Surabaya, NU Online
Warga korban lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur boleh bernapas lega. Tuntutan ganti rugi atas tanah dan rumah mereka yang terendam lumpur berbahaya tersebut dikabulkan pihak PT Lapindo Brantas, apalagi harganya dinilai cukup tinggi. Namun demikian, warga harusnya tetap waspada terhadap keputusan tersebut.
“Ada persoalan rumit yang bisa menjebak warga. Di depan, Lapindo memberikan angin segar dengan ganti rugi seperti yang diinginkan. Di belakang, buat persyaratan, warga harus menunjukkan sertifikat tanah. Ini tidak mungkin dilakukan,” kata Ketua Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBH NU) Jatim Sri Sugeng Pujiatmiko, seperti dilaporkan kontributor NU Online di Surabaya M Subhan, Rabu (6/12).
<>Menurut Sugeng, begitu panggilan akrabnya, alasan utamanya adalah banyak bukti-bukti milik warga yang hilang atau karena terendam lumpur. Selain itu, imbuhnya, pembuatan ulang sertifikat milik warga pun akan sulit dilakukan. Pasalnya, Badan Pertanahan Nasional akan kesulitan mengukur ulang, karena genangan lumpur yang begitu dalam.
Proses pengurusan sertifikat yang memerlukan waktu lama serta biaya yang tak sedikit juga menjadi masalah lain. “Ngapain Lapindo memberikan angin segar, kalau pada akhirnya malah mempersulit di belakang?” gugat Sugeng.
Hal tersebut, menurut Sugeng, adalah upaya sengaja Lapindo untuk mengulur-ulur waktu mengingat syarat yang diajukan tidak masuk akal. “Orang hidup sudah sulit, kok masih mau dipersulit lagi,” tandasnya yang saat itu didampingi sejumlah pengurus LPBH NU Jatim yang lain.
Kondisi tersebut dikhawatirkan Sugeng justru akan menjadi pemicu ledakan emosi dari masyarakat yang jauh lebih besar di kemudian hari kalau memang pelaksanaannya nanti ternyata semakin membuat sulit masyarakat yang sudah lama menjadi korban.
Jalan paling ringkas, menurut Sugeng, Lapindo cukup minta data dari desa. Data dalam buku kretek desa sudah lengkap. Bahkan, katanya, data tersebut sudah sangat komplit mulai dari desa, posko-posko, BPN dan instansi pemerintah, semuanya sudah ada. “Kenapa warga yang sudah hidup sulit itu harus dipersulit lagi?” gugatnya kesal.
Sugeng membandingkannya dengan pengembang perumahan. Pengembang real estate tidak perlu membuat persyaratan sertifikat kepada masyarakat yang tanahnya hendak dibebaskan. “Ada Petok D pun tidak masalah. Lalu seluruh surat yang berbentuk Petok D itu diurus sendiri oleh pengembang untuk menjadi sertifikat, baru kemudian di pisah-pisah. Kalau pengembang saja bisa, kenapa Lapindo tidak bias?” tanyanya.
Sampai sejauh ini Sugeng tidak setuju dengan istilah “ganti untung” dalam persoalan Lapindo. Sebab uang itu nantinya hanya pas-pasan. Kalau demikian, masyarakat tetap rugi. Makanya namanya tetap “ganti rugi”.
Soal warga perumahan TAS yang tidak dikabulkan permintaan ganti ruginya dengan alasan banjir yang menggenangi rumah mereka akibat dari ledakan pipa gas Pertamina, Sugeng menganggap itu hal yang aneh. Sebab semua bencana di Porong itu saling berkaitan. Adanya pipa gas Pertamina meledak, itu akibat sampingan dari lumpur Lapindo. Bukan meledak dengan sendirinya. “Omongan itu hanya untuk mengalihkan perhatian saja,” tandasnya. (rif)