Warta

IPPNU, Meneropong Peran Wanita Indonesia

Rabu, 15 Maret 2006 | 10:46 WIB

Jakarta, NU Online

Selama ini budaya partriarkhi sering menjadi momok yang selalu hangat untuk diperbincangkan. Kaum wanita kerap menjadi subordinasi atas kaum laki-laki. Wanita sering dipersonofikasikan sebagai makhluk lemah dan tak berdaya. Hal ini bisa kita jumpai di negara kita. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap peran perempuan bukan hanya nampak di sektor pemerintahan yang memberikan quota 30 persen untuk wanita, namun juga merambah ke sektor-sektor lain yang lebih luas.

<>

Atas dasar inilah, Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU) bekerjasama dengan Kesbangpol Depdagri RI mengadakan seminar kebangsaan bertajuk "Nation Building di Mata Pelajar Puteri: Pelajar dan Kecerdasan Quota 30 persen Masihkah Ada Angin Segar di Sana".

Seminar yang berlangsung hari ini, Rabu (15/03) di gedung PBNU Jl. Kramat Raya 164 Jakarta, menghadirkan empat pembicara. Para pembicara itu di antaranya adalah Peggy Melati Sukma (artis), Siti Soraya Devi (Ketua PP IPPNU), Dr. Suhatman (mewakili Kesbangpol Depdagri RI), dan Dr. H. Andi Jamaro (Ketua PBNU).

Dalam seminar itu, Peggy yang baru datang mengahadiri sidang PBB di Amerika, 24 Februari lalu, mengemukakan pentingnya kesamaan antara kaum laki-laki dan perempuan dalam segala bidang, baik politik, pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Karena itu, lanjutnya, "diperlukan pemberdayaan perempuan terutama di masyarakat lapisan bawah (grassroot), menanamkan kesadaran politik dan pelatihan leadership (kepemimpinan) bagi perempuan sejak usia anak-anak".

"Memberi pelatihan kepemimpinan mulai dari keluarga itu penting untuk melahirkan perempuan-perempuan yang maju dan bisa memperjuangkan kesejahteraan mereka", tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, Devi mensinyalir adanya kepentingan politik bagi sebagian kelompok untuk mempengaruhi para remaja sebagai top target untuk mencapai kekuasaan seperti yang nampak pada AFI dan Indonesian Idol sebagai media kampanye pilpres dan wapres tahun lalu. "Politik bukan kekuasaan tapi kebangsaan", ujar Devi.

Hal senada juga diungkapkan oleh Andi Jamaro yang menolak quota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di pemerintahan.

"Saya menolak quota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di parlemen. Mereka yang berhak duduk adalah mereka-mereka yang memiliki kualifikasi dan kompetensi tanpa memandang status seseorang apakah dia perempuan atau laku-laki. Mereka memiliki kesempatan yang sama", lanjut Andi.

Sedangkan Suhatman mengemukakan pentingnya penanaman kesadaran berpolitik bagi setiap warga. "Politik adalah seni untuk mencapai target atau sasaran. Politik bukan hanya sebatas perebutan kekuasaan atau jabatan. Politik perlu dipahami dalam skala yang lebih luas", ungkap Suhatman.(dar)


Terkait