Warta

Indonesia Sambut Baik Isu Papua Dicabut

Senin, 7 November 2005 | 12:42 WIB

Jakarta, NU Online
Kongres Amerika Serikat telah mencabut isu Papua dalam RUU Apropriasi HR 3057, yang antara lain mempertanyakan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada tahun 1969.

Dalam siaran pers Senin, Kuasa Usaha Ad Interim Kedutaan Besar RI (KBRI) di Washington DC, Andri Hadi, mengatakan, pencabutan isu yang berkaitan dengan masalah Papua tersebut dilakukan pada saat pembahasan tingkat konferensi bersama ("joint conference") mengenai RUU Apropriasi HR 3057 pada 1 November lalu. Pernyataan Abdri Hadi itu dirilis KBRI Washington pada Minggu (6/11), waktu setempat.

<>

"RUU Apropriasi HR 3057 diperkirakan akan disahkan menjadi hukum pada pekan depan. Dapat dipastikan bahwa HR 2601 yang mencantumkan agenda Papua sudah tidak relevan lagi dan tidak akan menjadi hukum," katanya.

Menyikapi hal tersebut, diplomat senior Hasyim Djalal, ketika dihubungi ANTARA, pada Senin (7/11) siang, berkomentar singkat. “Kalau memang benar dicabut, itu merupakan hal yang bagus. Sudah sewajarnya Amerika Serikat sekali-sekali bersikap positif. Karena isu Papua itu kan sesungguhnya muncul akibat ada orang yang mengada-ada saja," kata Hasyim.

Dalam kesempatan itu Hasyim mengaku belum mengetahui secara persis ikhwal pencabutan isu Papua dari RUU Apropriasi AS. "Namun kita bersyukur bila isu tersebut benar-benar dicabut," tegasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh wakil ketua Komisi I DPR RI, Djoko Susilo. "Saya kira ini perkembangan yang bagus, karena kenyataannya memang (isu) Papua sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi," kata Djoko.

Lebih lanjut dia berkomentar bahwa resolusi yang diusulkan oleh Eni Faleomavaega (anggota Konggres Negara Bagian Samoa) dan Donald Wayne (anggota Konggres), soal isu Papua, tidak layak untuk diteruskan.

"Usulan dari dua anggota parlemen AS itu terbukti tidak mendapatkan dukungan yang memadai di Kongres. Mereka juga menyadari bahwa tidak ada gunanya memasukkan isu Papua ke dalam RUU," ujarnya.

Meski isu Papua sudah dicabut dari RUU Apropriasi, Djoko mengingatkan agar Pemerintah Indonesia tidak lantas "tidur nyenyak". "Kita masih harus melancarkan usaha-usaha diplomatik. Para diplomat Indonesia harus menyampaikan kepada dunia tentang perkembangan di tanah air," tegasnya.

Pepera
HR 2601, yaitu RUU yang antara lain meminta agar Pepera Papua ditinjau kembali dan agar menteri luar negeri AS secara berkala memberikan laporan tentang efektivitas pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

RUU itu disebut HR 2601, "the State Department Authorization Act for FY2006" yang diprakarsai oleh dua anggota Kongres AS, yaitu Donald M Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomavaega (asal Samoa Amerika).

Faleomavaega dan Payne mendesak berbagai pihak agar memberi perhatian kepada warga Papua. Menurut RUU itu, Papua yang didominasi etnis Melanesia adalah eks koloni Belanda.

Meski Indonesia menegaskan Papua merupakan bagian teritori sejak merdeka pada tahun 1945, Papua tetap berada di bawah kontrol pemerintahan Belanda hingga tahun 1962. Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani kesepakatan di Kantor PBB New York, yang kemudian dikenal sebagai "New York Agreement".

Kesepakatan itu menjadi dasar penyerahan kekuasaan atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), dan lalu pada 1963 diserahkan kepada RI sambil menunggu hasil penentuan pendapat rakyat (plebisit).

Penentuan pendapat rakyat atau Pepera pun kemudian diadakan untuk memberikan kesempatan kepada warga Papua untuk memilih apakah akan tetap berada di dalam wilayah RI atau tidak.

Dan pada 1969, Pepera dilaksanakan dengan melibatkan 1.025 orang sesepuh Papua, yang menyatakan tetap bergabung dengan RI. Proses pelaksanaan Pepera itu sendiri diawasi langsung oleh utusan khusus PBB, Ortis Sanz.(ant/mkf)


Terkait