanya.
Sementara, Abu Hafsin dalam sambutannya mengaku bangga atas didirikannya ponpes tersebut. Ia berharap agar setiap lembaga pendidikan yang didirikan NU dapat benar-benar dimanfaatkan sebagai wahana pengkaderan Aswaja.
Aswaja ala NU, ucapnya, telah terbukti membawa bagi peran NU sebagai penyumbang terbesar bagi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa serta stabilitas nasional. Jika warga NU ingin menjadi ‘agen-agen’ Aswaja, maka harus mampu mendakwahkan paham Awaja yang tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan amar ma'ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Sebagaimana prinsip-prinsip khusus NU, ia menyebutkan, dupliksai ajaran dan cara pandang NU seperti di Malaysia dengan paham Islam Khadhori-nya. Hal itu membuktikan bahwa nilai-nilai NU telah diakui dan dirasakan manfaatnya bagi dunia.
KH Masruri Mughni meminta kiai dan ulama kembali pada fungsinya sebagai pengurus, pengelola dan penanggung jawab masjid, mushola dan pesantren yang akhir-akhir ini terbukti dimasuki dan dirasuki pemahaman ‘modern’ tapi menyesatkan. “Janganlah pondok dinikmati sendiri, tetapi kembalikan fungsinya sebagai 'kawah candradimuka' pengembang nilai Aswaja dan keagamaan yang tangguh,” jelasnya.
Ia memaparkan sejarah didirikannya NU yang awalnya, para ulama dan kiai berperan penting dalam mengurus pesantren. Tahun 1909 hingga 1912, katanya, dunia Islam Indonesia dibuat geger oleh gerakan nasionalisme modern. “Karenanya para kiai yang berjumlah 9 orang berembug di sekitar Ka’bah hingga kemudian lahirlah NU,” paparnya. (rif)