Warta

Izin Impor Beras, Bukti Pemerintah Inkonsisten

Rabu, 14 September 2005 | 04:04 WIB

Jakarta, NU Online
Keputusan pemerintah membuka kran impor beras menunjukkan inkonsistensi dan tidak adanya keberpihakan terhadap petani. Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan (Menperdag) ini juga menunjukkan pemerintah kehilangan wibawa dan kredibilitas.

''Juni lalu, pemerintah telah menetapkan bahwa impor beras dilarang sampai akhir tahun ini. Namun, Menperdag mengizinkan Perum Bulog mengimpor beras mulai Oktober tahun ini juga. Ini menunjukkan pemerintahan ini kacau,'' ujar Ketua Wahana Masyarakat Tani Indonesia (Wamti), Agusdin Pulungan, di Jakarta, Senin (12/9) lalu.

<>

Agusdin menanggapi keputusan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, yang mengizinkan Perum Bulog mengimpor beras mulai Oktober hingga Desember 2005 sebanyak 250.000 ton, dengan alasan stok beras untuk rakyat miskin (raskin) masih kurang.

Menurut Agusdin, keputusan itu menunjukkan bahwa Menperdag tidak mengerti keadaan sesungguhnya. Penjelasan Menteri Pertanian bahwa produksi beras di dalam negeri mencukupi ternyata diabaikan. Ini juga menunjukkan bahwa Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan Presiden awal Juni 2005, hanya retorika.

Keputusan itu, katanya, menunjukkan bahwa pemerintah tidak konsiten dan tidak kredibel, karena akhir Juni lalu sudah diputuskan tidak akan mengimpor beras hingga akhir 2005, kecuali harga beras melewati Rp 3.500 per kilogram. Keputusan pembukaan impor itupun harus dengan pertimbangan sangat matang.

Namun, menurutnya, karena adanya desakan dan laporan yang belum jelas, keputusan itu seenaknya diubah di tengah jalan. Dia mempertanyakan sikap Badan Ketahanan Pangan dan Departemen Pertanian yang diabaikan oleh Departemen Perdagangan dan Perum Bulog, dengan membiarkan diizinkannya impor beras.

''Pemerintah jangan main-main dengan keputusan yang merugikan petani itu, dan harus curiga kalau ada yang meminta impor beras. Ini kekeliruan besar dan berbahaya. Bulog harusnya membeli beras dari petani, bukan impor. Impor pun akan mahal karena rupiah sedang terpuruk,'' ucapnya.

Tidak Wajar

Hal senada dikemukakan Ketua Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Siswono Yudo Husodo. Menurutnya, impor beras sangat tidak wajar, karena justru saat kondisi rupiah sedang melemah dan harga beras sedang tinggi di pasar internasional. Pemerintah dinilai terlalu tergesa-gesa dan gegabah mengambil keputusan.

Siswono mengatakan, kebijakan itu sangat menyakitkan dan memukul petani yang sedang menikmati harga jual gabah dan beras cukup lumayan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang selalu rendah. Impor beras, apapun alasannya, akan menurunkan harga jual di tingkat petani.

Agusdin mengingatkan, untuk tujuan-tujuan ketahanan pangan nasional, kebijakan impor harus ditempatkan pada upaya yang paling akhir. Dia juga mengatakan, Bulog sebagai lembaga usaha yang dibentuk pemerintah, sepatutnya harus menjadi instrumen untuk memperkuat pertanian dan petani Indonesia, bukan sebaliknya.

Bulog dinilai mau enaknya saja dengan mengimpor beras, yang nantinya akan ditenderkan kepada pengusaha yang akan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Agusdin dan Siswono meminta izin impor beras secapatnya dibatalkan. (sp/cih)

 


Terkait