Mantan presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali menyelenggarakan pagelaran seni budaya rakyat di lapangan Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan. Tidak seperti biasa, pagelaran seni Jum'at (8/2) tadi malam bukan wayang tapi kethoprak dari Jawa Timur.
Kisah yang dipilih adalah tentang "Berdirinya Masjid Demak" yang dimainkan oleh grup kethoprak Mitra Remaja dari Nganjuk, Jawa Timur.<>
Aris Junaidi, ketua panitia acara saat mememberikan kata sambutan mengatakan, Gus Dur bercita-cita terus mengembangkan berbagai bentuk seni budaya tradisional.
"Orang Jakarta jarang yang tahu kethoprak, dikiranya lontong campur sayur," katanya disambut tawa hadirin. Gus Dur sendiri sudah bersiap di kursi depan meyaksikan bagaimana masjid Demak "didirikan" oleh para pemain kethoprak.
Ada bagian cerita yang sangat menegangkan yakni pada saat Raden Patah dan rombongan akan pulang ke Ampel dihadang oleh segerombolan perampok di hutan salam. Terjadilah pertempuran sengit yang kemudian dimenangkan oleh Raden Patah.
Terjadilah dialog soal ketuhanan yang sangat vulgar dan mendalam. Para perampuk pun akhirnya bertaubat dan justru menjadi pengikut Raden Patah.
Kisah "Berdirinya Masjid Demak" memberikan gambaran betapa sulit para ulama dalam menyebarkan nilai-nilai Islam di bumi Nusantara. Para ulama misalnya harus bisa merubah kebiasaan biadab berupa sesembahan manusia untuk meminta hujan.
Ada yang khas bahwa para ulama menyebarkan Islam dengan sangat arif, menghargai nilai-nilai lokal. Nilai-nilai yang tidak bermanfaat dibuang dan digantikan dengan Islam, atau beberapa tradisi yang baik tetap diberlakukan dengan menambahkan sedikit unsur keislaman.
Dan Masjid Demak pun akhirnya berdiri megah dengan tatal (potongan kayu) yang diikat dengan rumput, bacaaan bismillah, dan shalawat. Percaya atau tidak, demikianlah kethoprak dan lihat bagaimana arsitektur Masjid Demak sekarang ini.
Sebagian penonton dari Jakarta yang tidak faham dengan dialog-dialog dalam bahasa Jawa itu mau tidak mau harus faham karena dialog apapun dalam kethoprak tadi malam selalu dipadu dengan aksi teaterikal yang sederhana dan mudah dicerna.
Sesekali ditampilkan selingan yang membuat ger-geran. Diselipkan pemeran rakyat biasa yang tidak ada kaitan dengan alur cerita, namun mereka pintar mengcok perut penonton, dan lagi, bisa berbahasa Indonesia. (nam)