IPNU Perlu Jadi “Madrasah Diniyah” bagi Pelajar “Sekuler”
Jumat, 24 Agustus 2007 | 06:05 WIB
Samarinda, NU Online
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) perlu mengorientasikan diri menjadi sebuah lembagai pendidikan semacam “madrasah diniyah” bagi pelajar “sekuler”. Harapannya, melalui organisasi berbasis pelajar dan santri terbesar di Indonesia itu, akan terjadi proses akulturasi budaya.
Hal tersebut dikatakan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat IPNU Hilmy Muhammadiyah dalam paparannya saat menjadi narasumber pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IPNU di Hotel Diamond, Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (23/8) malam.
<>“Idealnya, para pelajar yang berproses di IPNU menjadi pribadi yang mengenal nilai-nilai pesantren, seperti, penghormatan terhadap guru, senang tahlil, baca barzanji, khaul dan sebagainya,” terang Hilmy yang juga mantan Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar NU itu.
Menurut Hilmy, terdapat beberapa alasan mengapa organisasi di bawah naungan NU itu harus menjadi lembaga pendidikan alternatif semacam madrasah diniyah. IPNU merupakan instrumen dasar dan strategis bagi NU untuk melakukan proses perubahan pola pikir yang lebih rasional di dunia pesantren.
Sebagimana maklum, lanjutnya, berkarakter membutuhkan lompatan transformasi sosial-budaya. Proses perubahan pola pikir yang lebih rasional itulah yang paling penting. Ketika kaum santri mampu melakukan percepatan akulturasi budaya, terutama terkait kemajuan teknologi dan informasi, maka secara otomatis akan lahir kader NU yang ideal.
“KH Wahid Hasyim, KH Sahal Mahfudh, KH Abdurrahman Wahid, KH Mustofa Bisri, adalah contoh kecil santri tulen yang berhasil melakukan lompatan rasionalisasi, yaitu proses transformasi sosial-budaya. Mereka, dengan latar belakang santri, mampu mewarnai dunianya dengan tradisi pesantren,” jelasnya.
Hal lain yang diharapkan dari IPNU melalui proses kaderisasinya, tambah Hilmy, penguatan manajemen organisasi. Dalam penerapannya, IPNU harus mampu ‘memproduksi’ kader-kader yang dapat mengisi kepengurusan NU. “Idealnya, para pelajar dan santri yang telah berproses di IPNU adalah para kader yang siap masuk di jajaran tanfidziyah,” pungkasnya.
Dalam kesempatan itu, Pengasuh Pondok Pesantren Ihya Ulumuddin, Bantaeng, Sulawesi Selatan, itu mengingatkan kembali Keputusan Muktamar XXXI NU di Solo, Jawa Tengah, 2004 silam. Dalam Muktamar itu telah ditegaskan batasan umur anggota IPNU antara 13 tahun sampai 25 tahun.
“Berarti, bila melihat taushiyah Muktamar tersebut, IPNU mengemban tugas meningkatkan kualitas kehidupan pelajar NU melalui peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas. IPNU mengemban tugas melakukan perubahan melalui jalur pendidikan," katanya.
Proses pendidikan yang dilakukan IPNU, kata Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Dakwah NU itu, harus berfungsi sosial, bukan ekonomi atau politik. Dengan demikian, IPNU tidak boleh lagi melakukan politisasi dan komersialisasi dunia pelajar atau pendidikan. (rif)