BERBAGAI persoalan mencuat dalam sidang-sidang komisi Konferensi wilayah XII NU DIY, Sabtu (23/12) malam. Penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi (Rehab-Rekon) pasca gempa menjadi pembahasan yang cukup mendapat perhatian dari peserta konferensi terutama pada sidang komisi rekomendasi.
Lambatnya pemeritah, tidak adanya standarisasi kebijakan, serta tidak adanya koordinasi antarlevel pemerintah dan instansi terkait dalam penganagan bencana, mengakibatkan penderitaan korban dalam penanganan program Rehab dan Rekon. Atas dasar pertimbangan tersebut konferensi merekomendasikan dua hal kepada pemerintah baik pusat maupun daerah. Pertama, bekerja lebih sistematis, terkoordinir, trasnsparan dan partisipatif dalam mendorong keberhasilan program rehab rekon.
Kedua, terkait dengan manajemen penanggulangan bencana yang tidak hanya berorientasi pada infrastruktur. Pemerintah daerah perlu membuat peraturan daerah (perda) penanggulangan bencana sebagai standard operating procedure (SOP) terhadap penanganan bencana sewaktu-waktu terjadi.
Selain dua rekomendai tersebut ada lima rekomendasi penting dalam sidang komisi C (rekomendasi) Sabtu malam, yakni bidang ekonomi, hukum, pembinaan jamaah dan jam’iyyah, dan penyaluran aspirasi polotik warga.
Dalam bidang ekonomi, konferensi meminta pemerintah untuk lebih cermat dalam pengambilan kebijakan penataan zona pengembangan ekonomi daerah. Perhatian terhadap pekerja sektor ekonomi mikro-kecil, petani, nelayan, perajin dan pedagang kecil juga harus menjadi acuan pemerintah dalam penetapan kebijakan ekonomi kerakyatan. Hal ini tak lepas dari kenyataan bahwa massifnya paham neo-liberal yang telah merasuki bangsa Indonesia, sehingga melemahkan peran negara dalam mensejahterkan warganya.
Krisis moralitas dalam penegakkan hukum menjadi sorotan dalam rekomendasi hukum. Konferensi meminta NU untuk ikut mendorong terwujudnya masyarakat sipil yang mampu menjadi pendorong kekuatan moral dalam penegakan hukum. Selain itu juga meminta pada para penegak hukum, polisi, hakim, jaksa, hingga pengacara untuk bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi keadilan.
Persoalan pendidikan juga tak luput dari bahasan komisi rekomendasi. Komersialisasi pendidikan, ditambah beberapa persoalan sosial dikalangan remaja; pergaulan bebas, narkoba, belum terealisasinya anggaran pendidikan 20% hingga munculnya pesantren yang didirikan oleh kelompok non-NU menjadi perhatian tersendiri. Konferensi merekomendasikan kepada pemerintah daerah untuk membuat perda terkait dengan pergaulan berbas dan narkoba. Dan untuk pengelolan pendidikan lebih memperhatikan kualitas dari pada pengerukan keuntungan, ini semua diharapkan mampu mengembalikan Jogja sebagai kota pelajar.
Untuk internal NU, konferensi merekondasikan dua hal yang sangat mendesak, yakni pertama, pembinaan jama’ah dan penguatan jam’iyyah. Kenyataan banyaknya masjid NU dan warega yang ‘dirampok’ oleh kelompok lain, sehingga mulai melemahnya tradisi-tradisi NU dikalangan warganya. Hal yang perlu dilakukan menurut konferensi adalah revitalisasi lembaga-lembaga NU, seperti LDNU, LKPSM, dll untuk penguatan jama’ah dan juga perlunya diklat kemasjidan. Untuk penguatan jam’iyyah perlu standarisasi perkantoran.
“Robohnya masjid-masjid NU di Bantul tidak begitu mendapat perhatian NU akhirnya dibangun oleh mujahidin dan semacamnya. Kemudian ‘disewa’ enam bulan dan masyarakatnya diajari ngaji dan diberi ceramah. Sekarang kita kehilangan umat,” ungkap KH. Azhari Abta dalam rapat pleno sidang komisi.
Kedua, tak kalah penting adalah penyaluran aspirasi politik warga NU. Kebuntuan komunikasi antar sesama politisi NU dan warganya memerlukan perluasan peran dan fungsi komisi politik PW NU DIY dalam aspek maslahah siyasiyyah (politik keumatan) untuk menfasilitasi komunikasi antar warga dan politisi NU. Konferensi juga memandang penting pendidikan politik bagi warga NU. (ron)
Ekonomi Berbasis Komunitas
Semetara itu dalam studium generale pembukaan Konferensi Wilayah NU DIY Prof. Dr Syafaruddin Alwi, Ketua Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia, banyak mengungkapkan potensi-potensi warga nahdliyin untuk membangun ekonomi umat. NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, namun dengan sebagain besar warganya yang justru banyak berada dalam ketidakberdayaan secara ekonomi seharusnya mampu melihat potensi yang dimilikinya untuk lebih mensejaterakan warganya.
Ia mencontohkan sebuah perkampungan tradisional di Kyoto, yang keberadaan warganya mirip warga nadliyin di Indonesia. Warga Kyoto memiliki home industri yang sebagain besar warganya menggantungkan hidupnya dari home indus