Jakarta, NU Online
Salah satu nilai yang dipegang oleh NU adalah mempertahankan nilai yang lama yang masih baik dan menerima nilai baru yang lebih baik. Idiom ini dalam bahasa Arabnya dikenal dengan al mukhafadhutu ala kodimissholeh wal akhdu bil jadidi wal aslah. Karena selalu berakar pada tradisi inilah yang menyebabkan NU seringkali disebut sebagai organisasi tradisional.
“NU dalam berdakwah berusaha mengislamkan tradisi masyarakat. Ini yang seringkali disalahartikan oleh golongan wahabi dengan bid’ah,” ungkap Sekjen PBNU Endang Turmudi ketika menerima Presiden The Association of Islamic Association of New Zealand Javed Iqbal Khan dan Wakil Dubes New Zealand David Strachan di PBNU, Rabu.
<>Sejumlah tradisi seperti tahlilan atau yasinan merupakan upaya islamisasi nilai-nilai dari lokal. Para ulama NU beranggapan bahwa ini tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadist sementara golongan wahabi menganggapnya bi’dah yang harus dihindari karena tidak ada di Qur’an dan hadist.
Penerimaan NU terhadap nilia-nilai baru diantaranya adalah adanya upaya modernisasi sekolah dan pesantren agar bisa berkembang sesuai dengan kondisi saat ini. NU juga mengirimkan kader-kadernya ke Inggris untuk belajar manajemen yang diharapkan bisa diterapkan di sekolah maupun pesantren.
Dikatakannya bahwa pendekatan dakwah yang hanya melarang dan menganggap berbagai hal sebagai bid’ah malah menimbulkan konflik di masyarakat. “Ada sekelompok orang yang berdakwah dari masjid ke masjid, mereka membid’ahkan kaligrafi yang ada di dinding, ini malah menimbulkan konflik dengan masyarakat,” paparnya.
Dukung RUU Anti Pornografi karena Organisasi Ulama
Menjawab pertanyaan wakil dubes mengapa NU mendukung RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, Endang menyatakan NU mendukung karena NU adalah organisasi para ulama yang tugasnya menjaga moral.
Dijelaskannya bahwa UU Anti Pornografi dan Pornoaksi diperlukan untuk menyelamatkan generasi muda dari pornografi dan pornoaksi. “Situasi di Indonesia dan Australia beda, disana majalah porno hanya bisa dijual ditempat terbatas dan orang dengan umur minimal tertentu yang bisa membeli sementara di Indonesia, nanti takutnya dijual di bis kota yang bisa dibeli oleh siapa saja, termasuk anak sekolah,” imbuhnya.
Namun dikatakannya bahwa meskipun mendukung, RUU tersebut perlu direvisi kembali agar sesuai dengan kondisi masyarakat. “Kita menerima esensinya, namun kita meminta agar ada revisi,” paparnya. (mkf)