Jakarta, NU Online
Mahbub Djunaidi tak bisa dipisahkan dari dunia pers Indonesia. Karya mantan Pemimpin Redaksi harian Duta Masyarakat ini tersebar di berbagai media massa.
Selain itu, ia juga menulis cerpen, naskah drama, roman dan novel serta menerjemah karya-karya penting dari mulai sastra hingga humor. Salah satu kehebatan tulisannya, selalu dibumbui humor. Tak heran, ia dijuluki pendekar pena.
<>Hal itu itu dikemukakan Ahmad Makki selepas tahlilan dalam acara haul Mahbub Djunaidi yang ke-16 yang diselenggarakan pengurus PMII cabang Ciputat di aula asrama putri PMII Ciputat, akhir pekan kemarin.
Makki menambahkan, selain sebagai jurnalis, Mahbub juga aktivis dan politikus. Sebagai aktivis, disalurkannya sejak usia dini melalui Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), GP Ansor hingga jadi salah seorang ketua PBNU.
“Sementara di dunia politik, ia pernah duduk di DPR. Ia adalah sosok yang mempercayai bahwa politik adalah alat untuk memperjuangkan nasib rakyat,” ungkap mantan aktivis PMII Ciputat ini.
Meski demikian, dia lebih senang disebut sebagi seorang sastrawan. Romannya yang berjudul dari hari ke hari mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (1974), tambah reporter majalah Historia Online ini.
Di tempat lain, di Sukabumi, tahlilan juga dilakukan para aktivis PMII cabang kota Sukabumi. Acara yang diselenggarakan di aula kantor GP ansor kota Sukabumi ini dikemas dalam rangka pelatihan jurnalistik kader PMII.
Di tempat terpisah, mahasisawa sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) al-Masthuriyah bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Sosial dan Agama (LENSA) Sukabumi juga mengadakan hal serupa. Hadir pada kesempatan itu sekretataris PCNU kabupaten Sukabumi, Daden Sukendar, yang sekaligus didaulat jadi pembicara.
Daden menegaskan, Mahbub Djunaidi adalah penulis besar yang pernah dimilki bangsa Indonesia. Kepiawaiannya menulis tak diragukan lagi. Tapi sayang, karyanya yang inspiratif dan genuin sudah dilupakan orang dan susah dicari.
Penulis: Abdullah Alawi