Yogyakarta, NU Online
Kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras petani jangan sampai diikuti kenaikan biaya produksi seperti untuk pembelian pupuk, benih, dan obat anti hama. Jika hal itu terjadi, kenaikan HPP tidak akan berguna dan malah menyakiti petani.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Daerah Istimewa Yogyakarta kepada NU Online, Selasa (3/4). Pemerintah harus mampu menstabilkan harga-harga kebutuhan produksi pertanian dalam kondisi seperti saat ini.
<>Pemerintah telah memutuskan menaikkan HPP untuk gabah kering panen (GKP) sebesar 17,65 persen menjadi Rp 2.000 per kilogram, gabah kering giling Rp 2.575 per kg, dan beras Rp 4.000 per kg. Penetapan kebijakan kenaikan HPP itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan sebagai penggantidari Inpres No 13/2005 yang sudah dikritik banyak kalangan. Kenaikan berlaku efektif mulai 1 April kemarin.
Dikatakan Maksum, kenaikan itu sebenarnya tidak begitu berarti bagi petani jika dibandingkan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak, disusul kenaikan harga-harga lainnya beberapa waktu lalu. Maksum mengusulkan HPP untuk GKP seharusnya adalah Rp 2.200. "Biar aman harus segitu. Karena harga pupuk, UMR, dan biaya transportasi itu di ambang kenaikan," katanya.
Ditambahkan pakar pertanian UGM itu, untuk kenaikan HPP beras sama sekali tidak proporsional dibandingkan dengan kenaikan harga GKP. Angka kenaikan yang baru itu memakai asumsi tingkat rendemen sebesar 65 persen.
”Untuk kualitas medium, tingkat rendemen hanya 60-62,5 persen. Kalau rendemen terlalu besar, kenaikan HPP beras menjadi Rp 4.000 per kg menjadi under estimated. HPP beras masih kurang 2,5 sampai 5 persen. Dengan rendemen 62,5 persen, harga beras seharusnya Rp 4.160 per kg. Rendemen 62,5 merupakan angka yang sulit," kata Maksum. (nam)