Warta

Hasyim: Liberalisasi Pemikiran Juga Melanggar Khittah NU

Kamis, 27 Agustus 2009 | 23:33 WIB

Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi mengatakan, visi dan pola perjuangan NU menggunakan garis moderat, tidak ekstrim. Karena itu, ektrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran juga bertentangan Khittah NU, bahkan keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

”Jadi, melanggar Khittah itu nggak hanya rangkap jabatan di partai politik atau soal politik. Yang liberal dan ekstrim kanan juga bertentangan dengan khittah,” kata Hasyim di Jakarta, Kamis (27/8).<>

Menurut dia, khittah NU terdiri dari tiga bagian penting, yakni, pertama, bagian yang mengatur jati diri NU. ”NU menganut ajaran Islam Ahslusunnah wal Jamaah. Fikihnya menganut salah satu dari  Imam empat. Dalam bidang tasawuf mengikuti Junaid Al Baghdadi dan Imam Ghazali. Dalam bidang Akidah mengikuti Al Asy’ari dan Al Maturidi,” jelasnya.

Karena itu, lanjutnya, ektrimisasi agama dan liberalisasi pemikiran sama-sama melanggar Khittah, karena bertentangan dengan visi NU dan pola perjuangan NU. Bahkan, jika tidak sesuai dengan dengan jati diri NU, bisa keluar dari prinsip-prinsip ajaran NU.

Khittah bagian kedua, katanya berkaitan dengan kemandirian NU. Menurutnya, NU adalah organisasi mandiri, tidak merupakan bagian apa pun, baik ormas maupun partai.

Dalam bidang sosial kenegaraan, NU menjadi organisasi amar ma’ruf nahi mungkar. Tidak merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan, tidak pula merupakan oposisi terhadap kekuasaan.
 
Khittah bagian ketiga, lanjutnya, berkaitan dengan kebebasan menentukan pilihan. Saat Khittah dicetuskan pada 1984, warga NU hanya memilih satu dari tiga partai, dan tidak memilih orang. Dalam proses selanjutnya, tahun 1998, PBNU menfasilitasi lahirnya PKB, dan sekarang ini ada 38 partai.

Ia menambahkan, Khittah kini sedang disalahpahami oleh warga NU sendiri. Seakan-seakan Khittah yang benar, adalah tidak berbuat apa-apa. ”Padahal, itu sama dengan membuka peluang orang lain untuk mengatur NU atas nama Khitah. Sementara, kalau pimpinan NU mengatur umatnya sendiri dianggap tidak khittah,” ungkapnya.

Pengasuh Pesantren Al-Hikam itu berharap, Mukatamar ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Januari 2010 dapat merespons perkembangan politik yang sangat cepat ini. Kebebasan memilih warga NU harus diseimbangkan dengan tanggung jawab memilih. Khittah sebagai patokan NU tidak perlu diubah, namun soal kebebasan memilih perlu penjabaran dalam tata laksananya.

”Antara kebebasan memilih dan tanggung jawab dalam memilih diperlukan ukuran-ukuran demi kemaslahatan NU. Kalau tidak, kita akan memilih secara sembarangan, termasuk memilih pihak yang kalau besar dan kuat akan menggusur NU. Tanggung jawab dalam memilih, termasuk tanggung jawab kita kepada agama, umat dan Allah,” jelasnya. (rif)


Terkait