Jakarta, NU Online
Keputusan pemerintah dalam merespon keadaan beras di Indonesia dengan jalan impor adalah kebijakan yang mengambil jalan pintas.
"Ini sangat kontradiktif dengan apa yang telah dilakukan oleh Presiden SBY pada bulan Mei lalu yaitu melakukan panen raya hingga ke Papua sana. Bahkan pada September ini katanya SBY akan melakukan hal yang sama di Kalimantan," kata Sekjen Federasi Serikat Petani Indonesia Hendri Saragih, di Jakarta (2/9).
<>Sedikitnya pemerintah mengajukan tiga alasan. Pertama, harga beras di pasaran telah melampaui harga yang telah ditentukan (HPP) pemerintah, yaitu di atas Rp 3.550. Kedua, karena stok di Bulog pada akhir tahun nanti akan menipis, tersedia hanya sekitar 532.00 ton. Ketiga, banyaknya sawah-sawah yang puso akibat kekeringan.
Dikatakan, alasan-alasan itu sudah diajukan oleh pemerintah pada saat memutuskan untuk impor beras pada 2004/2005. Pemerintah sebagai pengempu kesejahteraan petani sedianya tidak mengajukan alasan itu untuk mengimpor beras.
"itu alasan klasik. Kalau Bulog tak punya stok dan dana untuk membelinya adalah persoalan lain lagi. Bukan berarti harus impor beras. Itu adalah soal fungsi dan peran Bulog yang memang sejak tahun 1988 telah berubah akibat tekanan IMF," kata Hendry.
Deputi Kebijakan dan Kampanye FSPI Achmad Ya'kub menambahkan, alasan ketiga yang diajukan oleh pemerintah sebenarnya adalah hal baru. "Namun seharusnya kita sudah punya antisipasi soal kekeringan itu. Buat apa kita punya BMG atau Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nusantara (LAPAN) yang punya data-data tentang kekeringan," katanya.
Sementara itu, dikatakan Ya'kub, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah secara terang-terangan menolak impor beras. Dipastikan Jawa Tengah mengalami surplus sebesar 1,5 juta ton. "Lagi pula menurut ramalan II BPS, produksi beras akan surplus sekitar 1,1 juta ton pada 2006," katanya. (nam)