Jakarta, NU Online
Bagi anak-anak usia sekolah yang hidup di pedesaan, suasana alam yang akrab dengan tetumbuhan, udara segar, dan hewan-hewan yang lucu-lucu dan bersuara merdu mungkin tidak terlalu asing. Namun bagi anak perkotaan suasana alam seperti itu, apalagi jika telah disulap menjadi lingkungan belajar dan bermain sehari-hari, sangatlah istimewa yang membutuhkan biaya mahal.
”Dunia pendidikan yang ideal harus diintegrasikan dengan suasana alam seperti itu. Belajar tidak mungkin optimal kalau diadakan di kotak-kotak, di kelas-kelas, atau di gedung yang dibatasi oleh beton,” kata Anis Gunarso, Ketua Yayasan Sekolah Citra Alam Ciganjur, Jakarta Selatan, ditemui NU Online di sela-sela acara acara Open House, Sabtu (10/2).
;Menurut mantan wakil kepala sekolah di Pesantren Modern Asshidiqiyah Jakarta itu, sistem pendidikan hanya efektif jika memanfaatkan alam sebagai wahana sumber belajar. Suasana alam memicu daya pikir untuk memahami semua perubahan dengan cepat dan tidak terbatas. ”Kita mengajak anak berfikir bagaimana daun bisa bisa terjatuh, sampai bagaimana bisa terjadi banjir,” katanya.
Manusia tidak dapat dipisahkan dari alam semesta ciptaan Allah SWT, dan sebagai khalifah-Nya manusia mempunyai tugas memakmurkan bumi dengan cara mengambil pelajaran, memikirkan dan menggali rahasia alam ciptaan Allah. Sejak dini anak harus diajak memikirkan dan menggali rahasia alam itu. Dengan begitu, kata Anis, alam dapat diambil manfaat dan didayagunakan sebaik-baiknya sembari menjaga kelestariannya dan memeliharanya sesuai dengan maksud penciptaannya.
Selain berbasis alam, sejak dini para pengajar harusnya berfusngsi sebagai fasilitator, sekedar mengajak anak untuk berfikir, bukan memaksakan pikiran yang ada dibuku-buku pelajaran secara monoton dan dogmatik.
Sistem pendekatan "belajar sambil berbuat" dipilih sesuai dengan tingkat kematangan anak, lalu disajikan secara kreatif dan aktraktif, namun aman dan menyenangkan. Ketika berbicara pertanian, peternakan, atau industri mereka langsung diajak ke tempat yang bersangkutan sehingga materi yang diajarkan tidak mengawang-awang dan menjadi bahan hafalan.
”Hafalan itu penting. Kami juga teta mewajibkan anak menghafat asma’ul husna, doa-doa sholat, ayat-ayat pendek, dan doa sehari-hari beserta artinya, tapi yang menjadi prioritas adalah mengajak anak untuk berfikir mandiri,” kata Anis.
Jika siswa sudah punya carakter building, katanya, mereka akan dapat memfilter sendiri apapun yang melintas di depan mereka. Dirinya tidak meresa hawatie melihat anak-anak menonton tayangan televisi. ”Mereka akan dapat menentukan sendiri tayangan yang pantas ditonton, sambil tetap kita dampingi,” katanya.
Tanah Wakaf
Yayasan Sekolah Citra Alam yang dirintis Anis Gunarso awalnya adalah tanah wakaf seluas dua hektar dari mertua Ny. Sarjino untuk dijadikan lembaga pendidikan. Bersama suaminya Dwi Gunarso di pertama-tama mendirikan mesjid Nurul Falah.
“Masjid adalah sentral segalanya, termasuk kegiatan pendidikan. Pesantren-pesantren pada mulanya adalah masjid,” kata Kader NU Jombang itu. Dirinya mengaku tidak mau bergabung dengan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, atau Fatayat atau Muslimat NU karena takut mengganggu konsentrasinya.”Tapi saya tetap mengamalkan khizib bahr,” katanya tersenyum.
Kini Sekolah Citra Alam untuk anak-anak Pra Sekolah, Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) telah menjadi salah-satu sekolah unggulan di ibu kota dan sudah diperkenankan untuk membuat kurikulum sendiri. Dengan bangga dia bercerita, lulusan Sekolah Citra Alam selalu menonjol dan punya karakter.
Dikatakan Anis, dibutuhkan inovasi-inovasi pendidikan untuk menembus kebuntuan sistem pendidikan di Indonesia. (nam)