Daerah

Tradisi Sedekah Laut di Pantura Brebes, Diawali Istighosah, Dipungkasi Pengajian Akbar

Rabu, 20 November 2024 | 15:00 WIB

Tradisi Sedekah Laut di Pantura Brebes, Diawali Istighosah, Dipungkasi Pengajian Akbar

Warga Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes, Jawa Tegah sedang menggelar tradisi sedekah laut. (Foto: dok. istimewa/Ella Sugiarto)

Masyarakat Nusantara mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan Pencipta Alam dengan berbagai macam cara dan ritual. Kebiasaan tersebut berlangsung secara turun temurun sehingga menjadi tradisi. Di antara tradisi-tradisi tersebut sedekah gunung, sedekah bumi, dan sedekah laut.


Kata ‘sedekah’ menyiratkan ungkapan syukur masyarakat pesisir Pantai utara (pantura) kepada Tuhannya, sedangkan kata yang mengikutinya yaitu gunung, bumi, dan laut menunjukkan lokasi tempat tinggal masyarakat. Mereka bekerja dan memperoleh rezeki melalui hasil bumi maupun laut.


Di antara masyarakat nelayan yang masih melestarikan tradisi sedekah laut ialah masyarakat pantai utara (pantura) Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Tradisi sedekah laut dilaksanakan sejumlah desa yaitu Desa Kluwut Kecamatan Bulakamba, Desa Kaliwlingi Kecamatan Brebes, Desa Pengaradan Kecamatan Tanjung, serta Desa Prapag, Desa Prapag Lor, dan Desa Karang Dempel di Kecamatan Losari.


 

Desa Prapag Kidul, Kecamatan Losari, Kabupaten Brebes ikut larung sesaji dalam tradisi sedekah laut. (Foto: dok. istimewa/Ella Sugiarto)
 

NU Online berkesempatan mewawancarai tokoh masyarakat Desa Prapag Kidul, Ella Sugiarto. Pria yang juga sedang menjabat sebagai Kepala Desa Prapag Kidul ini mengatakan bahwa tradisi sedekah laut atau yang kerap disebut masyarakat dengan istilah “pesta laut”, biasanya dilaksanakan pada bulan Muharam atau Suro dalam kalender Jawa. Mereka mengambil hari Sabtu terakhir di bulan Suro tersebut.


“Sedekah laut kami laksanakan di bulan Suro. Begitu juga dengan masyarakat Desa Prapag Lor dan Desa Karang Dempel yang juga menyelenggarakannya di bulan Suro. Waktu pelaksanaan tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun di desa kami,” ujar Ella via telepon, Selasa (19/11/2024).


Oleh karena momen pelaksanaannya bersamaan, biasanya sedekah laut di Prapag Kidul, Prapag Lor, dan Karang Dempel diselenggarakan secara bersamaan. Waktu pelaksanaan tradisi sedekah tidak semua desa melaksanakan pada bulan Suro. Ada juga yang melaksanakannya pada bulan Syawal seperti di Desa Kluwut, Bulakamba.


Hari Rayanya Para Nelayan

Sedekah laut juga bisa dikatakan sebagai hari rayanya para nelayan. Mereka menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang mengiringi tradisi sedekah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah swt. Di antaranya dengan menggelar doa bersama (istighosah) sebagai pembuka kelancaran kegiatan, arak-arakan sesaji diiringi buroq atau singa barong keliling kampung, larung sesaji ke tengah laut, hiburan seperti pagelaran wayang kulit, kegiatan bakti sosial, dan puncaknya digelar pengajian akbar.


Ella menerangkan, sebelum hari pelaksanaan sedekah laut di hari Sabtu, istighosah dilaksanakan malam Jumat. Kemudian Jumat paginya, sesaji diarak keliling kampung oleh masyarakat. Malamnya, sesaji dibawa menuju lokasi yang menjadi pusat jual beli ikan atau hasil laut yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI).


Di lokasi TPI inilah masyarakat bersama-sama memanjatkan doa kepada Allah agar diberi keselamatan ketika melaut, diberi hasil tangkapan melimpah, dan harapan-harapan baik lainnya. Selain di TPI, masyarakat juga berkumpul di sepanjang sungai atau kali yang terhubung ke laut. “Doa bersamanya membaca tahlil,” kata Ella.

 

Setelah doa bersama pada Jumat malam, Sabtu pagi sesaji tersebut dibawa atau dilarung ke tengah laut. Sesaji yang berisi buah-buahan matang dan kepala kerbau yang sudah direbus satu hari satu malam tersebut diletakkan di perahu buatan berukuran kecil. Kepala kerbaunya pun harus kerbau yang disembelih tidak lebih dari dua hari. Jadi minimal kepala kerbau hasil sembelihan yang dilakukan Jumat malam, lalu Sabtu paginya dilarung ke tengah laut dengan diiringi doa oleh ulama setempat sebelum pelepasan ke laut.


Perahu kecil pembawa sesaji itu diiringi oleh sekitar 20 perahu besar menuju ke tengah laut, tepat sekitar 20-30 kilometer dari daratan, lalu sesaji tersebut dilarung oleh para nelayan. Perahu pengiring, kata Ella, sebetulnya jumlahnya ratusan. Namun, perahu-perahu yang ditumpangi oleh masyarakat lokal maupun orang dari luar desa tersebut dimanfaatkan untuk menikmati wisata laut di tengah perayaan tradisi sedekah laut yang memang penuh dengan hiburan. Salah satu seni tradisi yang menjadi hiburan ialah pagelaran wayang kulit dan panggung wayang orang atau istilah masyarakat desa disebut “Sandiwara”.


Sebelum akulturasi Islam masuk dalam bentuk doa bersama dalam tradisi sedekah laut, setiap Jumat kliwon masyarakat nelayan melakukan sesaji setiap malam Jumat Kliwon. “Namun sesaji tiap malam Jumat Kliwon tersebut sekarag sudah tidak ada. Kita semua merujuk ke sedekah laut sebagai tradisi turun temurun,” kata Ella.


Ella menjelaskan bahwa selain sedekah laut masyarakat pesisir juga melestarikan tradisi sedekah bumi bagi yang berprofesi sebagai petani dan sedekah muara. Sedekah muara hampir sama dengan sedekah laut, tetapi hanya dilakukan orang-orang tertentu saja, tidak sebesar dan seramai sedekah laut.


 

Prosesi mengarak sesaji keliling kampung dalam perahu buatan kecil dalam tradisi sedekah laut. (Foto: dok. istimewa)

Wadah Silaturahim dan Merekatkan Masyarakat

Tradisi sedekah laut juga merupakan kearifan lokal karena mampu merekatkan kehidupan sosial masyarakat, wadah silaturahim, dan gotong royong. Apalagi kehidupan para nelayan tidak sedikit yang jarang pulang karena melaut berbulan-bulan sehingga tradisi ini bisa mempertemukan kembali mereka dengan keluarga, tetangga, dan masyarakat.


Selama tradisi berlangsung, pemerintah desa menggandeng kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Karena yang datang tidak hanya masyarakat lokal, tetapi juga orang-orang dari desa lain yang setiap tahun ikut meramaikan tradisi sedekah laut. Biasanya pejabat-pejabat juga hadir seperti Camat dan Bupati.


Di tengah eksisnya tradisi sedekah laut sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan, Ella Sugiarto juga mengungkapkan berbagai problem yang kerap menimpa para nelayan. Menurutnya, saat ini pendapatan para nelayan semakin menurun, di antaranya jarang melaut karena birokrasi pasokan solar yang ribet.


“Yang dihadapi para nelayan sekarang ini, sudah pendapatannya menurun, harga hasil melaut juga rendah, ditambah pasokan solar yang susah banyak syarat-syaratnya. Dulu beli di mana saja bisa, sekarang untuk dapat solar harus ada rekomendai dinas keluatan, harus ada foto-foto. Wah, pokoknya susah lah,” kata Ella.


 

Sesaji buah-buahan yang siap dilarung dalam tradisi sedekah laut. (Foto: dok. istimewa)

Tantangan Tradisi Sedekah Laut

Sementara itu, Sejarawan dan Budawayan Brebes Wijanarto menegaskan bahwa tradisi sedekah bumi dan sedekah laut selama ini memang menjadi media perekat masyarakat dan penguatan identitas. Namun, tradisi ini juga menurutnya punya tantangan serius karena kecenderungan sekarang ini terjadi komersialisasi dalam tradisi sedekah laut.


“Salah satunya ada dangdutan. Hal ini bisa menggerus dan merontokkah makna mendalam tradisi sedekah laut,” kata Wijanarto diwawancarai NU Online pada Kamis (14/11/2024) lalu.


Menurut Wijanarto, tradisi sedekah laut merupakan wujud syukur sehingga perlu ada ruang terpisah antara perayaan sedekah laut itu sendiri dan acara-acara yang sifatnya hiburan modern, seperti dangdutan. Maka dari itu, kata dia, pagelaran wayang kulit sebagai ruwat keselamatan penting terus dilestarikan untuk menghindari atau setidaknya mengimbangi hiburan-hiburan modern yang bisa menggerus makna tradisi sedekah laut. Selain itu, tantangan lainnya ialah, menurut Wijanarto, sedekah laut juga kadang dibikin sebagai ajang pamer status sosial bagi orang-orang tertentu.


Lalu, menurut Wijanarto, tradisi sedekah laut ini juga tak terhindar dari anggapan-anggapan melenceng dari ajaran Islam. Sedekah laut memang awalnya sebagai apresiasi para nelayan kepada penguasa laut utara yaitu Dewi Lanjar. Namun saat ini, yang sering dipanjatkan para nelayan ialah doa-doa yang ditujukan kepada Gusti Allah swt.


“Seperti pada upacara pelepasan larung sesaji, para nelayan terlebih dahulu memanjatkan doa kepada Allah sambil bertawasul. Lalu sebelum melarung sesaji ke tengah laut, mereka mengunjungi lokasi laut yang dianggap keramat untuk memanjatkan doa kembali,” kata Wijanarto.


Selain itu, bentuk akulturasi Islam dalam sedekah laut ialah masyarakat nelayan juga kerap menampilkan seni hadrah dan pujian-pujian. Tradisi sedekah laut selama ini juga mampu menumbuhkan perekonomian warga setempat. Terutama ekonomi kreatif yang terus berupaya ditumbuhkan dari hasil melaut seperti ikan, rajungan, dan udang.


*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI